Di dalam berinteraksi dengan lingkungan, kerap kali kita menjumpai hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Bahkan tidak jarang hal tersebut bertentangan dengan prinsip atau hati nurani kita. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan menyisakan duka dan luka tersendiri.
Sebuah ketidaknyamanan pun mulai mewarnai hari-hari yang dilewati. Sesekali bisa melupakan hal tersebut namun sesekali juga hal tidak nyaman tersebut menyeruak secara tiba-tiba.
Bagi beberapa orang, melewati waktu beriringan bersama hati atau jiwa yang terluka bukanlah hal yang menyenangkan. Bahkan sangat menyakitkan.
Senyum yang terkembang akan mendadak hilang, semangat yang bergelora akan berganti keputusasaan, tidak jarang beberapa orang terjerumus kedalam duka keputusasaan dan akhirnya memilih untuk menyegerakan kematian.
Mengutip sebuah judul lagu milik Opick..Bahwa tiada duka yang abadi..demikian itu sebenarnya terjadi. Sama halnya semua hal di dunia ini, hanya fana. Suka dan duka pun mempunyai porsinya sendiri-sendiri, ada batas waktunya.
Dan saya percaya akan hal ini. Sebagai manusia setengah tua, saya agak kesulitan mengingat nikmat yang sudah Tuhan berikan, namun entah mengapa memori saya begitu mudah untuk mengingat sakit duka lara yang saya rasakan. Kadang saya berpikir bahwa demikianlah kodrat seorang manusia seperti saya, sosok yang kerap lalai dan meng-alpa-kan diri dari rasa syukur.
Ketika duka menghampiri, saya begitu rajin berseru dan memohon bahkan airmata menjadi teman setia. Tapi, sementara suka cita datang, ucapan syukur hanya dilakukan sepintas lalu. Padahal seharusnya saat suka cita datang, semestinya saya tetap rajin berseru dan memohon belas kasih-Nya.
Semua yang fana akan ada masanya. Apapun itu.
Jika ada seorang teman yang dulu begitu menyukai diri kita, namun suatu hari tiba-tiba sikapnya berubah dratis, ya itu terjadi karena ada masanya. Bukankah seorang teman juga manusia yang hatinya terbuat dari daging, yang bisa berubah kapan saja tanpa perlu persetujuan dari pihak manapun kecuali dari Tuhan.
Awal perubahan ini pasti menyedihkan dan menyesakan dada, tapi apakah kita bisa memaksa kehendak padanya untuk tetep berteman ? Tidak bukan.
Hal ini pernah saya alami sendiri, bersahabat hampir puluhan tahun, namun karena sebab yang saya tidak tahu jelasnya kenapa, tali silahturahmi menjadi sangat renggang. Awalnya bingung dan agak aneh, namun demi silahturahmi yang sudah terjalin, saya belajar menerima keputusannya. Karena bagi saya pribadi berteman membutuhkan rasa nyaman, jika sudah tidak ada kenyamanan ya sudah lebih baik ikatan silahturahmi dibangun dengan pondasi yang biasa-biasa saja.
Mungkin coretan ini nampak seperti sebuah teori omong kosong belaka, karena sayapun sering kesulitan menerima pergantian dari kondisi suka ke kondisi duka. Saat sedang tersenyum lebar namun tiba-tiba dipaksa untuk murung.
Tapi seperti saya sebutkan diatas, saya adalah manusia setengah tua yang kerap lupa untuk bersyukur alias sering mendadak amnesia jika disuruh mengingat rahmat yang sudah diterima.
#catatan di perbatasan cuaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H