Mohon tunggu...
Novi Suprapti
Novi Suprapti Mohon Tunggu... -

Nama : Novi Suprapti NIM : X7209066 Kelas : VII/B S1 PGSD UNS Kebumen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pujian dan Penghinaan

12 Februari 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pujian dan penghinaan membuat orang terkejut
Bila tertimpa malapetaka dirasakan amat berat
Kenapa pujian atau penghinaan membuat orang terkejut
Karena puji-pujian diposisikan di paling atas
Penghinaan ditempatkan dipaling bawah
Mendapat rejeki bisa membuat orang terkejut
Mengalami kehilangan juga bisa membikin orang terkejut
Maka pujian atau penghinaan mampu membikin orang terkejut
Kenapa orang takut bila dirinya tertimpa malapetaka
Karena ada sang “Aku”yang melekat didalam dirinya
Bila sang “Aku” itu tidak lagi melekat pada dirinya
Mana bisa dirasakan ada kemalangan besar menimpa dirinya
Bila dia menghargai rakyat daripada dirinya
Negara baru boleh dititipkan kepadanya
Jika dia mencintai rakyat lebih daripada dirinya
Negara pantas diserahkan kepadanya

Penjelasan

Pada umumnya, orang suka dipuji atau disanjung. Sebaliknya, orang bisa terkejut dan sangat benci kalau dirinya dikritik atau dihina. Kenapa itu bisa terjadi? – ini disebabkan karena pujian diposisikan di paling atas dan penghinaan di paling bawah. Keduanya bisa membuat orang terkejut. Begitu pula saat orang mendapat rizeki tiba-tiba atau saat mengalami kehilangan atau kerugian besar dalam bisnisnya.
Dalam hidup ini, kita bisa “mendapat” di suatu saat, tetapi di waktu yang lain kita juga bisa mengalami “hilang”. Keduanya menjadi dalam bentuk dan waktu yang berbeda, selalu datang dan pergi silih berganti.

Mendapat dan hilang pada hakikatnya sama saja. “Mendapat” mendatangkan “hilang”, dan “hilang” akan diikuti oleh “mendapat” di kemudian hari.

Pada umumnya, semua orang juga takut dan tidak mau tertimpa mala petaka. Menurut Lao Zi, itu bisa terjadi karena pada diri orang masih melekat sang “Aku”. Kita sering merasakan sang “Aku” ini dipuji atau dihina, sedang mendapat atau kehilangan, sedang tertimpa mala petaka atau tidak. Bila sang “Aku” sudah tidak melekat pada dirinya, mana mungkin orang bisa merasakan ada “pujian” atau “hinaan”?

Mana bisa dirasakan ada malapetaka yang menimpa dirinya? Maka, bila orang memujinya, Orang Bijak tidak terlalu gembira. Dan kalau orang memfitnahnya atau menghujatnya, dia juga tidak merasa kaget dan marah. Dia telah menyangkal dirinya dan sang “Aku” sudah tidak melekat pada dirinya. Entah “pujian” atau “hinaan”, semuanya sama baginya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun