Ta, lagi-lagi aku harus melontarkan sebuah tanya padamu. Apakah harus sesakit ini menyimpan perasaanku padamu ? Apakah harus sepintar ini berpura pura di hadapanmu ? Menutupi perihal terlukanya aku, cemburunya aku dan bebalnya aku.
Ta, kadang aku merasa bingung dengan apa yang kurasakan padamu. Ketika banyak orang berjuang keras menjauhi sakit derita cinta tak terbalas, mengapa aku malah sebaliknya.
Ta, cobalah lihat aku ! Perhatikanlah aku, betapa aku dengan sukarela mendekam sekam rindu yang tak terbalas. Betapa aku begitu nampak damai berjalan bersama sang waktu yang tidak pernah memberiku pilihan antara menunggu atau meninggalkanmu. Sosok yang sungguh buta pada perhatianku.
Ta, aku tahu bahwa hatiku sudah berdarah-darah sedari awal bahkan hingga kini.
Tapi Ta ! Apakah hal ini lantas membuatku mengurungkan hasratku bercumbu dengan sakit derita memujamu.
Ta, pagi ini sisa ruar teh di cangkirmu masih begitu lebat. Bahkan kabut-kabut tipisnya seperti merupa wajahmu. Dan entah mengapa pagi yang masih buta, berhasil memasung logikaku lagi, sementara baru semalam aku terisak hebat karena melihat lengan kekarmu mendekam sosok yang bukan aku. Sosok yang seharusnya tidak perlu hadir, karena sudah ada aku disisimu.
Ta, menurutmu apakah aku harus membunuh diri sendiri agar ruar-ruar uap teh pagi milikmu berhenti memasung nalar sehatku ?
"Kau cobalah buka hatimu !" Katamu diwaktu minum teh, terlontar begitu ringan tanpa beban. Sungguh berbanding terbalik denganku saat mendengarnya.
Aku memang membutuhkan jawaban dari diam-diamku memujamu, namun yang ku harapkan adalah sebuah kata penuh dramatisir. Sebentuk ekspresi yang akan membuatku lupa bahwa aku kerap berpura-pura tak mengagumimu, tak memujamu. Padahal di balik punggung kekarmu, jemariku begitu lihai menyeka titik-titik lara yang luruh dalam bentuk airmata.
Ta, bolehkah aku meminta padamu ? Sebuah harapan yang kelak akan kubawa ketika aku berkalang tanah.
Apakah kau mau belajar berpura-pura menyayangi aku ? Menyisihkan sekian putaran waktu bersamaku. Hingga kau merasa lelah untuk berpura-pura, dan kemudian meminta ijinku untuk mengakhiri segalanya.
Ta, mungkin kau akan banyak bertanya, mengapa aku begitu rela diperlakukan dengan pura-pura.
Ya, Ta. Iya, aku memang bodoh, seperti suara yang mengaung dalam hati kecilmu.
Tapi biarlah aku bodoh dan dungu melebihi keledai. Tak mengapa. Karena aku sesungguhnya sudah lupa bagaimana rasanya menjadi cerdik, semenjak memutuskan untuk memujamu.
Memuja seseorang namun harus menyelimuti setiap pemujaan dengan kepura-puraan.
Ta, sudah cukup bagiku mendapat balasan walau hanya setitik. Setidaknya hal ini akan mampu menyunggingkan senyumku bila kelak mataku tertutup selamanya.
Ta, kuminta lagi jawaban darimu. Apakah kau sudi berpura-pura membuatku bahagia ?