Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah dasar merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter siswa yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. Melalui mata pelajaran ini, siswa diperkenalkan pada konsep-konsep seperti gotong royong, toleransi, keadilan, dan cinta tanah air. Namun, dalam pelaksanaannya, nilai-nilai tersebut sering kali hanya menjadi slogan yang dihafal tanpa benar-benar diinternalisasi atau diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Banyak siswa memahami Pancasila sebatas teori yang harus diingat untuk memenuhi kebutuhan akademik, bukan sebagai pedoman hidup yang relevan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di ruang kelas dan kehidupan nyata, yang membuat PKn kehilangan esensinya sebagai instrumen pembentukan karakter bangsa. Padahal, pembelajaran yang menyentuh aspek afektif dan memberikan pengalaman langsung lebih berpotensi menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam diri siswa secara mendalam. Kesenjangan ini menuntut refleksi menyeluruh terhadap pendekatan pembelajaran, sehingga nilai-nilai PKn tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga dapat dihayati dan diterapkan secara nyata.
Nilai-nilai dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki peran penting dalam membangun karakter generasi muda, khususnya di tingkat sekolah dasar. Namun dalam pelaksanaannya, nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, keadilan, dan cinta tanah kerap hanya disampaikan secara teoritis di ruang kelas. Guru sering menggunakan metode ceramah atau berbasis buku teks yang fokus pada pemahaman pada konseptualisasi semata. Siswa mengajar untuk mengenal konsep toleransi, keadilan, atau menghormati keberagaman melalui cerita, narasi, atau hafalan, tanpa diberi kesempatan untuk benar-benar menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Hal ini menjadikan pembelajaran PKn cenderung bersifat abstrak dan kurang relevan dengan pengalaman nyata siswa.
Retorika ini juga tampak dalam aktivitas rutin sekolah, seperti upacara bendera, yang bertujuan membangun rasa nasionalisme. Siswa diwajibkan menyanyikan lagu kebangsaan, membaca teks Pancasila, dan mengikuti tata cara upacara yang seragam. Meski demikian kegiatan ini memiliki nilai edukatif, esensi dari nasionalisme, cinta tanah air, dan penghormatan terhadap simbol negara sering kali tidak dipahami secara mendalam oleh siswa. Sebaliknya, kegiatan ini menjadi rutinitas yang dilakukan sekadar untuk memenuhi kewajiban formal. Tanpa refleksi dan pendalaman makna, upaya ini hanya menghasilkan pemahaman superfisial, bukan kesadaran yang mampu membentuk kepribadian siswa.
Selain itu, kurangnya keterlibatan siswa dalam aktivitas yang melibatkan pengamalan langsung nilai-nilai PKn memperkuat retorika ini. Misalnya, gotong royong hanya dibahas dalam buku teks tanpa diikuti dengan kegiatan nyata, seperti kerja bakti bersama di lingkungan sekolah. Begitu juga dengan toleransi, yang hanya diajarkan melalui teori tanpa memfasilitasi dialog antarsiswa dengan latar belakang beragam. Tanpa praktik nyata, nilai-nilai tersebut sulit menjadi kebiasaan yang melekat dalam kesekharian siswa.
Situasi ini mencerminkan tantangan besar dalam sistem pendidikan, di mana PKn seharusnya menjadi sarana transformasi karakter, tetapi sering terjebak dalam formalitas belaka. Diperlukan pendekatan yang lebih inovatif dan partisipatif untuk menjadikan nilai-nilai PKn sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan siswa, sehingga mereka mampu menerapkan Pancasila sebagai pedoman hidup yang nyata.
Salah satu masalah mendasar dalam pembelajaran PKn adalah Pancasila sering kali hanya diajarkan sebagai hafalan. Guru menekankan kepada siswa untuk mengingat setiap sila dalam urutan yang benar tanpa menggali pemahaman yang mendalam tentang makna dan relevansi masing-masing sila. Hal ini menciptakan situasi di mana siswa mengetahui Pancasila sebagai teks, tetapi tidak memahami bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Sebagai contoh, sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," sering kali diajarkan dengan cara menghafalkan definisi tanpa menjaganya dengan sikap saling menghormati antarumat beragama. Demikian pula, sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," hanya dianggap sebagai slogan tanpa eksplorasi tentang bagaimana siswa dapat menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam lingkungan sekolah, seperti membantu teman yang kesulitan.
Fenomena ini menandakan bahwa pendekatan pembelajaran PKn yang fokus pada hafalan tidak efektif dalam membentuk karakter siswa. Akibatnya, Pancasila kehilangan peran utamanya sebagai pedoman moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu alasan utama nilai-nilai PKn sulit diimplementasikan adalah pendekatan pembelajaran yang kurang kontekstual. Guru cenderung menggunakan metode satu arah yang tidak memberikan ruang bagi siswa untuk menghubungkan nilai-nilai PKn dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kurangnya keteladanan dari guru, orang tua, dan masyarakat juga menjadi faktor penting. Keteladanan sangat diperlukan dalam pembentukan karakter siswa. Namun, dalam banyak kasus, perilaku orang dewasa di sekitar siswa sering kali bertentangan dengan nilai-nilai PKn yang diajarkan. Misalnya, siswa mengajarkan tindakan yang jujur, tetapi sering menyaksikan tindakan yang tidak jujur atau ketidakadilan di lingkungan mereka.
Faktor lain adalah minimalnya kegiatan praktis yang melibatkan siswa secara langsung. Pendidikan nilai membutuhkan kegiatan seperti simulasi demokrasi, proyek sosial, atau kerja kelompok. Sayangnya, kegiatan ini sering tidak terfasilitasi dengan baik karena keterbatasan waktu, anggaran, atau kurangnya pemahaman guru akan pentingnya kegiatan tersebut.