Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Mbah, Jangan Mati Dulu, Ya!"

10 Februari 2014   13:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mbah, kenapa orang kalau sudah tua harus mati ?! Dan apakah Simbah juga akan ikut mati, seperti Emak ama Bapak, yang dulu mati ketabrak kereta api?” bibir mungil Sumini bertanya dengan wajah polos pada Harni.

Harni adalah seorang wanita yang sudah dikatakan renta. Di usianya yang sudah menginjak kepala 70an tahun. Hari tuanya tidak senyaman kebanyakan renta lainnya. Jika mereka menikmati hari tua dengan duduk manis di depan TV sambil menikmati secangkir minuman coklat hangat atau bersenda gurau bersama anak cucu menantu.

Tidak begitu dengan Harni, yang harus tetap bekerja keras menjadi buruh pikul di pasar Bringharjo, sebuah pasar tradisonal di salah satu sudut kota Jogjakarta. Semua dilakukan demi cucu semata wayangnya, Sumini. Bocah perempuan yang menjadi yatim piatu karena Darsi anak perempuannya harus meregang nyawa bersama Sumarno suaminya ketika sedang berada di pinggir jalur lintasan kereta api saat hendak memunguti botol-botol bekas penumpang kereta api.

&&&

“Mbah, kenapa kita tidak boleh tinggal di sini lagi ?! Terus jika kita pindah, kita mau tidur dimana lagi Mbah ?” lagi-lagi Sumini bertanya perihal tempat tidurnya esok hari. Wajahnya yang polos nampak begitu bersahaja. Mungkin karena setiap hari Sumini ikut menyaksikan bagaimana kerasnya sang Simbah bekerja. Berpeluh keringat sepanjang hari, manakala sebuah jinjingan besar bertengger di pundaknya atau kepalanya.

Sumini kecil tidak bisa membantu banyak, hanya sesekali dia ikut-ikutan mencari sisa beras yang tercecer di toko Aliong, jika dia sedang bongkar muat gudang berasnya.

Pertanyaan ini adalah yang kerap di tanyakan Sumini selain perihal kematian. Tempat tinggal yang sekarang adalah yang kesekian kalinya di tempati. Hidup nomaden sudah menjadi makanan sehari-hari. Di usir secara kasar oleh petugas PJKA adalah hal yang lumrah bagi Sumini dan Harni.

Bagi mereka, di usir atau tidak di usir hasilnya tetap sama. Mereka tetap tidak punya rumah atau setidaknya tempat yang layak di sebut rumah.

&&&

“Mbah, kalau Simbah mati, nanti aku sama siapa ?! Siapa yang akan kepang rambutku lagi ?” Sumini beringsut dari tempat duduknya dan mendekati Harni, wajah mereka kini menjadi sejajar. Harni masih tetap sibuk, memisah-misahkan beras dari pasir.

Baginya celoteh dan pertanyaan ini itu dari mulutnya Sumini adalah suatu keindahan tersendiri, Laksana kidung yang di lantunkan para pemilik langit.

Walau beras yang didapat sama banyaknya dengan pasir yang tercampur bersamanya, namun hal itu tidak menjadi masalah bagi Harni dan Sumini untuk tetap memakannya.

Bagi mereka beras tetap saja beras walau tercampur dengan butiran-butiran pasir atau batu.

&&&

Kekhawatiran Sumini, sebenarnya sudah lama di rasakan oleh Harni. Manakala perutnya terasa kembung dan kepalanya berdenyut-denyut. Harni harus sekuat tenaga menahannya, semua demi Sumini. Satu-satunya keluarga yang tersisa. Tidak jarang Harni meratap pilu, ketika pagi bertemu pagi, karena itu berarti usianya makin meninggi. Dan artinya malaikat penjemput kematian akan mendatanginya kapan saja.

“Mbah, tadi siang waktu aku ngumpulin beras di gudang Babah Aliong, Mey-mey punya jepit rambut baru. Warnanya merah. Kapan Simbah belikan jepit rambut seperti Mey-mey ?” Sumini bangkit dan tangannya ikut memilah-milah beras yang tercampur pasir.

Tangan Harni terhenti. Matanya kini beralih pada Sumini, ditatapnya lekat gadis kecil di hadapannya. Kemudian rambut merah kecoklatannya yang sepundak di belai lembut olehnya.

“Sum, kamu tahu ?! Waktu simbokmu kecil, dia juga cerewet seperti kamu. Waktu kecil, dia juga banyak maunya, persis seperti kamu.”

Sumini menatap Harni dengan tersenyum, “Simbok cantik ga, Mbah, waktu segede aku?!” tanyanya lagi dan tangan mungilnya kembali asik memilah beras yang bercampur pasir.

Harni tersenyum kecut sambil mengelus pundak sebelah kiri Sumini “Lebih cantik kamu, Cah Ayu”

Kemudian keduanya hanya diam. Sekantung kecil beras yang tercampur pasir, rupanya menjadi pemandangan yang menarik bagi nenek dan cucu.

Dalam kepalanya Sumini, mungkin tidak ada apapun yang dipikirkan. Baginya bangun di pagi hari dan masih melihat Harni di sampingnya merupakan satu hal teristimewa. Sumini hanya membutuhkan Harni sebagai pengganti Simbok dan Bapaknya.

Jika Sumini kerap bercerita ini itu sambil berceloteh riang betapa meriahnya warna pita rambut dan boneka yang di miliki anak gadis sebayanya. Yang bisa Harni lakukan hanya tersenyum dan tersenyum, sambil mengelus dadanya sendiri. Meratapi nasib mengapa cucunya tidak bisa mendapatkan hal yang dia idamkan.

&&&

Memilah beras dari campuran pasir, selalu saja membuat Harni gelisah. Ketidakberdayaan dirinya memberikan sesuatu yang layak bagi Sumini kerap membangunkan suara-suara aneh dalam hatinya.

Sebuah suara yang baginya tidak masuk akal untuk dilakukan. Sebuah dorongan yang baginya sangat tidak manusiawi.

“Mbah, aku ngantuk. Aku tidur duluan.” Sumini beranjak dari tempatnya, lalu berbaring sekenanya. Di tariknya sehelai kain kumal yang teronggok di sudut ruangan. Ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari tumpukan beberapa helai kardus. Sesekali tumpukan ini bergerak-gerak jika sebuah kereta api melintas.

Harni menghentikan tangannya. Di tatapnya dalam-dalam wajah Sumini. Dadanya nampak tenang bernafas. Sebentar naik, sebentar kemudian turun. “Wajahnya begitu mirip Darsi. Tetapi dagunya menjadi milik Sumarno.” Gumam Harni

Menatap Sumini dalam keadaan terlelap bukan menjadi pemandangan yang indah bagi Harni. Karena hal tersebut membuat suara-suara aneh itu terdengar makin jelas. Bahkan sudah dua minggu ini, Harni merasa sudah tidak kuat mengusirnya dari pikiran dan hatinya.

“Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan. Jika aku mati, siapa yang akan menjaga Sumini kelak” ratap Harni dalam hati.

&&&

“Mbah, jangan mati dulu ya. Temani aku dulu” pinta Sumini sebulan yang lalu ketika Harni mengalami demam hingga tubuh rentanya hanya bisa tergolek lemah di atas hamparan kardus, yang mereka sebut sebagai kasur.

“Iya..iya” dengan gemetar Harni menjawab permintaan Sumini. Suara Harni bergetar bukan karena demam yang menderanya namun lebih mendekati sebuah ketakutan jika pada akhirnya sakit ini harus membuatnya mati duluan, dan meninggalkan Sumini sendirian di dunia.

&&&

Di sudut kantor polisi, nampak nenek renta terduduk lesu. Wajahnya tak menggambarkan apapun. Hanya sesekali terdengar nafasnya memburu ketika batuk mendatanginya

“Mbah Harni, kenapa Simbah tega membunuh Sumini?! Bukankah Sumini adalah cucunya Mbah?” tanya seorang pria paruh baya, berseragam coklat dengan badge nama Suryanto di sebelah kirinya.

Mata lelaki itu begitu tajam menatap wajah Harni yang nampak tenang.

“Saya tidak membunuh Sumini, Pak Polisi. Mana mungkin saya tega melakukan hal itu pada cucu saya sendiri. Darah daging saya. Saya hanya tidak mau dia hidup sebatang kara jika saya mati nanti. Saya yakin, saat ini Sumini pasti sudah bahagia bertemu dengan simbok dan bapaknya” Dengan tatapan kosong, Harni menerawang keluar jendela, senyumnya terkembang bahagia. Harni merasa bahwa dengan mengakhiri hidup Sumini, sudah membuat dirinya telah menjadi seorang nenek yang baik.

“Saya melakukannya karena saya dilarang mati duluan.” Harni menarik nafas, mencoba tetap tenang walau tidak di pungkiri wajahnya mulai nampak lemah sementara sudut matanya mulai berembun, basah.

“Sumini masih terlalu kecil untuk hidup sendirian di kota sekejam Jogjakarta. Dan saya…saya sudah makin tua Pak Polisi. Ajal bisa kapan saja menjemput saya” Nafas Harni nampak tersenggal-senggal. Batuk makin mendera tubuh tuanya tanpa jeda.

“Minum dulu,Mbah?!” seorang pria berseragam polisi menyodorkan segelas air putih pada Harni.

Dengan tangan gemetar Harni menerimanya dan langsung meneguknya “Terima kasih Pak Polisi”

“Tidak membunuh?! Dahi pria itu sedikit berkerut “Tapi menikamnya berkali-kali, apakah itu bukan membunuh, Mbah ?” tanyanya dengan intonasi yang di tekan dalam-dalam

Harni menunduk, bibirnya mulai bergumam tidak teratur “Aku tidak membunuh Sumini, aku tidak membunuh Sumini, aku tidak membunuh Sumini……” ucapnya berulang-ulang.

Selama ini Harni tidak pernah bisa memberikan apapun yang Sumini inginkan. Boneka, jepit rambut warna warni, rumah yang layak, selimut yang hangat.

Dari sekian banyak keinginan Sumini, hanya satu yang bisa Harni kabulkan yaitu dia tidak mati mendahului Sumini.

&&&

Cinta kasih seorang Harni pada Sumini cucunya ternyata harus membuatnya mendekam di penjara untuk jangka waktu yang lama, mungkin kelak Harni akan menutup mata di balik kokohnya jeruji penjara.

Tapi setidaknya hal ini akan membuat akhir cerita hidup seorang Harni nampak lebih baik. Daripada harus menutup mata di balik dinding karton dan tikar butut dengan sehelai kain kumal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun