Pak,
Bolehkah aku mengatakan banyak hal yang tak pernah bisa kukatakan langsung kepadamu.Bahwa sebagai putrimu, aku terlalu angkuh untuk menunjukan baktiku padamu. Selama ini aku hanya berpikir bahwa dengan beberapa lembar nominal yang ku kirim padamu tiap bulan. Sudah cukup membuatmu merasa bangga padaku. Membuatku merasa menjadi pahlawan di masa pensiunmu.
Pak,
Sejujurnya, aku kerap memikirkan arti dari sikap diammu. Sikap diammu yang terlalu sering bahkan sengaja aku abaikan. Pikirku, kau sudah menikmati apa yang selama ini aku berikan. Termasuk menikmati ngilu-ngilu di tulang kakimu yang setiap pagi makin rutin mengunjungimu. Atau diammu yang seolah-olah membiarkan atap rumah bocor kemudian dengan tekun mengepelnya walau tertatih. Walau sesudahnya, kau akan susah payah menghirup udara, dengan hanya mengandalkan gosokan balsam yang Ibu balurkan di dadamu. Kau berharap, sesak ini segera usai. Padahal diammu adalah sikap berpikir, "uang darimana untuk memperbaiki atap ini."
Pak,
Usiamu kini mulai habis di gerogoti waktu. Tubuhmu masih saja kau paksa bekerja. Tanpa sepengetahuanku.
Katamu, “Jika hanya diam, kaki akan semakin ngilu.” Dan aku pun sekedar basa basi mengingatkan kesehatanmu.”Jangan capek-capek, Pak. Ingat badan sudah tua. Nanti kecapekan jadi sakit.”
Padahal kamu tahu, Pak. Itu hanya basa basi saja, agar kau tidak sakit dan aku tidak terbebani biaya berobatmu.
Aku angkuh, bukan, Pak ?
Pak,
Aku juga kerap tidak mengangkat panggilan telponmu setiap dua hari sekali, seolah-olah aku sudah tahu. Bahwa paling-paling kau hanya menanyakan kabar keadaan diriku, pekerjaanku, kesehatanku, sholatku dan ujung-ujungnya kau keluhkan nafas di dadamu yang sering sesak.
Bagiku, panggilan telpon darimu hanya sebuah angin lalu. Berbeda dengan panggilan telpon dari kekasih atau proyek tender.
Pak,
Tapi sekarang aku tak angkuh lagi. Soalnya aku mulai ingat, kapan pertama kali aku berkirim uang dan uang itu kau pergunakan untuk memperbaiki rantai sepedamu yang sudah longgar.
Atau, ketika aku pulang ke rumah, saat cuti kantor. Aku membantumu mengepel rumah bagian dapur yang katanya selalu saja bocor setiap hujan deras. Aku ingat ekspresimu yang cemas, karena aku jatuh terpeleset saat mengepel lantai. Dengan penuh cinta, kau membantuku berdiri, dan mengambil alih lap pelnya. Dan menyelesaikannya sendiri, sementara aku asik menonton televisi.
Pak,
Aku mulai mengkhawatirkan nafasmu yang sering tersenggal-senggal setiap musim hujan atau jika udara dingin. Aku mulai berpikir untuk membawamu ke dokter spesialis penyakit dalam. Agar dadamu yang kerap sesak itu bisa di tangani dengan baik tidak hanya dengan gosokan balsam dari ibu.
Pak,
Sekarang aku sangat berharap kau sungguh-sungguh beristirahat. Akan kubuatkan sebuah warung kopi kecil-kecilan untukmu. Berhentilah menjadi ojek sepeda. Aku bersungguh-sungguh mengatakan ini, bukan sebuah basa basi seperti yang sudah-sudah.
Sudah cukup raga mudamu kau banting siang dan malam saat menjadi seorang buruh pabrik tekstil. Bahkan jatah cuti pun tak pernah kau ambil. Demi konpensasi yang menurutmu sebesar biaya SPPku, kau korbankan kerinduanmu bercengkrama bersamaku dan adik-adik juga ibu.
Oh iya, satu lagi. Ingatkah dulu, beberapa tahun yang lalu. Saat aku menangis tersedu-sedu sepulang kuliah. Menangis karena Joni, lelaki yang sudah hampir 2 tahun menjadi kekasihku, pergi meninggalkanku karena menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Kulihat wajahmu, kau paksa tersenyum saat memelukku. Dengan lembut kau katakan,” Akan ada yang lebih baik dari seorang Joni, Nak.” Dan apa reaksiku atas ucapanmu, aku berteriak “Bapak, tidak tahu rasanya jadi aku,” kataku sambil menghempaskan lengan Bapak dari pundakku. Dan aku berlari ke kamar, kemudian berhari-hari mengurung diri dalam kamar. Dan selama berhari-hari itu pula, kau selalu memanjakanku, dan aku, lagi-lagi mengabaikan kemanjaan darimu. Lebih memilih meratapi Joni yang hanya bersamaku 2 tahun. Mengabaikan Bapak yang sudah 26 tahun menemaniku.
Pak,
Kali ini aku mohon, bicaralah, Pak. Jangan diam saja. Tolong, kau iyakan keinginanku untuk menunjukan baktiku padamu.
***
Seorang jenazah, lelaki tua berusia 78 tahun yang meninggal karena kanker paru-paru bersiap hendak dimandikan. Linangan airmata penyesalan, yang jatuh lebat berbulir-bulir, tak mampu memaksanya untuk kembali berkata-kata.
Hanya diam. Kehadirannya bersama orang-orang yang dikasihinya, sudah berakhir.
SELAMAT HARI AYAH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H