Mungkin kiasan bahwa mencintai tidak harus memiliki adalah benar. Jika semua memang harus berlaku demikian, mengapa harus tetap bersikukuh memaksakan diri.
Aya. Kayana namanya. Gadis pendatang di desa Rangkat, hijrah dari kota, sengaja menyepi karena luka hati yang tak bisa di ungkap kan. Namun cinta, tak ubahnya seperti virus antrak. Muncul dan menyebar seperti epidemi, datang ga pake undangan, perginya minta sumbangan alias saweran. Itu yang di alami Aya, sekian lama memendam rasa pada kades Rangkat, namun apa daya tangan tak sampai. Hingga detik-detik mendekati proklamsi pun belum juga ada tanda-tanda jika kades Hans membalas cintanya Aya.
Selesai membersihkan diri dari baunya Bocing, Aya pun berjalan ke masjid. Waktunya sholat magrib tiba.
Sebagian warga rangkat sudah bergegas sholat. Aya gontai berjalan. Dalam kepalanya bermain-main wajahnya Bocing. Saat memikirkan Bocing, terdengar notif sms dari hpnya.
Bocing, nama yang tertera di layar.
‘ Aku hanyalah butiran debu di ujung kakimu, Aya. Namun, aku akan setia untuk selalu berada di sisimu, walaupun posisi ku hanyalah alas kakimu. Yang sewaktu-waktu bisa kau hempas dan kau campakan. Namun, itulah kasihku padamu, Aya. Insya Allah, aku akan membawamu bahagia dunia akhirat.’
Tangan Aya nampak bergetar memegang hpnya.Raut wajahnya semakin sendu. Matanya berkaca-kaca. Segera di usapnya cepat-cepat, karena takut dilihat warga yang akan menuju ke mesjid.
‘ Kok jadi mellow.’ Tanyanya dalam hati.
Sambil mendekap mukena berwarna hijau, Aya berjalan menunduk. Dan tak sengaja menabrak mbk Ranti.
‘ Brukkk.’
‘ Aduhhh, Aya, liat-liat dong kalo jalan. Masak aku segede gini ga keliatan.’ Kata mbk Ranti sambil memungut mukenanya yang terjatuh.
‘ Eh, maaf mbk, maaf, Aya tadi ga lihat.’ Aya pun membungkuk coba membantu mbk Ranti.
‘ Mauke masjid juga, yuk sama-sama.’ Tanya mbk Ranti.
‘ Iya mbk.’ Nada suara Aya lirih, nyaris tak terdengar.
Untuk beberapa saat Aya dan Ranti hanya diam. Tiba-tiba hp aya berbunyi, tanda sms masuk.
Bocing. *lagi (bisik hati Aya)
‘ Jangan lupa sholat ya. ‘
Entah mengapa, kali ini air mata Aya luruh. Merasakan sesuatu yang tak bisa di ungkapkan oleh apapun. Dan Ranti, bengong, bingung oleh sikap Aya. Sepanjang jalan, keduanya hanya diam. Diam, tiada kata yang tersampaikan. Aya dengan dukanya. Ranti dengan pertanyaannya, ‘ Ada apa dengan Aya.’
Sesampai di halaman masjid, langkah Aya surut. Seperti hendak membalik badan rasanya, ketika sekelebat dia melihat bayangan Bocing. Menaiki anak tangga masjid. Entah mengapa, dadanya bergemuruh. Aneh. Dan lagi-lagi Ranti makin bingung dengan sikap Aya.
‘ Aya, ada apa?.’ Dengan lembut Ranti bertanya.
‘ Tidak ada apa-apa mbk.’ Aya menjawab sambil menunduk.
Namun Ranti dapat melihat dengan jelas perubahan wajah Aya.
‘ Kita sholat dulu ya. Apapun yang terjadi, serahkan pada Allah swt. ‘
‘ Aku duluan ya, Aya.’
‘ Iya mbk, silahkan. Sebentar Aya nyusul.’ Jawab Aya.
Rantipun berlalu. Bergegas menuju tempat wudhu khusus wanita. Mata Aya nampak mengamati kepergian Ranti.
Di ambilnya kembali hp dalam saku rok-nya. Sms dari Bocing di bacanya, berulang-ulang. Airmatanya makin deras.
Ada sesuatu, di dadanya. Hanya sedikit, seperti muncul perasaan rindu.
‘ Tau ah.’ Cepat-cepat Aya pun bergegas. Menyusul Ranti. Wudhu dan segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
***
Saat keluar masjid, menuruni anak tangganya. Terdengar ada yang memanggil Aya.
‘ Teteh Geulis Aya.’ Ternyata kang Inin yang memanggil. Aya pun menoleh.
‘ Ada apa Akang.’ Dengan suara malas, Aya menjawabnya.
‘ Ehmm, nganuu, soal ojek kemarin, nganuuu..’ kang Inin cengar cengir.
Tiba-tiba Aya mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya.
‘ Ini buat akang, ongkos ojek kemarin. Punten yaa, kalo kemarin Aya judes.’
‘ Oh iya, ambil aja kembaliannya. Untuk beli shampo. Kemarin waktu Aya bonceng, kutunya pada keluar. Mungkin kang Inin ga pernah keramas ya.’ Aya langsung ngeloyor pergi.
‘ Teteh tunggu atuh, sebentar..’ kang Inin memburu langkah Aya yang meninggalkannya.
‘ Apa lagi.’ Tanya Aya. Dengan wajah mulai judes lagi.
‘ Ehm, ngganu.’
‘ Udah atuh, ga usah ikutin Aya. Aya sedang malas basa basi.’ Nada Aya terdengar ketus.
‘ IIIhhhhh teteh Aya mah ya, padahal ini mah masih di area masjid. Baru aja kita sholat jamaah. Kenapa judesnya ga ilang-ilang.’
‘ Tapi ga papa-lah. Itu artinya neng Aya Kayana, perempuan hebat. Tegas.’ Cengar-cengir kang Inin .
‘ Ehmm…dan Aya akan langsung tindak tegas kalo kang Inin ga jauhin Aya. SEKARANG.’ Mata Aya melotot.
Kang Inin langsung menciut. Diam di tempat. Sementara matanya melepas kepergian neng Aya Kayana.Nampak sedikit rambutnya keluar dari area jilbab.
‘ Rambutnya bagus pisan neng Aya Kayana mah.’ Wajahnya kang Inin senyum-senyum penuh rahasia.
***
Senja nan mendung. Sepertinya alam berkonpirasi dengan hati Aya yang galau luar biasa. Sejak kejadian kemarin. Pikirannya berkecamuk. Rasa benci dan rindu saling baku hantam. Bocing. Yah nama itu makin kerap muncul di pikirannya.
Tiba-tiba angin kecang mengibas roknya. Cepat-cepat Aya tahan dengan kedua tangannya. Namun matanya terpaku pada sosok yang berdiri di bawah pohon, samping masjid. Sosok yang sepertinya di kenal.
‘Bocing.’ Matanya memicing, memastikan kebenaran pengelihatannya.
Buru-buru Aya berlari.
‘ Aya..Ayaaaaa..tunggguuu..tungggu sebentar..’ Bocing mengejarnya.
Entah mengapa kali ini, Aya menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh kearah Bocing.
‘ Aya.’ Suara Bocing terdengar sangat lembut.
Ayapun berbalik.
‘ Bocing, tidak pantas kita berbicara di area mesjid.’
‘ Iya Aya, kita bicara di luar saja.’
Mereka berdua berjalan beriringan. Warga Rangkat berbisik-bisik melihat Aya dan Bocing berjalan bersama, walau jarak mereka tidak berdekatan.
***
Hujan mulai rintik. Petir pun sepertinya tak mau kalah dengan sang hujan. Mungkin apa yang terjadi malam ini antara Bocing dan Aya nampak seperti keganjilan alam.
Dan tibalah mereka di pos Ronda.
‘ Aya.’ Lagi-lagi Bocing memanggil Aya.
Aya menoleh. Matanya berkaca-kaca.
‘ Bocing, maafin Aya ya. Untuk semua sikap kasar Aya.’ Kali ini, tangan Ayalah yang meraih tangannya Bocing.
Sementara Bocing nampak seperti patung. Dia hanya terdiam, tergangga. Aya yang selama ini judesnya minta ampun. Aya yang selama ini begitu tergila-gila pada kades Hans.
‘ Aya tau, bahwa tidak semestinya Aya memaksakan diri. Nyata-nyata kades itu ga suka Aya. Kenapa Aya harus terus menerus memupuk harapan pada dia.’
‘ Lagipula, Aya capek hati. Mending sekarang Aya focus pada pencarian suami. ‘
Kali ini senyum nampak tersungging di wajah Aya. Pipinya merona merah. Mata Aya bersinar kembali.
‘ Sekali lagi Aya ucapkan terima kasih. Karena sudah menyadarkan Aya.’
Di lepaskanlah tangan Bocing.
‘ Aya pulang ya.’
‘ Mlekum.’
Tanpa menunggu jawaban salam dari Bocing, Aya berlalu. Hujan makin deras. Namun langkah Aya terlihat ringan. Kecipak air hujan sisa langkahnya begitu riang. Aya nampak tersenyum. Senyum termanis yang pernah Bocing lihat.
Selebihnya hanya Bocing yang masih terpaku. Mematung. Di pos ronda rangkat.
Namun baru beberapa langkah, Aya kembali lagi.
‘ Bocing, peci kamu miring. Aya betulkan ya.’
Bocing tetap mematung, melepas pujaan hatinya. Hingga punggungnya hilang tenggelam di sudut-sudut senja Rangkat.
‘ Aya. Kayana. ‘ Lirihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H