Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Tersisa dari Sebuah Musim

28 November 2014   18:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393310707354866437

Kemarau musim sekarang hanya menyisakan lima lembar daun di tangkai-tangkai bunga mawar, yang nasib kuntumnya pun tidak kalah tragis dengan lima lembar daun tersebut.

Jika biasanya setiap kuntumnya bisa memiliki sepuluh sampai duapuluhlima lembar kelopak, tapi kali ini seia sekata dengan sisa daun di tangkainya. Kelopaknya hanya mampu merekahkan lima kelopak saja.

Berbicara tentang sebuah musim, biasanya yang tengah jatuh cinta begitu menyukai suasana hujan. Meriahnya bunyi “Tik…tik…tik” yang jatuh di bumbungan atap rumah, seolah menjelma bak melodi terindah. Sebuah tangga nada yang mengiringi rasa merindu nan manja.

Lalu bagaimana tentang jatuh cinta di musim yang kemarau. Sebuah musim yang memaksa pohon-pohon seperti jati, kedondong dan nangka untuk meranggas. Apakah sesuatu yang nampak “menyiksa” ini bisa disandingkan dengan kondisi seseorang yang tengah jatuh cinta?

Jatuh cinta.

Jatuh. Bayangkanlah sebuah mangga yang jatuh dari pohonnya. Nampak dari bawah begitu ranum menggoda. Kulit yang berseri kekuning-kuningan, sesekali nampak gurat-gurat kehitaman pertanda betapa sudah waktunya untuk dinikmati. Menunggu pemilik kebun datang memetik yang tak kunjung datang, maka dengan sukarela dirinya mengikuti gerakan angin kemudian memenuhi panggilan gravitasi bumi. Akhirnya jatuh tergeletak tak jauh dari pohon tempat semula dia terbentuk.

Ada dua kemungkinan terjadi saat buah mangga tersebut jatuh.

Pertama, ketika jatuh di rerumputan nan tebal, tentu saja akan meminimalisir kondisi kulit terluarnya. Sehingga akan tetap menarik untuk disantap atau disajikan.

Kedua, ketika buah mangga tersebut jatuh, terhempas di area tanah yang berbatu-batu atau cadas. Tak pelak hal ini akan merusak kondisi lapisan terluar buah mangga tersebut. Biasanya kondisi ini akan menyebabkan “cacat” atau berubahnya bentuk. Jangankan untuk disantap atau disajikan. Untuk dipandang pun akan menimbulkan rasa enggan.

Cinta.

Berbicara cinta, seolah memaksa seseorang untuk mengingat siapa yang paling dicintainya . Tapi sebagian orang, ada juga yang tiba-tiba menangis ketika teringat siapa yang paling dibencinya.

Ketika sebuah cinta jatuh di tempat yang selayaknya. Keutuhannya akan senantiasa terjaga. Begitupun sebaliknya, jika sebuah cinta jatuh di tempat yang tidak layak, niscaya, hanya meninggalkan rasa yang “cacat” di hati.

Layak atau tidak layak di sini. Lebih condong membicarakan pada rasa yang bersambut. Rasa yang sama antara pecinta dan tercinta. Dan tentunya rasa tersebut berdiri dari beberapa esensi. Seperti berjuang bersama, mempertahankan bersama, memahami bersama, setia bersama, atau hal-hal lainnya yang menjadi komitmen secara bersama. Berdua.

Berbeda jika hanya satu pihak saja yang jatuh cinta. Karena hal ini ibarat tengah menyusun puzzle dengan tekun, namun setelah keping demi keping rapi tertata, seseorang datang menghancurkannya. Dengan sikap penolakannya yang rumit.

Rumit.

Tentu akan sangat menjadi rumit. Bagaimana bisa seseorang yang sudah tertatih menyusuri liku-liku merindukan kemudian menginginkan, harus kerap berada di situasi yang tak kunjung mencapai jatuh cinta. Hanya merasa jatuh kemudian menanggung kesakitan, sendirian, tanpa mendapatkan balasan cinta yang sepadan.

Jangankan mendapat balasan, mendapatkan simpati atau empati pun tidak. Sehingga muncul sebuah pertanyaan.

“Apakah aku yang terlalu layu untuk memperjuangkanmu ? Atau dirimu yang terlalu mempersulit perjuanganku?”

Mengurai sebuah jatuh bangun tanpa kepastian cinta, ibarat mengurai benang kusut, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, ibarat menyiram serangga tanpa pestisida.

Rasanya seperti terjebak di ujung dan pangkal, tak menemukan jalan keluar.

Jalan keluar yang meraba-raba.

Tak ada seorangpun yang berhak membatasi seseorang harus berapa kali diijinkan jatuh karena cinta atau harus berapa kali seseorang diijinkan merasakan cinta.

Karena, soal cinta tidak akan pernah mengenal musim. Konon begitu, konon begini perihal cinta, ibarat skenario dongeng tanpa penulis.

Yang pasti, merasa jatuh cinta hanyalah kehilangan yang tertunda.

Kehilangan yang bisa berasal dari “Nya “sebagai pemilik semesta atau berasal dari “nya” sebagai pelakon cinta.

Kembali pada musim kemarau yang hanya menyisakan lima lembar daun di tangkai-tangkai bunga mawar.

Apakah rindu milikku pun tengah meranggas ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun