"You are easily replacable"
Kata-kata nyeseg ini tidak hanya bisa diucapkan oleh sepasang kekasih yang hendak putus ya. Ini adalah salah satu punchline yang mungkin sudah familiar di kalangan para pekerja swasta dan rata-rata dari mereka sudah “siap” dengan konsekuensi ini. Faktanya memang bekerja di swasta itu tidak seindah ucapan janji suami istri didepan penghulu yang akan bersama hingga nanti, lho.
Memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan status para pegawai negeri ya, dimana kehidupannya bisa dikatakan “ayem-ayem” aja hingga masa tuanya nanti. Oleh karenanya yang muda-muda ini tidak usah heranlah kalau pas masa-masa pembukaan pendaftaran pegawai negeri orangtua kalian minta kalian buat daftar, ya karena memang beralasan sih.
Fenomena mengganti dan diganti ini kalau dalam lingkungan kerja dikenal dengan fenomena Turn-Over. Menurut definisi kamus Cambridge labour turn-over adalah suatu ukuran / tingkatan dimana pekerja meninggalkan ataupun digantikan oleh seorang pekerja yang baru. Menurut kamus Cambridge juga tingginya tingkat turnover dalam suatu perusahaan berarti ada banyak orang yang bekerja dalam waktu yang sangat singkat untuk suatu pekerjaan tertentu.
Turn-over atau perputaran pegawai ini fenomena yang sudah biasa ditemui seseorang yang bekerja di sektor swasta. Terutama karena sistem kontrak yang umum di terapkan di kalangan pekerja era saat ini, dimana hal ini bisa memberi pilihan pada perusahaan ataupun pekerjanya untuk memperpanjang kontrak kerja atau tidak. Meskipun fenomenanya sendiri dikatakan “normal” terjadi namun tentunya jika terlalu tinggi TO nya seseorang juga perlu melihat ada sesuatu apa dibalik tingginya angka tersebut.
Satisfaction feeling dan Turnover
Ada satu fakta menarik yang saya tangkap (setidaknya ini yang ada dalam observasi saya) dimana pekerja yang tidak menempati level manajerial turn-over nyacenderung lebih rendah dibanding mereka yang memang termasuk dalam jajaran level manajerial. Sebenarnya juga cukup banyak yang membahas mengenai dua hal ini (yakni kepuasan dan juga fenomena perputaran pegawai), salah satu penelitian yang cukup lama dan dijadikan patokan hingga saat ini adalah penelitian Hulin pada tahun 1968, dimana ia menemukan bahwa tingkat turnover menurun ketika kepuasan pegawai juga naik.
Secara logika perusahaan maupun pekerjanya tentu memiliki ekspektasi pada masing-masing pihak, berharap bahwa mereka akan sama-sama diberikan yang terbaik, namun seperti yang saya bahas tadi bahwa semakin tinggi level seseorang ekspektasi ini juga makin tinggi. Perusahaan disatu sisi memberikan ekspektasi besar pada seseorang dengan menetapkan target-target yang luar biasa tinggi yang harus dicapai, dan jika tidak tercapai maka solusinya adalah pemutusan kontrak.
Disisi lainnya seorang pekerja berharap bahwa apa yang dia berikan pada perusahaan akan dibalas dengan sesuatu yang besar juga hingga tingkat satisfactionnya meningkat. Jika pekerja ini merasa bahwa usahanya tidak sebanding dengan reward/appreciation yang diberikan manajerial maka solusinya adalah ia yang meninggalkan perusahaan itu. Nah, kepuasan itu sendiri tentunya berbeda tiap orangnya, mengapa kira-kira pekerja dengan level semakin tinggi “mudah” memilih untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang mungkin sudah dia geluti selama beberapa tahun?
Kalau istilah orang jawanya sih “Nrimo ing Pandum” / menerima dengan legowo masih sangat berkaitan dengan seberapa tinggi kepuasan orang pada sesuatu. Kalau seseorang merasa dirinya memiliki sumber daya untuk memiliki sesuatu secara lebih (misal memiliki kepandaian, kekayaan, dsb.) tentunya level kepuasannya beda dengan yang tidak.