“Mulutmu harimaumu”
“Mungkin pepatah itulah yang paling sesuai dengan sikapmu. Kata-katamu tajam, setajam mata pedang. Memang kau tau semua tentang penyakit-penyakit Psikologis, namun ketika kamu mendiagnosa orang lain, seharusnya kamu lebih berhati-hati dan memperhitungkan waktunya.”
Kata-kata itulah yang ku ucap dalam diriku. Aku sedang memaki seorang teman lamaku. Dia adalah seorang perempuan cerdas, ahli dalam bidang keilmuan Psikologi. Dia adalah teman baikku. Aku dan dia sangat terbuka dengan segala hal, namun dalam hal tertentu kami masih suka menyimpan rahasia. Maklum tidak semua cerita bisa diceritakan kepada orang lain sekalipun kepada Psikolog atau konselor yang kamu percayai.
Ranti Masfufah, M.Si., itu adalah nama lengkap dan gelar dari temanku ini. Aku menyukai teman yang satu ini melebihi teman yang lain. Selain pandai dia juga sangat baik, dan sering membantuku dalam menyelesaikan masalah. Namun tidak semua masalah aku ceritakan padanya, hanya masalah penting saja. Aku tidak mau membebani pekerjaannya dengan banyaknya masalah yang kuhadapi selama ini.
Di sore hari yang dingin itu, Ranti mengirimiku pesan singkat, ia mengajakku bertemu di sebuah Kafe mewah di ujung jalan tempatnya bekerja. Karena sudah lama tidak bertemu dengannya, aku pun segera mengiyakan ajakannya. Kami bertemu dan langsung berbincang-bincang seakan sudah setahun tidak bertemu. Waktu semakin berlalu dan kami masih begitu santai dengan pembicaraan dan dua cangkir coklat yang kami pesan. Sepertinya kami sedang sama-sama tidak ada masalah serius untuk dipecahkan atau ditangani. Sehingga pembicaraan kami loncat dari topik ini ke topik itu. Asik sekali.
Hingga menit entah ke berapa, Ranti bertanya kepadaku tentang suatu hal.
“Kamu mau nggak jadi testee-ku? Aku sekarang ini sedang menggeluti alat tes, aku pengen lihat gimana hasilnya kalau aku berikan ke kamu.” Katanya dengan wajah mempersuasi.
“Alat tes? Untuk ngetes apa Ran?” Tanyaku penasaran.
“Alat tes ini untuk mengungkap kepribadian dan kecenderungan gangguan yang mungkin kamu alami. Gimana? hehe.” Katanya sambil membujuk dan memohon.
“Hm... boleh sih. Tapi hasilnya tetap rahasia kan? Nggak menyalahi etika profesi kamu juga kan?” Tanya ku menyelidiki.
“Nggak kok, ini kepentingan uji coba juga sayang, jangan khawatir”. Katanya dengan penuh meyakinkanku.
“Iya deh boleh, tapi aku agak takut sih... hehe.” Kataku dengan tak yakin mengikuti tes ini.
“Jangan khawatir, ini sudah punya validitas cukup tinggi kok. Kami sering pakai alat tes ini untuk klien kami. Gimana? Masih ragu? Eh... Aku nggak maksa kok.”
“OK lah. Kapan? Di mana?”
“Di sini aja, nggak akan lama kok.”
Lalu Ranti pun segera mengeluarkan selembar kertas jawaban tes dan satu bolpoin di atas meja, kemudian menyuruhku untuk mengisi identitas lengkapku. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung mengisinya. Aku memang biasa melakukan tes Psikologi untuk kepentingan terapi yang ku ikuti dengannya. Setelah selesai mengisi lembar jawaban, Ranti memberikan instruksi dan aku mendengarkan dengan seksama. Jujur saya aku sedikit gugup dan penasaran dengan hasil yang akan ku dapatkan nanti.
Semua peraturan sudah dibacakan, dan aku segera memahaminya. Ranti mulai membacakan soal pertama dan aku pun mengisi jawabannya ke dalam lembar jawaban yang sedang kupegang. Satu per satu soal dibacakan hingga soal terakhir, yaitu soal ke 80. Sepertinya banyak sekali ya? Memang soalnya banyak, namun tugasku hanya menjawab “Ya” jika setuju dan sesuai denganku atau “Tidak” jika tidak setuju dan tidak sesuai denganku.
Karena proses skoring tes ini membuthkan waktu yang cukup lama, Ranti meminta kelonggaran waktu untuk memberikan hasilnya kepadaku. Dan akupun tidak keberatan dengan itu. Lalu kami berbincang-bncang kembali mengenai pekerjaan masing-masing, hingga jarum jam yang pendek menunjuk ke angka 5. Lalu kami pun berpamitan pulang setelah menghbiskan secangkir coklat panas yang kami pesan. Kami pergi dengan arah yang berlawanan.
Dua hari kemudian... Saat jam istirahat kerja.
Dering HP ku berbunyi keras dan mengejutkanku yang sedang serius menatap komputer teman kerjaku. Ranti yang menelfon. Katanya hendak menemuiku, memberikan hasil tesnya. Hari itu aku sedang sedikit sibuk, banyak urusan dan pekerjaan yang harus aku selesaikan. Namun karena penasaran, aku segera berangkat ke tempat janjian kami. Aku pergi dengan beberapa pikiran dan urusan yang belum ku selesaikan. Ketika sampai depan kedai Mie tempat favorit kami, Ranti sudah tampak duduk di bangku paling depan. Ternyata dia sudah memilih tempat yang nyaman untuk kita, sekaligus memesan makanan untuk kami makan. Sejenak urusan kerja yang mengikutiku tertindih semangat untuk segera bertemu Ranti.
“Wah... sepertinya aku hari ini bakal ditraktir lagi nih.. hehe.” Aku menggoda Ranti.
“Hahaha... Gampang lah, apa yang nggak buat kamu sayang?” Kata Ranti sambil memanggilku dengan sapaan seperi biasanya.
Tak ada yang mencurigakan dari pertemuan kami siang itu. Kami langsung menyantap makanan yang telah dipesan tanpa berbicara sedikitpun. Aku ber-positiv thinking hasilnya akan baik-baik saja. Karena Ranti tidak menunjukkan ekspresi sedang berempati sedih atau yang lainnya kepadaku.
Setelah selesai makan dan minum, Ranti mengambil selembar amplop dari tasnya, dan memberikannya padaku.
“Ini hasilnya sayang, sudah di interpretasi dan diberikan rujukan untuk terapi yang harus diikuti selanjutnya”. Kata Ranti dengan tegas dan senyumannya yang manis.
“Heh? Ada terapinya juga? Memang aku kenapa?”. Tanyaku terkejut sambil segera membuka amplop itu dan sekali melirik ke Ranti sedetik.
Tanganku bergetar ketika membaca hasil tes dua hari lalu. Aku sangat terkejut saat membaca tulisan yang dicetak tebal ini. Aku rasanya ingin memuntahkan seluruh makanan yang baru kumakan. Dan aku lemas seakan ingin pingsan. Aku langsung menatap tajam ke arah Ranti dan menunjukkannya tulisan yang bercetak tebal tersebut. Tulisan itu berbunyi “KECENDERUNGAN TERKENA GANGGUAN KECEMASAN (BIPOLAR) CUKUP TINGGI”. Aku langsung berusaha mengeluarkan suara kerasku yang sebenarnya tak bisa keluar. Rasanya ku ingin membentak Ranti yang duduk di depan mataku.
“Ran, apa-apaan ini!!! Kamu tega sekali kepadaku?”. Aku langsung nyolot.
“Apa sayang? Itu hasil tes kamu kemarin. Hasilnya asli dan tidak direkayasa.” Jawab Ranti seperti orang tanpa dosa.
“Kamu gila Ran, kenapa hasilnya begitu buruk? Bukankah gangguan Bipolar itu cukup mengerikan?.” Tanyaku membentak.
“Itulah kecenderungan yang kamu miliki selama ini sayang, mungkin kamu tidak merasakan, tapi itulah kenyataan. Jangan khwatir say....”
“Stop!!! Jangan diteruskan Ranti! Aku tahu sedikit banyak gangguan ini. Dan gangguan ini cukup serius. Kenapa kamu mengatakan ini dengan santai seperti ini? apa yang kamu rasakan ketika mengetahui aku punya kecenderungan ini? Kamu senang hah? Atau kamu merasa puas bisa mendiagnosa orang lain dengan sesuka hatimu? Atau kamu ingin menyingkirkanku dari hidupmu? Jawab aku Ranti? Kamu jahat! Sangat jahat!” Ranti seperti terdakwa yang sedang dituduh di pengadilan.
“Bukan begitu maksudku, aku juga tidak bermaksud menjauhkanmu dariku, aku justru ingin menghiburmu. Aku mau bilang kamu jangan khawatir terkena gangguan itu selama kamu mau mengikuti terapi dan menjalani kehidupan inin dengan mudah. Itu saja maksudku. Kamu belum terkena gangguan itu, kamu masih berpotensi untuk terkena gangguan itu sayang.” Ranti mencoba menjelaskan.
“Aku tidak mau sakit atau terkena gangguan Ran, aku juga tidak ingin kehilangan pekerjaanku gara-gara penyakit ini. Aku...” Belum selesai bicara aku terhenti.
“Kamu tidak sedang sakit dan kamu tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Kamu hanya memiliki kemungkinan tinggi terkena gangguan kecemasan. Dan itu bisa kamu cegah agar tidak semakin menjadi-jadi. Kamu tidak ingin gangguan ini benar-benar kamu alami kan?” Jelas Ranti.
Aku tak sanggup berkata. Hanya mengangguk dan menangis tersedu-sedu. Ranti duduk di sampingku dan merangkulku. Aku yang saat itu banyak pikiran dan urusan yang belum terselesaikan seperi jatuh dan tertimpa tangga pula. Hasil tes kemarin memberiku beban pikiran lagi. Aku semakin sedih dan tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan setengah jam lagi jam istirahat makan siang berakhir.
“Sekarang dengarkan aku, aku memberi tes ini kepadamu karena aku tau kamu sering mengalami masalah. Kamu akan depresi berat ketika ada masalah berat. Dan kamu akan melakukan hal-hal membahayakan ketika kamu stres berat, bahkan kamu suka melukai dirimu sendiri dan menyalahkan lingkungan sekitarmu. Apa aku benar soal ini?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan menangis.
“Kamu akan sangat senang ketika sesuatu yang membahagiakanmu datang ke dalam rongga hidupmu? Dan kamu senang ketika aku datang untuk membantu menyelesaikan masalahmu? Aku benar soal ini?”
Aku hanya mengangguk dan terus menunduk.
“Aku tahu kau seperti ini sejak lama. Aku mengerti kamu memiliki gejalanya sejak lama. Dan aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini dalam waktu yang lama pula.” Ranti menjelaskanku dengan menangis.
“Bukankah aku benar dengan yang ku katakan tadi?.” Tanya Ranti sekali lagi.
“Iya, sebelumnya kamu juga pernah bilang ini kepadaku dan memberiku contoh orang-orang dengan gangguan ini. Dan ku rasa ada hal-hal yang sama denganku. Tapi...” Aku mulai berkata dan terdiam. Menangis lagi.
“Baiklah, kamu sudah cukup untuk mengakuinya. Sekarang maukah kamu ikut bersamaku untuk membawamu pada kondisi jauh dari gangguan yang menakutkan ini?” Tanya Ranti lembut.
“Iya, aku selalu percaya padamu Ran.” Jelasku singkat.
“Baik, sekarang aku akan membuatkan terapi khusus untukmu. Akan ku sesuaikan dengan jadwal dan rutinitasmu agar kau dapat menjalankannya dengan baik dan konstan. Setuju?” Kata Ranti sambil menepuk pundakku.
“Iya, lalu kapan kita akan mulai? Lalu bagaimana dengan kerjaku sekarang?”
“Ayo kita ke kantormu sekarang, kamu akan minta libur hari ini dan ikut aku ke tempat praktikku.”
Tanpa bicara ini dan itu aku pun segera melakukan apa yang dikatakan Ranti. Entah mengapa aku sangat ketergantungan dengan teman yang satu ini. Mungkin di situlah alasan mengapa aku menyukainya. Siang itu aku datang lagi ke kantor tempatku bekerja. Ranti yang mengatasnamakan sebagai Psikolog dan Konselorku memintakan ijin kerja sehari kepada atasanku. Semua yang terjadi siang itu seakan-akan sudah di prediksi olehnya. Semua berjalan lancar hingga esok harinya, hari dimana aku diijinkan untuk membuat serangkaian terapai yang akan ku jalani beberapa waktu kedepan.
Mungkin di dalam pikiranku, seorang psikolog memiliki diagnosis yang sangat tajam dan kejam seperi pisau. Diagnosisnya mampu membuatmu jatuh tak karuan, namun dia jugalah yang akan memberikanmu serangkaian cara untuk mengatasi dan menyelesaikannya. Aku sangat bersyukur karena telah bertemu dengan teman seperti dirinya. Dan meskipun aku bilang dia kejam dengan tuduhannya, namun dia mampu memberikan sejuta alasan masuk akal untuk membuktikan tuduhannya atas gangguan atau masalah yang ku hadapi. Mungkin bukan hanya aku yang merasakan hal ini, mungkin kalian yang mengenal beberapa Psikolog atau konselor seperti temanku Ranti. Mungkin kata-katanya tegas dan menyakitkan, namun dia melatih mentalmu demi menguatkanmu, bahwa kamu bisa dan mampu menghadapi masalahmu sendiri dengan bantuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H