Jejaknya selalu surut, ketika angin Oktober naik ke udara. Aromanya bercampur tipis dengan kamboja yang berguguran teratur.
Wajahnya tertunduk dalam-dalam, dengan dagu melekat erat di leher. Tak ada sinar apalagi aurora, tak ada celoteh apalagi canda. Lelaki itu surut dalam renungannya yang kusut.
“Ingin ku enyahkan Oktober, seperti aku enyahkanmu !” lantang mengelegar suaranya, memecah malam yang meringkuk takut. Kakinya menghentak bumi.
“Ingin ku sesap kenangan demi kenangan di Oktober, seperti ku sesap udara hingga usai” jeritnya melengking, memekakan telinga semesta.
Lelaki itu mematung. Matanya getir, memandang namanya sendiri, pada nisan di depannya.
Nisan yang memisahkan dunianya dan dunia kekasihnya.
Oil City, 07-10-15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H