[caption caption="Dokumen pribadi Inem"][/caption]De,
Senja sore ini di Uluwatu tak meriah seperti biasanya. Karena tak kutemui celoteh riang debur Samudra Hindia di sana. Rasa-rasanya, di hamparan air yang palung, tak terlihat kilau-kilau keemasan mentari, saat bibir kalam melumat rakus bulatnya yang sempurna.
Senja sore ini pun kurasa sangat murung. Semurung tatapan seorang anak, yang mendapati mainan kesayangannya terkoyak.
*
Aku teringat ceritamu, De.
Bahwa senja di Uluwatu adalah senja terindah kiriman Sang Hyang Widhi, bahwa senja di Uluwatu adalah senja yang bertutur tentang perjuangan cinta antara Sri Rama dan Dewi Shinta.
Dan aku, aku tidak boleh melewatkannya. Bahkan kau pun melarangku untuk terlalu banyak mengkedipkan mata. “Lagipula berkedip terlalu banyak tidak baik untuk kulit wajahmu, membuatmu nampak keriput” ucapmu datar bercampur suara genit menggoda.
*
Senjanya kurang meriah, De.
Iya. Senja kali ini kurang meriah. Karena sejak pagi tadi, rindumu sudah datang bertamu. Seumpama pencuri dia datang mengendap-endap. Berjingkat-jingkat. Dan tanpa permisi, terjagaku yang belum genap dirampasnya. Rindumu tadi pagi nampak jahat.
De, mengapa warna saga di Uluwatu begitu merona ? Seumpama bunga Amarilis, saga di Uluwatu begitu menggoda untuk dipetik dan ku bawa pulang. Dan ku cumbu warna warninya yang terarsir megah.
*