Aku selalu ingin memberi nama pada setiap tetes hujan yang kerap menyapa bumi. Tanpa mengenal jeda dan titik.
Menamainya dengan berbagai macam nama. Sesuai urutan setiap peristiwa yang kita lewati.
Seperti saat kita meloncat riang tak terkendali, ketika puisi-puisi milik kita menemukan sebuah bahu untuk sekedar merebahkan tiap aksaranya.
Puisiku yang deras jatuh di pangkuanmu, bak kunang-kunang yang kerlipnya berpendar ke segala penjuru.
Atau puisimu yang liar menjejakkan kakinya pada tanah lapang sehelai kertas bergambar wajahku yang berlipstik merah muda.
Seperti saat dada kita berdegub kencang mengikuti irama bunyi jangkrik yang bernyanyi, laksana medley sebuah simfoni yang mengiringi pengantin berjalan menuju altar penyucian janji suci.
Keharuan kerap muncul dengan syahdu, saat aksara-aksara yang di toreh muncul tak teratur. Terkadang ganjil, terkadang genap.
Banyak ingatan ingin kita sakralkan, tetapi dalam bentuk apa ? Jika ingatan milik kita hanya beralaskan kain bermotif kesepian dan jarak, bersulamkan beberapa ego. Dengan sedikit renda ragu.
Di antara kita, kerap mengakhiri sebuah perbincangan dengan menghadirkan gerimis. Bukan demi apapun. Hanya saja, ucapan sampai jumpa nanti, rasanya seperti sebuah gigi yang tanggal. Nyeri dan linu di dada.
Kerap aku memanggil namamu, pendek-pendek saja. Karena pada pendeknya namamu, turut serta inisial namaku di sana.
Menyebutnya dengan sangat hati-hati dan pelan, supaya namamu terucap aman di lidahku yang majal.