Legitimasi sebagai dasar berfungsinya kekuasaan bisa bermacam macam. Salah satunya adalah kekuasaan panutan atau referent power, yang muncul atas dasar pemahaman secara kultural dari orang orang yang berstatus sebagai pemimpin.Â
Masyarakat setempat lantas menjadikan pemimpin tersebut sebagai panutan atau simbol atas perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiusitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal ini menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
Sebagai kaum minoritas yang mempunyai keistimewaan, tentunya elit dapat mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini, elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni pertumbuhan penduduk, pertumbuhan spesialisasi jabatan, pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi dan perkembangan keagamaan moral.
Begitu pula mbah Hardjo Kardi yang memiliki tugas utama yang secara prinsip menjaga keutuhan identitas dan dpat membagun relasi budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Terlebih kita ada pada era dimana masyarakat cenderung membawa rasa pragmatis memberi kenyamanan karena mudah mengakses segala hal. Kondisi demikian dikhawatirkan akan menggerus tradisi yang merupakan identitas lokal Samin. Salah satu upaya yang seringkali dilakukan mbah Hardjo untuk melstarikan kearifan lokal adalah dengan rutin mengadakan pertemuan dengan pengikut Samin guna menyampaikan nilai-nilai luhur dari ajaran Samin.
Tentunya kearifan lokal yang masih dipegang teguh ditengah-tengah kemajuan jaman ini tidak terlepas dari pengaruh elite masyarakat dalam hal ini adalah sesepuh Samin, Hardjo Kardi yang merupakan generasi ke empat dari Samin Surosentiko sang mencetus ajaran Samin yang mana Keberadaan Hardjo masih sangat dihormati oleh masyarakat Samin dan membawa pengaruh besar dalam keberlangsungan tradisi leluhur Samin.
Era digital native berkaitan dengan keleluasaan informasi. Dalam setiap kesempatan, mbah Hardjo selalu mengingatkan agar tidak meninggalkan tradisi Samin. Walaupun saat ini masyarakat Samin sudah berbeda jauh dengan Era sebelum 1965 yang mana pada masa sebelum itu, masyarakat Samin masih menutup diri dari dunia luar. Bahkan beberapa diantaranya baru tahu bahwa Indonesia telah merdeka. Kondisi yang demikian berbeda jauh dengan saat ini. Masyarakat Samin sudah menerima perubahan, generasi yang ada saat ini bahkan tidak terlihat seperti orang Samin karena pakaian hitam dan iket sebagai salah satu identitas Samin tidak lagi digunakan.
Masyarakat Samin juga telah menyadari arti penting pendidikan bagi anak-anaknya. Peran sesepuh Samin untuk menjembatani dalam menjaga ketahanan tradisi dirasa begitu penting. Era milenial yang ditandai dengan era Revolusi Industri 4.0 menjadi harapan bangsa mengejar ketertinggalan dari negara maju dengan tetap memperkuat kearifan lokal.Â
Revolusi Industri 4.0 dapat dipandang pula sebagai peluang untuk penguatan identitas Samin. Nilai-nilai budaya lokal harus ditransformasikan dalam berbagai aspek agar dapat membangun karakter bangsa. Namun yang harus diingat ialah perlunya pemahaman terhadap nilai kearifan lokal sehingga memberi fondasi dalam keberlanjutan sebuah tatanan kehidupan yang akan datang.
Angger-Angger Samin
Dalam menjalankan aktifitas kehidupannya, masyarakat Samin berpegang pada tiga prinsip angger-angger atau aturan tidak tertulis yakni angger-angger pangucap (hukum berbicara), angger-angger pertikel (hukum tindak-tanduk), dan angger-angger lakonono(hukum perihal yang perlu dijalankan).
Ketiga perinsip angger-angger itulah sebagai pengendali secara personal dan sosial. Selain perinsip tersebut, ajaran Samin menyuruh pemeluknya mewujudkan perintah lakonono kanthi sabar trokal (lakukanlah dengan sabar sepenuhnya), sabare dieling-eling (kesabaran untuk dilakukan), trokale dilakoni (kesabaran diwujudkan). Prinsip dan perintah tersebut sebagai kontrol bagi masyarakat  Samin.Â