Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Gendeng Itu

20 Oktober 2014   23:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:20 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau saja penyesalan bisa di setting sebagai sebuah pendaftaran, mungkin aku sudah melakukannya sejak awal mengenal dirinya.
Sosok perempuan unik, dengan bermacam prinsip hidup yang terkadang membuat aku begitu sulit memahaminya.

Musim kemarau yang sudah berjalan hampir dua bulan, tak pernah memudarkan ingatan aku tentang bagaimana dia memilih mandi sehari hanya sekali demi bisa menyiram aneka tanaman yang ditanamnya, baik dalam pot maupun yang tumbuh di tanah.

"Mereka sama seperti kita, terbayang bukan ? Bagaimana menderitanya mereka jika tak tercukupi asupan airnya. Lagipula bukankah menjaga semua isi jagad ini adalah tugas kita, seperti yang Syeh Siti Jenar sarankan. Bahwa seluruh mahluk hidup terdiri dari binatang, tumbuhan dan manusia memiliki nyawa atau roh, dan oleh sebab itu segala sesuatu yang bernyawa berhak untuk hidup. Jadi, jika aku tidak bisa membagi kehidupanku dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya, bukankah sama saja aku berperangai layaknya seorang pembunuh?"

Sesaat sesudah mengucapkan itu, terdengar jerit kegirangannya yang menemukan pucuk tunas baru pada tangkai melati yang di bibitnya dalam pot, tepatnya dalam pot yang terbuat dari kaleng bekas biskuit.

Dan aku manggut-manggut, mencoba memasuki tiap perkataannya, walau sebenarnya agak sukar menerima pilihannya yang memilih tidak mandi dua kali sehari daripada tanaman peliharaannya merasa kehausan. Bukankah seorang perempuan sangat takut jika badannya mengeluarkan bau yang tidak sedap. "Perempuan gendeng." Umpatku dalam hati.

Atau ketika perempuan itu meminta aku untuk menemaninya ke kantor Samsat guna memperpanjang dokumen kendaraannya yang sudah hampir 2 tahun terlambat dibayar pajaknya.
Aku pun pernah melakukan hal tersebut, terlambat membayar pajak, tapi tidak selama itu.

"Buat apa begitu memutlakan sebuah dokumen kendaraan, bukankah selama ini aku kemana-mana selalu menggunakan sepeda. Kau ingat, saat selangkanganku lecet parah, menempuh jarak 23 km, pulang pergi, jika di kali dua maka 46km aku mengayuh sepeda hijau ku."

Aku hanya mengangkat kedua pundak ku sebagai isyarat "apapun deh katamu" karena antara aku dan perempuan itu, perdebatan biasa akan mencuat menjadi luar biasa jika topik perdebatannya adalah tentang bagaimana menjalani hidup di jaman yang makin rakus akan segala hal, katamu.

"Aku tidak ingin menciptakan berhala baru di hidupku, dengan terlalu menikmati segala kemudahan atau fasilitas penunjang yang katanya bisa mempermudah segala hal."

"Tidak takut kulitmu terbakar matahari dan menjadi gosong kayak bokongnya periuk yang sering kau pakai merebus daun sirsak, minuman kegemaran mu? Bukankah perempuan sangat mengidamkan kulit putih dengan rona yang segar?"

"Ha...Ha...Ha...Hey Fahri ! Kau lupa...aku adalah penggemar setia lotion anti matahari" jawabmu sambil merogoh saku celana kananmu dan mengeluarkan sebuah tube kecil bertulisan "Sun cream with Spf 30.”

Dan aku kembali manggut-manggut, "Perempuan gendeng.” Lagi-lagi aku mengumpatnya dalam hati. Tak bisa bersolek namun bisa menghargai keindahan kulitnya.

Musim kemarau rupanya masih akan terus memperpanjang kontraknya dengan jagad raya. Memupuk harap bahwa musim hujan segera tiba sepertinya hanya akan menjadi harapan yang sia-sia. Seperti halnya sebuah rasa penasaran yang bersisian dengan rasa penolakan, terlahirlah rasa terlambat.

Berbanding sama dengan musim kemarau yang makin terasa gersang, hari Sabtu juga mempunyai kenangannya sendiri. Kenangan yang kentalnya sama dengan aliran darah.

Walau aku posisinya hanya sebagai sahabat, namun sudah menjadi hal yang rutin, jika setiap Sabtu pagi aku menjemputnya dan menemaninya ke pasar, berjalan kaki. Menempuh jarak 13kilo dengan cuaca musim kemarau tentu lumayan menguras keringat. Balikpapan bukan kota yang teduh, bukan ?

"Fahri, kamu tahu mengapa aku sekarang sangat menyukai pasar tradisional ? Padahal sebelumnya, aku begitu membenci aroma busuk dari bak-bak sampah yang berada di seputar pasar. Aku begitu benci ketika harus berdesakan-desakan dengan para pembeli lainnya, yang menurutku badan mereka sangat bau. Aku benci baju ku yang rapi beraroma Aigner bercampur dengan bau matahari."

"Tumben perempuan gendeng ini, bicara beginian" tanya ku dalam hati, menanggapi ocehannya yang tidak biasa.”Emang karena sebab apa, sekarang kamu lebih memilih pasar tradisional daripada pasar modern?” tanyaku.

“Aku bosan.” Matanya nampak menerawan jauh, senyumnya tersungging apaadanya.”Aku bosan menjalani hidup yang hanya melulu berada di zona nyaman. Yang lantas membuatku lupa kapan terahkir kali aku basah kuyub karena keringat, bahkan membuatku lupa aroma ketekku sendiri”

“Hah! Aroma ketek ? Sejak kapan Dianing Nastiti bau ketek” godaku. Namun dalam hati mengumpat juga “Perempuan ini sudah gendeng.”

“Lo…lo…Aku serius…”

“Iya..iya…Aku tahu, kamu sekarang sedang bosan pada kenyamanan-kenyamanan yang sudah bertahun-tahun kamu rasakan.”

“Bukan. Bukan sedang bosan, tepatnya sudah bosan.” Perempuan itu menghentikan langkahnya dan menoleh padaku dengan tatapannya yang tajam.

Mendapat tatapan yang seperti itu, rasanya ada yang menindih dadaku. Aku menjadi salah tingkah.

***

Di tengah hari yang sama, sebulan yang lalu, ketika aku membantunya memindahkan pot-pot yang menurutnya sangat tidak tepat. Dia utarakan niatnya untuk menjadi relawan pengajar anak-anak. Di sebuah kota sangat terpencil di pulau paling timur Indonesia, adalah Timika.

Entah ide darimana, perempuan yang dulu sangat tergila-gila pada fashion, pada keglamoran hidup dan pada kenyamanan-kenyamanan hidup. Kini malah memilih untuk menjauhi semuanya.

Tak ada alasan yang jelas atas semua perubahan sikapnya itu. Karena setiap kali kutanya, kenapa begini, kenapa begitu, perempuan itu hanya mesam mesem misterius. Tampaknya dia tidak peduli pada apapun pandangan orang terhadapnya.

Namun entah mengapa, makin aku merisaukan perubahannya, rasa kangen ini makin menjadi-jadi. Dentumannya bertalu-talu memekakkan seluruh isi perut.

Walau kerap merindukannya, sejujurnya aku belum bisa menerima segala perubahannya itu. Sebab aku tipe lelaki pemuja keindahan wanita. Mulai dari bentuk tubuh, warna kulit, kehalusan kulit bahkan bentuk alis seorang wanita mampu menarik perhatianku.

Ah, aku tiba-tiba teringat ucapannya, “Fahri, tahukah kamu, jika terkadang nasib seorang perempuan serupa dengan nasib lingkungan hidup. Kamu tahu kenapa ? Karena masalah lingkungan hidup dan permasalahan perempuan masih minim perhatian. Bahkan tidak jarang kedua hal tersebut mendapat perlakuan diskriminasi. Menyedihkan, bukan?”

Ku tarik nafas sedalam mungkin. “Gendeng, gendeng. Kenapa aku sangat kangen, ya?”

Dan aku kangen. Makin kangen.

***

Empat pohon pucuk merah nampak menawan dengan pucuk-pucuknya yang menyembul merah menyala di tiap ulamnya. Mereka ceria. Musim hujan yang di nanti sudah tiba, bahkan hari ini sudah memasuki satu bulan.

Ya, satu bulan yang lalu juga perempuan yang kerap aku maki dalam hati, membulatkan tekadnya untuk hijrah ke Timika, dan menitipkan rumah beserta koleksi tanamannya padaku.

Aku kerap termangu sambil memandangi kuncup-kuncup melati dan mawar yang mendominasi koleksi tanamannya. Masih belum bisa menemukan jawabannya mengapa perempuan yang aku kasihi diam-diam memutuskan ke Timika.

Belum genap sebulan dia pergi, rasa kangen ini makin sering menyergap. Tanpa mengenal batas waktu. Pagi, siang, malam bahkan dalam tidur sekalipun.

Akses yang sangat terbatas, tak memungkinkan aku untuk menaikan intensitas komunikasi, sejak keberangkatannya hingga saat ini, belum ada lagi aku dengar kabarnya.

Aku termangu, pikiranku menerka-nerka sendiri tentangnya di sana.

“Titi.” Kupanggil namanya perlahan. “ Kirimkan kabarmu secepatnya, atau aku akan segera mati menanggung kangen yang belum tersampaikan. Rasa yang sejak lama ku tutupi karena merasa kau takkan mampu menciptakan banyak keindahan.”

Tanpa kusadari, baru ini kali pertama aku bergumam dalam hati. Memanggil nama kesehariannya. Mengungkapkan rasaku yang sebenarnya. Dan umpatan “Perempuan gendeng” yang kerap aku tujukan padanya, hilang.

***

Benar sekali,

Kata orang, jika penyesalan selalu datang di akhir. Andai saja aku tak mempermasalahkan banyak hal dari dirinya. Andai saja aku bisa menilai sisi keindahan lainnya dari dirinya selain keindahan kasat mata.

Ah, andai saja. Hanya itu yang bisa ku gumamkan dari tadi.

Andai…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun