Ini cerita seorang wanita biasa. Yang tengah berharap pada pertemuan yang biasa.
***
Sore itu mendung menggantung di angkasa. Bentuknya menyerupai payung raksasa berwarna hitam. Dengan air mata yang menggantung seorang wanita berlari menembus jalanan sore yang riuh.
“Aku harus segera sampai, sebelum hujan mengguyur bumi dan membasahi pakaianku. Serta melunturkan bedak dan lisptiskku” gumamnya.
Seperti halnya mendung yang menggantung di angkasa, sekilas pada matanya yang sipit oriental terlihat butiran-butiran air menggantung.
Seperti hendak luruh turun, namun ada sesuatu yang menahannya untuk tidak luruh. Pecah.
“Aku harus makin mempercepat langkah kakiku” ucapnya sambil memperlebar langkah kakinya.
Dua blok sudah terlewati, wanita itu berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Keningnya di penuhi peluh, seperti kawanan burung di padang ilalang.
“Huft, sampai juga” langkah kaki yang melangkah lebar-lebar kini mereda, wanita itu berhenti pada sebuah taman kota. Dengan banyak lampu remang-remang yang dibungkus lampion warna warni. Dan beberapa bangku-bangku ala aristokrat bertebaran pada tiap sudutnya.
Wajahnya menengadah ke langit, mencari kepastian kapan hujan akan segera turun. Sementara angkasa sudah memperkuat signalnya dengan menambah kepekatan warna awannya. Gulita.
“Hhhh...” nafasnya masih tersenggal-senggal.