Lelakiku, cahaya bulan masih mengantung. Seolah-olah tengah mengulang-ngulang sesuatu. Seperti hendak berteriak. Bahwa November harus berpulang. Seperti luruhnya melati yang tak betuan, satu persatu kelopaknya luruh. Terjerembab di dada yang sunyi. Hingga puisi urung berdiksi.
Seperti Oktober yang berjalan menuju November, November pun kini berjingkat menuju Desember. Dan konon, Desember adalah bak hidangan penutup yang menyajikan sepiring refleksi sepanjang tiga ratus enam puluh lima hari berlalu.
Tapi bagaimana dengan bulan-bulan kebersamaan milik kita ?
Ah, sudahlah. Aku tahu jawabannya.
Seperti tak tentunya hujan bulan Juni, bulan rindu kita masih begitu liar. Tak mudah menaklukan jarak dan waktu yang menghalanginya.
Aku dan kamu, hingga kini masih sebagai sepasang puisi yang selalu jatuh cinta. Sesekali aku dan kamu bersikap bak pemain drama queen, yang pada tiap akhir ceritanya begitu mudah ditebak. Saling mencari.
Dalam hitungan jam, Desember akan semakin memintal rindu kita menjadi kental. Dan tiba-tiba aku merindukan hujan. Aku ingin melihat langit-langit di penuhi jamur raksasa berwarna hitam legam. Tak ada bintang. Bulan. Apalagi kejora.
Pada hitam legamnya langit malam, ingin kutemukan sepasang bola matamu yang kerap sembab. Sembab yang lembab. Hingga tak ada alasan bagi puisiku untuk tidak tumbuh subur di sana.
Terlalu suburnya puisiku tumbuh di matamu membuatku tanpa sadar selalu patuh duduk di teras depan rumah. Sekedar menanti hujan, demi bisa memunguti rindu yang berjatuhan. Rindu yang jatuh dari sepasang bola matamu yang legam.
***
Sepanjang siang di akhir November, kotaku terguyur hujan. Dan seperti kanak-kanak yang mendapat mainan baru, aku menggilai tetesan rinai yang menghentak-hentak menghujami setiap ruas kulitku. Bagiku mereka ibarat perpanjangan lidahmu, yang menyampaikan orasi sajak-sajak kerinduan.