Aku dan hujan seperti satu kesatuan tak terpisahkan. Seperti seorang ibu dan puting asinya. Seperti seorang pria dengan jakunnya. Atau seorang bayi dengan tangisannya.
Bagiku hujan adalah untuk waktu mengenangmu, memikirkanmu sekaligus belajar melupakanmu.
Oh iya..baru ingat, ternyata selain aku dan hujan, ada satu elemen lagi. Seikat bunga, bernama Edelweis.
Bunga yang hingga kini masih tertata rapi pada vas bunga di samping tempat tidurku.
###
Seperti yang sudah di rencanakan, hari itu, aku dan Dewa menuju ke merapi. Ingin menikmati dinginnya udara merapi, berdua. Dan juga demi membeli seikat bunga yang konon abadi, bernama Edelweis. Sepanjang jalan awan sepertinya mulai memberi tanda bahwa waktunya sudah tiba untuk menangis. Untung saja pengenapan tanda tersebut terjadi ketika kami sudah sampai di lereng merapi. Hingga kami putuskan untuk berteduh di salah satu warung, yang menurut pengakuan beberapa orang, pemilik warung tersebut adalah adik kandung dari alm. Mbah Marijan.
Menunggu mungkin membosankan, tapi tidak bagiku dan Dewa. Kami sangat menikmati menunggu redanya hujan. Di temani segelas kopi dan beberapa pisang goreng.
“ Yang, hujan nya ga reda-reda…masih mau nekat ke atas.” Tanyaku pada Dewa.
“ Ya iyalah ndut..” sosok yang kupanggil dengan nama Dewa, membalas pertanyaanku tanpa melupakan panggilan khusus untukku. Ndut. Yah, di bandingkan dengan tubuh Dewa yang kurus kerempeng seperti keripik cacing, aku memanglebih tambun.
“ Lagian, Dewa kan mau beli bunga edelwies untuk Rara.” Kali ini dia ucapkan namaku dengan benar.
-dalam hati senangnya-
Hujan belum juga reda, namun kapasitas nya sudah menurun. Kini hanya berwujud kecil-kecil.
Tiba-tiba Dewa menarik tanganku.
“ Ayo Ndut..kita naik ke atas..” ahh keluar lagi sebutan itu. Yang katanya adalah panggilan sayang untukku.
Tanpa bisa menolak aku ikutin saja langkah kakinya Dewa. Dan berusaha mensejajarkan langkahku agar bisa seirama dengannya.
Ahkirnya, tanpa harus berjalan terlalu jauh. Kami berhasil mendapatkan bunga itu. Bunga kering berwarna coklat.
“ Ndut, buat kamu.” Di serahkannya bunga itu begitu saja. Sikapnya kentara canggung.
Yah begitulah Dewa, sosok yang terlahir tanpa memiliki urat romantis. Berbanding terbalik denganku, yang selalu bisa menciptakan suasana-suasana penuh keromantisan.(setidaknya begitulah yang selalu Dewa katakana tentang aku).
###
Ku tepikan motorku, ketika ku rasa getaran dalam saku celanaku. Nampak nomer Dewa muncul di layar.
“ Ra, sore ini Dewa mau ke Jakarta. Mau pergi demo. “ suaranya terdengar pasti.
“ Aksi lagi.” Tanyaku. –dalam hati muncul rasa tidak suka-
“ Iya, kami sudah menyepakati bahwa hari ini kami harus melakukan sebuah aksi, agar pemerintah tidak buta serta tuli pada nasih para petani.”
“ Mungkin sekitar semingguan Dewa stay di Jakarta.”
“ Wa, Dewa di mana sekarang, kita ketemuan.”
“ Masih di kost Ndut. Mau beres-beres.”
“ Ok..tunggu aku.”
Klik. Telpon ku tutup.
###
Aku dan Dewa. Kami sama-sama seorang aktivis. Namun Dewa selalu melakukan aksi yang berahkir dengan ricuh. Aksi yang menurutnya pantas bagi sebuah perjuangan. Sementara aku, lebih pada kelembutan, karena yang ku tangani adalah pemenuhan hak seorang anak dalam hal membaca.
“ Namanya perjuangan itu, selalu akan memakan korban.”
Sepenggal kalimat itulah yang selalu di tegaskan padaku, setiap kali aku mempertanyakan aksinya.
“ Dewa, tidak bisakah kau dan kalian beraksi damai, tanpa mengorbankan beberapa kepentingan. Seperti kepentingan kaum wanita dan anak-anak. Kasian mereka Wa. Pasti aksi yang terjadi meninggalkan efek psikologis dan trauma.”
“ Ga bisa Ra, sebuah perjuangan itu pasti begitu. Aksi yang sudah terjadi membuktikan ketegasan pada apa yang kami perjuangankan.”
Dewa masih kukuh dengan pendapat bahwa aksi membutuhkan “ ketegasan”. Dan aku, bagiku sebuah aksi haruslah penuh kedamaian.
Perbedaan cara pandang dalam memaknai sebuah perjuangan, kerap memicu ego kami masing-masing. Bahkan tidak jarang, karena hal tersebut membuat kami bersikap seperti musuh. Saling membuang wajah ketika bertemu muka.
Padahal dalam hati, dalam pikiran. Tersimpan sejuta rindu.
###
Rara dan Dewa, menurut teman-teman adalah pasangan yang ideal. Pasangan yang saling melengkapi.
Satunya kurus, satunya gendut. Satunya doyan makan, satunya susah makan. Satunya ceria, satunya pemalu. Satunya doyan begadang, satunya doyan tidur. Itulah kami, di depan mata teman-teman.
Kalaupun ada kesamaan, salah satunya adalah kami sama-sama aktivis lembaga masyarakat. Tapi karena persamaan aktivitas inilah yang kerap kali membuat kami sering berada dalam zona negatif. Walau dalam konteks yang sama, tapi pemahaman kami berbeda.
Ketika berada dalam zona negative tersebut, tanpa di sadari hal ituternyata berpengaruh pada semangat kami berdua.
Hingga suatu hari, kami sepakat bertemu. Dan memutuskan untuk pisah.
Dewa dan Rara putus. Setelah 2 tahun bersama. Tentunya bukan hal mudah bagi kami menerima keputusan bersama ini, namun kami tidak ingin menjadi seorang “penjajah” cinta. Memaksakan suatu pemahaman atas nama cinta. Lebih baik kami mengalah dan memilih jalan masing-masing, karena kami menyadari bahwa dalam cinta, ada beberapa hal yang tidak bisa di paksakan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cinta yang dewasa adalah dimana ketika terjadi perpisahan, kedua belah pihak bisa bertahan pada satu titik energi positif. Dan menyakini, bahwa inilah jalan terbaik bagi cinta itu sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
#Cersama adalah kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami berenam yaitu Novi Octora, Inin Nastain, Vianna Moenar, Rieya MissRochma, Elhida, dan Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H