Sepagi ini Aku sudah terbangun, sepagi ini Aku sudah terjaga. Hanya tidak ingin melewatkan sesaat pun melihat jejakmu melintas di depan rumahku. Walau selama ini hanya bisa memandangmu dengan sedikit celah yang Kau berikan melalui rambut teruraimu.
Wajahmu tertunduk. Sesekali membalas senyum dan sapa yang Aku lontarkan, namun tak pernah ingin mengangkat wajahmu.
Aku tahu, seperti biasa Kau hanya sekedar lewat dan menundukkan wajah dalam-dalam, seperti ada tarikan gravitasi yang tak bisa kau kendalikan. Sehingga sekedar mengangkat dagumu pun kau enggan.
“Kapan ya ? Kira-kira, Aku bisa mengantarmu pergi kuliah. Dan menjemputmu pulang kampus.” Angan-angan yang Aku miliki, setelah melihat Kau lewat depan rumahku, dengan baju batik berwarna krem.
3>3>3>
Merebahkan diri, dengan harapan mata bisa terpejam, agar esok masih di beri kesempatan melihatmu. Melintas di depan rumah.
“Pokoknya besok Aku harus berani menghadangnya” Kataku pada Ndaru, saudara kembarku.
“Lhaaa..ya harus begitu dong kalau jadi laki-laki. Gimana dia bisa tahu, ngerti..kalau sebenarnya Kamu itu ngefans ama dia.” Dengan semangat Ndaru merespon rencanaku.
“Bener-bener” Aku manggut-manggut. Membenarkan ucapannya.
“Besok harus berani!.” Kataku menegaskan diri sendiri.
Entah di putaran angka berapa, akhirnya mata ini terlelap. Yang pasti, sebelum terlelap, Aku sudah merangkai banyak kata, yang akan Aku utarakan padamu. Saat mengantarkanmu ke kampus.
3>3>3>
Sepagi ini, sangat pagi. Aku sudah berpakaian rapi, motor nampak lebih bersih dari biasanya, dua buah pengaman kepala pun sudah duduk manis di kursi teras. Khusus untuk helm yang akan di kenakannya, Aku sengaja menyemprotnya dengan parfum milik Ndaru, agar dia tidak terganggu oleh bau khas helm laki-laki.
Aku tegang. Aku akui. Karena walaupun sering menggodanya, namun Aku belum mengetahui nama nya siapa.
Pagi ini, dia agak terlambat dari biasanya. Saat melihatnya dari jauh, Aku mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Beberapa kali Aku mematut diri di cermin spion motor, memastikan bahwa penampilanku tidak kalah keren artis ibu kota.
Dag.Dig.Dug. Pagi ini, terasa sangat riuh redam oleh suara jantungku yang tak teratur.
“Semangat” kataku dalam hati.
Dia makin mendekat. Dan Aku makin ingin berlari.
“Nona ! Apakah boleh aku mengantarmu, pagi ini?” Di pagi yang kesekian, akhirnya keberanianku pun muncul. “Boleh kah, Aku mengantarmu ?” ku ucapkan sekali lagi pertanyaan itu padanya.
Lagi-lagi Kau hanya menundukan wajahmu , namun aku bisa melihat dengan jelas, bahwa anggukan-anggukan yang terayun bukan semu.
“Beneran, mau ?” Tanyaku. Memastikan mataku tidak rabun, oleh anggukannya.
Kau pun kembali mengangguk. “Bener, boleh kok, asal Mas Langga tidak keberatan” Kau pun menyakinkanku.
“Pakailah helm ini !” Ku sodorkan pengaman kepala berwarna hijau. “Jangan lupa kaitkan talinya. Agar Kauaman ketika melaju di karpet aspal.”
Kau pun mengangguk tanda mengerti.
Dengan perlahan, sepeda motor matik dengan warna senada di kepalanya, melenggang santun. Spion standard lengkap, kanan dan kiri. Dokumen berkendara, tertata apik di dompetku. Tak lupa, pengaman kepala berstandard SNI, bertengger di kepala kami.
Jalanan dalam kondisi padat merayap. Namun bagiku terasa tiada artinya. Betapa hal yang kuidam-idamkan sudah tercapai. Duduk berdua di atas sepeda motor, bersama wanita yang menjadi alasanku bangun lebih awal.
“Namamu siapa ?,” tanyaku. Mataku melirik melalui spion sebelah kanan.
“Diera” Jawabmu lirih. Dengan menunduk.
Aku gemas. Entah apa yang Kau pikirkan ketika dan saat bersamaku, hingga wajahmu lebih sering memandang tanah lempung daripada melihat, menatap wajahku.
“Die..!” panggilku, setengah berteriak, khawatir bisingnya jalanan menyamarkan suaraku.
“Ya..!” jawabmu, dengan nada sama persis dengan milikku, setengah berteriak.
“Pacaran yuk ! Kamu dan aku. Cinta-cintaan” kali ini nada suaraku lebih tinggi dari sebelumnya.
Namun hal ini terjadi karena aku berada di posisi hidup dan mati. Di ujung tanduk. Alias grogi.
Sejenak bingung, dengan ucapan yang baru saja Aku katakan. Merasa terlalu cepat mengungkapkan perasaan. Tapi apa lacur, nasi nya terlalu lama di masak, akhirnya menjadi bubur.
Kalimat ku sudahlah selesai beberapa menit yang lalu. Namun tak juga terdengar suara dari balik punggungku.
Ku lirik wajahnya, dari spion sebelah kanan. “Die ! Gimana ?. Kita pacaran yuk. Cinta-cintaan?”
Lagi-lagi ucapan yang sudah berbentuk bubur ini Aku sajikan lagi di piringnya.
Dia tak menjawab. Tersenyum pun tidak. Dan lagi-lagi wajahnya menunduk, sangat tajam.
Daripada mengendari motor dengan balutan kabut emosi, Aku putuskan untuk menepi. Merendahkan gas di genggaman tangan kanan, menurunkan besi penopang, mematikan mesin motor dan memutar kunci di posisi off. Berhenti di pinggir jalan, tepat di bawah jembatan penyebrangan.
Salah tingkah Aku menghadapi sikap Diera, yang begitu intim berhubungan dengan bumi. Selalu saja menundukkan wajahnya.
“Hehe..pertanyaanku..kok ga di jawab?” lagi-lagi Aku bertanya. –garuk-garuk kepala-
“Mas Langga..Saya..anu,” terbata-bata suaramu. Rasanya ingin Aku hardik saja wajahmu, agar Kau bebas lepas berucap.
“Kenapa?” Aku mendekatkan wajah padamu. Sangat dekat. Hingga Aku yakin, Kau pasti bisa mendengar nafasku.
“A..anu..Saya..a..” lagi-lagi suaramu terbata-bata .
“Hayo apa?” Aku tinggikan suaraku. Menggodanya.”Anu..a..nn..anu..Kau akan jawab mau jadi pacarku.” Kali ini aku surukkan wajahku makin dekat ke wajahnya.
Aku abaikan tatapan aneh yang ditujukan pada kami. Sebagian dari lalu lalang itu mencibir, namun ada juga yang tersenyum. Bukan urusan mereka, kataku dalam hati.
“Buruan jawab, Die !!! Biar kita bisa segera pergi dari tempat ini” Kataku setengah memaksa.
“Ga bisa Mas. Sebenarnya, saya jatuh cinta pada kembarannya Mas Langga. Mas Ndaru” Suaramu mendadak menyerupai sebuah PO.Bus yang bernama LancarJaya.
“Maaf ya Mas. Tapi itu kenyataannya. Saya jatuh cinta pada Mas Ndaru.” Urai mu, mengulang kalimat sebelumnya.
Dengan gagah berani Kau tengadahkan wajahmu. Menatapku. Tiba-tiba, dadaku seperti di serang seribu semut dengan kakinya yang berjumlah kuadrat. Dan Aku mendapati kenyataan, mengapa Kau selalu saja menunduk ketika berbicara. Sebuah alasan kuat yang Aku pun tidak akan mungkin mematahkannya.
Matamu ternyata juling. Mata sebelah kananmu tidak sinkron. Aku tersenyum, tapi tidak tahu makna dari senyumku sendiri. Rasa sesal entah mengapa merambat di dadaku.
Terlebih saat perlahan Kau mendekat, dan mencoba memperjelas apa alasannya Kau lebih menyukai saudara kembarku, Ndaru. Aku merasa, semut-semut itu jumlahnya menjadi 10 kali lipat lebih banyak.
Aku mengelinjang kegelian.
Sejujurnya, Aku tidak menyimak apa yang Kau ucapkan. Karena Aku begitu sibuk mengendalikan saraf-sarafku, agar tidak terbahak. Melihat bulatan-bulatan hitam di matamu, yang bergerak kesana kemari, tak teratur.
Entah apa kesimpulan dari perkataanmu. Yang pasti, kali ini Aku menyodorkan pengaman kepala tanpa mengucap. “Jangan lupa kaitkan talinya. Agar kau aman ketika melaju di karpet aspal.”
Motorku kembali melenggang, di jalanan yang mulai ramai. Degup yang merajaiku di awal perjalanan, tiba-tiba saja menguap. Tanpa bekas. Aku pun urung melirik ke belakang lagi, baik dari spion kanan atau pun kiri.
Melihat lurus kedepan, tetap berusaha mengendalikan diri untuk tidak tertawa adalah salah satu cara menghargai usahaku. Berkenalan dengannya.
Walau pada akhirnya, Aku tak bisa menerima kekurangannya yang terletak pada matanya. Juling.
:Ndaru ! Kau punya fans baru nich.
3>3>3>
Nah, ketahuan kan, kalau masih ada beberapa orang di dunia ini, yang sangat mengagungkan kesempurnaan fisik. Padahal kalau cinta dan sayang, fisik itu bisa di atur.
Bener ga ? :)
Salam Sailormoon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H