Tak terasa, tahun telah berganti, angka pun berubah menjadi lebih tua. Namun, hingga sekarang, aku belum juga bisa menemukan, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap rasa rindu yang begitu setia menggelayut di tiap tiang-tiang hatiku. Sesuatu yang selalu mengusik malam-malamku, sesuatu yang menganggu fungsi indera pengecapku, mengacaukan setiap cita rasa yang ku mamah.
Kita yang bertemu, kemudian memutuskan bersama. Begitu suka membuat cerita dibalik cerita. Kau dengan senyummu, aku dengan senyumku. Tiada apapun yang menyurutkan senyum milik kita.
Hingga, di waktu yang sama, hati kita berdua sontak berontak, meminta kepastian dari sebuah beda. Meminta pertanggungjawaban, dari apa yang sudah kita lakukan dengannya.
Kau mungkin masih bisa terus tersenyum, menghadapi kudeta hati. Tapi aku ? senyumku menjadi tenggelam karena ketakutan yang tanpa sengaja hadir.
Takut? Karena apa ? pastinya karena aku takut kehilangan kisah-kisah milik kita. Ketika, aku masih bisa melihat gerahammu, mengunyah permen karet kesukaanmu. Ketika aku masih bisa berbagi bibir botol denganmu. Ketika, aku masih bisa meraba keningmu ketika suhu tubuhmu tidak mau berkompromi.
Berada dekat, disisimu, adalah hal yang selalu aku puja. Alasan apapun tidak akan bisa menjelaskan perasaan ini, untukmu.
Sekali lagi, hingga waktu yang telah berganti, aku masih saja mencari-cari. Siapa gerangan yang harus bertanggungjawab. Untuk rindu yang membebani setiap tiang-tiang sudut hatiku.
Apakah ini adalah tanggungjawabku ? Tanggungjawabmu ? Atau, tanggungjawab kita berdua, yang sudah sukarela menyerahkan diri untuk di koloni pasukan bernama perasaan.
Kau tau ?! usia rindu ini sama umurnya dengan kasut yang begitu setia menemani langkahku. Tentu saja sama. Karena kasut ini, adalah permulaan dari kebersamaan kita.
Lihatlah ! kasut ini, begitu suram dan pudar warnanya karena tergerus waktu. Nasibnya berbanding terbalik dengan warna rindu di hatiku. Walaupun, berusia sama, namun sang waktu tidak akan bisa membuat warna rindu ini memudar atau membuatnya usang.
Justru sebaliknya, sang waktu sudah memberikan pertolongannya pada rindu ini. Untuk membuatnya makin cerah bersinar. Kemilau nan berseri. Seperti senyum kau dan aku. Kita.
Kembali pada kudeta hati, yang makin kerap, mengunjungi kisah kita. Datang bersama letupan-letupan resahnya. Membuat kita seperti berada di sebuah sisi bumi yang gelap.
Sisi yang tak terjangkau. Oleh apapun. Berada di ujung sudut-sudutnya, searah pandang, namun tak jua bisa menemukan satu titik temu.
“Kita beda.”
“Kita beda, Sayang !” Ucapmu ketika itu, dengan membelai rambutku.
“Kita saling memperjuangkan satu dengan yang lain. Namun Kita beda, Sayang !” selalu saja tak urung keluar dari bibir kita. Terkadang dari bibirmu, terkadang dari bibirku.
Berbicara perbedaan, tentunya membuat kita merasa di lorong gelap sebuah perpisahan. Dan masing-masing dari kita berusaha untuk saling mengapai segala bedanya.
Titik demi titik, silih berganti menemani upaya kita. Namun, pada akhirnya, kita harus menyerah. Bahwa waktu dan takdir selalu mempunyai kekuatan yang lebih besar. Bahwa waktu dan takdir selalu saja tampil sebagai pemenang. Dan, semuanya itu merupakan pertanda, bahwa kita tak bisa bersatu.
Kau dan aku, digarisbawahi oleh takdir, untuk tidak bersama.
Kita beda, sayang ! walau hati kita berisi mimpi yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H