Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Pecinta yang Memperjuangkan Sang Tercinta

25 September 2012   05:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:45 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348550417976634634

[caption id="attachment_214447" align="aligncenter" width="300" caption=" 1348550417976634634.jpg"][/caption]

Sayang, maukah kau menemaiku berjalan-jalan ke taman kota, yang letaknya di sudut jalan ini.?

Di sana, aku melihat ada sebuah meja lengkap dengan dua buah kursinya. Hanya meja biasa tanpa pahatan dan ukiran. Dan kursinya pun nampak biasa. Terbuat dari kayu murahan tanpa kualitas terbaik. Tapi jangan khawatir, Sayang, kursi dan meja itu akan nyaman untuk dijadikan tempat kita bercengkrama.

Sayang, marilah mendekat padaku. Geserlah kursinyalebih dekat padaku. Biarkan aku berbicara, dengan berbisik di telingamu. Penuh kelembutan tanpa campur tangan syahwat. Karena yang ingin kukatakan dan kubicarakan ini, jangan sampai terdengar oleh apapun.

-Pssttt…sebuah rahasia.-

Aku awali, dengan sebuah danau yang tenang. Di tengah padang savanna luas dengan teriknya surya yang menyengat. Sesekali terbang angsa-angsa liar yang bermain dengan lincahnya, hingga danau itu bersenandung melalui kecipak-kecipak airnya yang tak teratur.

Kemudian, dari kejauhan, nampak berjalan sepasang muda mudi.Dengan keceriaan dan kemesraan. Berjalan dengan saling mengenggam tangan, menautkan jari perjari nya. Seolah ingin memberikan sebuah tanda, bahwa mereka sudah saling mengikatkan diri. Takan terlepas, atau terhempas.

Apakah kau mau tau, bagaimana rupa muda mudi itu, Sayangku ?

Baiklah, aku akan memberitahumu, asal kan kau mau merapatkan tubuhmu padaku. Lebih rapat lagi, Sayangku. Rapaaattttt lagiii. Nah, seperti ini. Agar udara dingin taman ini, tak berani mengambil hawa panasku, walau sedikit. Karena apa yang ada di tubuhku. Hanyalah milikmu.

Ehmmm…harum sekali rambutmu, Sayang. Lebih semerbak dari kelopak-kelopak mawar yang merah merona. Dan kau berhasil membuat iri para bunga di taman ini.

Aww..aaw…kenapa kau mencubitku…salahkan ku puja kau laksana Dewi. Seperti Majnun yang memuja Laila.

Hahaha…betapa manisnya dirimu, ketika semburat rona malu duduk manis di pipi mu yang kenyal.

Aku tak bisa berpaling pada siapapun bila wajahmu seperti ini, Sayang.

Ah sudahlah, lebih baik aku tepati dulu janjiku, memberitahu wajah muda mudi itu. Aku tak mau menjadi semakin gila, dengan melihat geliat-geliat ekspresimu.

Yang muda, itu aku, Sayang..

Yang mendapat tempat sebagai sang pecinta, yang rela menghabiskan seluruh waktunya hanya demi memikirkanmu. Melewatkan siang tanpa makan dan minum, melalui malam tanpa berjaga. Baginya, kerugian besar bila harus melewatkan sedetikpun episode tentangmu.

Walau hanya dari kejauhan, melihat mu tersenyum saat meminum teh. Dan memperhatikan naik turunnya nafas didadamu, yang membuatku cemburu. Betapa beruntungnya ruh yang berdiam di ragamu, karena mereka punya keleluasaan menjamah mu tanpa takut berdosa.

Dan kau…adalah seseorang yang ditakdirkan sebagai yang tercinta. Yang harus selalu dijaga dari para penjarah.

Tak peduli, sebagaimana kerasnya dirimu menolak ku. Kau tetap yang tercinta, yang tersedap di mataku, dan yang terasik untuk diceritakan kepada kaumku.

Sayang, kini kau sudah tau kan ?. Wajah muda mudi itu.

Ahh..kenapa keningmu harus berkerut begitu, apakah kisah yang nampak absurb ini begitu sulit kau cerna ?

Ya, aku tahu..kisah ini terdengar seperti sebuah paragraph yang belum selesai. Namun, inilah kisah yang ingin ku bagi bersamamu, di taman ini.

Betapa aku ingin, kau menemaniku menyelesaikan paragraph demi paragraph agar terangkum menjadi sebuah buku.

Sayang, aku mencintaimu bukan karena sebuah nafsu libido atau seperti yang di katakan para pakar psikologi cinta.

Sebagaimana yang ditulis Plato pada abad ke-4SM. Plato mengatakan bahwa gambaran cinta sebagai keinginan untuk bersatu dengan sesuatu yang tidak disadari: citra yang ideal. *1

Apa Sayang ?...kau ingin segera pulang.

Iya Sayang..iya…marilah kita pulang. Dan biarkan kisah yang ku dongengkan tadi, tercecer di tempat ini. Karena setiap hari, kita akan kembali dan duduk di meja serta kursi sederhana ini.

Bangkitlah Sayang, dari dudukmu. Kita akan pulang, tentunya dengan tangan yang tetap bertaut jari perjarinya.

Jari yang akan selalu menulis kisah-kisah cinta. Tentang pecinta yang memperjuangkan sang tercinta.

###

Aku ingin pulang. Menuju hatimu.

Rumah sederhana, tanpa meja kursi dan peralatan makan mewah seperti istana.

Bangunan yang di kelilingi ilalang liar dengan atap rumbai kering.

Aku ingin pulang. Pada hatimu.

Mengayuh sepeda kehidupan bersamamu, menyelesaikan setiap helai surat dariNya.

Menyemaikan biji biji kehidupan penerusku..dalam hangatnya kantung semarmu.

Dan aku ingin pulang. Selalu padamu. Pasrah, membiarkanmu merengkuhku, mendendangkan kidung-kidung cintaNya yang terajut indah melalui lafaz suaramu.

Aku hanya ingin pulang. Padamu.

Bermuara dan diam di sana..sambil menanti jemputan alam yang dikirimNya. Menunggu tanpa rasa gentar, menunggu dengan yakin, kelak kau dan aku abadi di firdaus.

Ijinkan aku pulang.

Pulang…padamu dan kepadaNya.

=========================================================================]

Untukmu, yang sedang duduk disudut ruangan, dengan segelas kopi hitamnya.

(*1 sebuah kutipan dari novel Bak Rambut Dibelah Tujuh)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun