[caption id="attachment_419730" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas Image)"][/caption]
Ada banyak mulut-mulut terngangga
Namun lidah mereka lekat erat menggantung di langitnya
Berdendang sana-sini, namun hanya gaung kosong berkumandang
Berbunyi nyaring tapi tak ubahnya seperti pepesan kosong
***
Betapa banyaknya gendang telinga bertebaran masih tergantung erat
Pada rongga yang bersebelah dengan otak
Mampu mendengar raungan pilu
Namun pikiran kotor menyumbatnya
Maka jadilah raungan pilu hanya dianggap dendang lagu berlalu
***
Ada berjuta sepasang mata anugrah Ilahi
yang kemampuan melihatnya masih berkali lipat dayanya
Disuguhi seonggok raga yang hanya terdiri dari tulang-tulang rapuh getas
Dengan ceruk mata yang begitu dalam,
menyimpan nestapa
Nelangsa karena terbuang dari kawanannya
Namun entah mengapa buta menghinggapi mereka, mata melihat namun nurani ditutup
***
Jerit tangis kanak-kanak riuh mencari puting ibunya
Para ibu memukuli dadanya meratapi putingnya,
yang tlah kering kerontang tak berair susu
“Mulut kami sudah lupa memamah sesuatu,”
“Mulut kami sudah lupa menegak sesuatu,”
Kata mereka, dan tetap memberikan putingnya, berharap riuh kanak-kanak mereda
***
Lalu,
Ketika mulut sudah sengaja membungkam ucapan belasungkawanya
Ketika telinga sudah sengaja dibuat lalai pada sebuah kabar duka
Ketika mata sudah sengaja mengabaikan sebuah penindasan
Apakah masih pantas mahluk ciptaan Tuhan yang bernama manusia, disebut manusia?
***
Oil City, 24 May 15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H