Siapa sich di dunia ini yang tidak ingin menjadi seorang pelaku top management, ya minimal middle management.
Saya yakin pasti semua orang sangat mengharapkan atau menginginkan posisi tersebut.
Di samping mendapat fasilitas penunjang jabatan, status yang upgrade, dalam hal salary tentu saja menjadi alasan utama seseorang menginginkan posisi tersebut.
Tetapi yang jadi masalah, apakah pada saat menduduki posisi tersebut, kita adalah sosok atasan yang berada di skala mayoritas untuk disukai atau malah sebaliknya. Minim disukai karena sikap kita memimpin anak buah.
Beberapa waktu yang lalu, saat berkumpul dengan rekan-rekan sahabat dari kantor terdahulu. Banyak sekali share yang saya dengar. Mulai dari pembatasan-pembatasan penggunaan fasilitas kantor, hingga suasana kerja yang makin tidak kondusif.
Beberapa orang yang duduk di posisi top dan middle managemen mulai mencari jalan aman sendiri dengan mengesampingkan kepentingan bersama team. System kerja yang seharusnya berdasarkan system the right man in the right place berubah dengan system asal bapak senang.
Tentunya hal seperti ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang terbiasa bekerja sesuai disiplin ilmu managemen tentu sangat menganggu, namun lain hal dengan pekerja yang sejak awal sudah berjiwa self oriented alias bekerja demi memuaskan ego sendiri.
Berbicara tentang sikap seorang atasan, saya jadi teringat pengalaman diri sendiri. Dimana ketika itu saya bekerja pada sebuah team yang awal mulanya di pimpin dengan sangat baik, namun semakin berjalannya waktu hal-hal yang berjalan baik dan tertib managemen seolah menjaditempat untuk menjaring suara demi sebuah reputasi.
Pelan namun pasti ketidakcocokan ini berpengaruh pada pekerjaan saya bersama team. Pekerjaan yang sebenarnya mudah dan gampang, karena saya kerjakan tanpa semangat menjadi pekerjaan yang mebosankan dan ujung-ujungnya stagnan.
Akhirnya karena merasa sering berselisih pendapat dengan atasan plus suasana kantor yang menurut saya sudah lagi tidak mendukung pekerjaan, dengan berat hati saya memutuskan untuk resign.
Namun sebelum memutuskan untuk resign, saya menyempatkan diri membuat suatu evaluasi mengapa antara saya dan atasan makin sulit bekerjasama dengan baik.
Dan dari evaluasi yang saya lakukan ada beberapa kesimpulan yang saya dapat, kesimpulan inipun berdasarkan dari training managemen di bawah naungan ibu Betty Alisyahbana yang pernah saya ikuti.
1.Atasan kurang menghormati anak buah.
Memang, sebagai atasan tidak bisa sepenuhnya menjadi sosok yang harus mengerti apaapa yang menjadi kemauan anak buahnya masing-masing. Namun memiliki sikap baik merupakan hal terpenting. Agar atasan bisa berada di skala mayoritas untuk di sukai anak buahnya. Tidak menganggap remeh skill anak buah merupakan salah satu contoh jika atasan tersebut sosok yang bisa menghormati anak buahnya.
2.Atasan bersikap seperti “Anjing penjaga”
Maksudnya adalah anakbuah selalu menjadi objek kecurigaan yang berlebihan. Sekecil apapun hal yang sebenarnya sepele, di anggap suatu sikap yang akan membuat perusahaan rugi atau bermasalah.
Padahal sebagai anak buah, di beri ruang keleluasaan dalam bekerja tentunya akan mampu mendongkrak semangat menyelesaikan suatu pekerjaan. Maksud keleluasaan di sini tentunya di bawah pengawasan. Media yang berisi dukungan dan serta komunikasi dua arah, antara atasan dan anak buah.
3.Atasan kerap bersikap otoriter.
Atasan seperti ini biasanya adalah sosok yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan hasil yang maksimal namun mengesampingkan empati dan simpati yang di butuhkan anak buahnya.
Padahal sekali waktu mengajak anak buah mendiskusikan sesuatu yang berkenaan dengan kemajuan perusahaan adalah perlu. Karena hal tersebut bisa di jadikan ajangmendengar masukan-masukan dari sudut pandang anak buah. Bukan hanya melulu dari sudut pandang seorang atasan.
4.Terjadi pembunuhan karakter.
Ini yang paling menyakitkan bagi seorang anak buah. Ketika seorang atasan mulai tidak bisa mengontrol ketidaksukaannya pada salah satu anak buahnya. Mencoreng hitam hasil pekerjaannya adalah hal yang mudah di lakukan.
Salah satunya adalah dengan mempergunjingkan kekurangan dan kesalahan anak buahnya sebagai obrolan publik saat meeting internal kantor.
Padahal hal tersebut tidak sepantasnya di lakukan seorang atasan. Justru yang harus di lakukan adalah memback-up anak buah tersebut agar makin produktif dalam bekerja.
5.Anak buah kerap di jadikan umpan demi menutupi kesalahan seorang atasan.
Tidak jarang ketika sebuah pekerjaan tidak memberikan hasil yang maksimal, seorang atasan akan mencari kambing hitam demi menyelamatkan reputasinya. Dan biasanya yang menjadi kambing hitam adalah anak buahnya.
Hal-hal yang saya sebutkan di atas, bukan berarti bahwa atasan saya terdahulu tidak mempunyai nilai positif, akan selalu ada nilai positif dari masing-masing pribadi. Yang membedakan adalah kadarnya.
Bekerja buat diri saya bukan hanya bicara tentang jabatan atau salary, tapi lebih pada rasa nyaman dan di hargai. Soal gaji kecil, jika di tunjang oleh adanya sikap yang baik dari atasan pasti akan tertutupi dengan sendirinya. (AY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H