Namaku Radmila, mereka biasa memanggilku Mila, usiaku belumlah genap 17 tahun, ketika kali pertama, seorang lelakidengan rupa dan kekuatan bak Rahwanamenumpahkan kotoran kelelakiannya serta berhasil mengkoyak selaput tipis yang menjadi kebanggaanku, selaput tipis yang tempatnya berada didalam ceruk selangkanganku. Kotoran itu tertumpah ketika dia tepat berada diatas perut dan dadaku, kami berdua mencapai klimaks dengan rasa yang berbeda. Ketika dia mengejang hebat dengan raungan mirip singa itulah rasa klimaks miliknya sementara aku mencapai klimaks dengan rasa perih dan pedih dengan rintihan yang meraung.
Suatu ketika, Rahwana memutuskan untuk pergi karena sudah merasa bosan pada ceruk selangkanganku, yang katanya sekarang mirip jalan tol, bebas hambatan. Dia pergi dengan meninggalkan pundi-pundi yang berisi perunggu dan tembaga tanpa emas perak.
Kuputuskan untuk pulang, pada kaumku.
Kaum yang kupikir sebentuk dan serupa denganku. Yang memiliki dua tonjolan kenyal nan montok, serta ceruk-ceruk yang akan tumpah ruah dengan noda berwarna merah setiap satu purnama.
Aku pulang dan menemukan mereka. Berharap bersambut senyum ketika aku, Radmila, tawanan Rahwana pulang.
Tapi, apa yang kudapat ? Tiada apapun sambutan yang ditujukan untukku, selain tatapan dengan sorot aneh yang diringi desau angin sumbang menyakitkan gendang telinga.
Apakah tatapan itu karena aku adalah seorang perempuan yang sudah pernah dijadikan jamban bagi kotoran si Rahwana?
-padahal bukan inginku-
Geliat putus asa kian memuncak saat aku makin terbuang dikaumku sendiri, merasa tercampakan pada dasar maksimum kesendiriaanku, dasar jurangyang mengangga karena aksi seorang Rahwana.
Mereka hanya tahu dari sekedar tahu, mereka hanya merasa dari sekedar merasa, mereka pun menilai hanya dari sekedar harga yang di tawarkan, sedangkan yang seharusnya mereka kecap dengan lidah kebenaran, terbantahkan oleh lemahnya pembelaanku.
Awal mula ditatap dengan sorot aneh membuatku merasa jijik dan merasa nista, akhirnya kuputuskan untuk berlari walau tunggang langgang, terseok di antara belukar hukum sosial yang menancapkan durinya melalui cibiran dan cacimaki.
Tak jarang aku berlari dengan mengusap bulir-bulir yang luruh, namun semakin aku berlari, entah mengapa aku makin menikmati duniaku, sebuah dunia yang sebagian besar penghuninya sama seperti aku, perempuan yang pernah dijadikan jamban laki-laki. Dunia yang bisa menerimaku tanpa menatap aneh dan kemudian menghukumku dengan dalil norma dan etika.
Persetan dengan kalian ! Hai para gerombolan kaum berotak, kaum beretika, kaum berdalil surga dan kaum pemuja selaput.
Berteman sekian lama dengan dianggap nista, membuatku harus berdamaidengannya dan belajar menumbuhkan rasa cinta kepada Rahwana, pelaku sejarah pembuang kotoran kelelakian.
Hari – hariku kini ku isi dengan gelimang waktu yang tak tentu, mereka datang silih berganti, semua wajah yang datang selalu mirip Rahwana. Ya ! kini aku mencintai setiap kotoran-kotoran itu, bentuk adabprimitif para lelaki, kekuasaan turun temurun yang di nilai dari besarnya ukuran dan ketahanan berdasarkan waktu.
Aku kini merasa berharga, merasa di cintai, karena setiap peluh yang ku tawarkan terukur dengan segenggam kemewahan disela bongkahan kenyal dadaku, setiap lenguhanku, terbayarkan genap, dan merekapun memperlakukanku dengan begitu istimewa. Aku menjadi ratu bagi setiap dahaga mereka berasik masyuk, pelengkap khayalan liar yang terselubung dusta. Sekarang pembuang kotoran-kotoran itu, sangat memujaku. Dalam dunia yang kuciptakan, akulah empunya kehangatan, sumber kemanjaan serta kalam kepuasan ketika kulit saling tertangkup.
Namun dunia ciptaanku ternyata bukanlah utuh milikku, karena disisi yang lain selalu ada sepasang mata merah menyala yang nanar mengintip, pada saat aku melakukan ritual tarian pergumulan dengan para wargaku. Di saat Pinggulku mulai bergoyang kanan kiri tak beratur, berteriak syahdu memanggil para kumbangku.
Ya ! Di dunia yang kuciptakan ini, aku berreinkarnasi menjadi sekuntum bunga, selalu dinikmati para kumbang yang haus akan madu.
Dunia ciptaanku selalu saja terusik oleh dalil dan teori para Begawan-Begawan, yang sengaja menggunakan berpasang-pasang mata untuk menghujamiku dengan sudut menyempit sinis, kekasaran Rahwana dimula cerita tak menjadikan dunia berpihak padaku, saat aku menolak dan meronta dari bayangan Rahwana, caci maki sepertinya adalah kulit di penutup tulangku, merejamdengan sak wasangka bahwa aku adalah buah penggoda di taman Eden, menenggelamkan raga di kalam yang tercipta dari gugurnya airmata. Untaian-untaian doa yang sumbang, selalu berhasil memekakan telinga, ceritaku yang terasa sepahit nila tidaklah begitu utama, karena bagi mereka harga perempuan itu bernilai dari selaputnya yang belum terkoyak.
Pasangan mata yang tertuju padaku sudah seperti gugusan koloni yang diciptakan oleh Rahwana melalui isipundi-pundinya, hingga mereka tak mampu lagi memisahkan jerami kering dan jerami basah.
Namaku Radmila, aku kotor dan pahit, karena aku terlahir dari kotoran lelaki yang sengaja dituangkan diseluruh kulitku saat kami berdua menyatu dengan peluh.
Pada akhirnya aku tetap harus memilih.
Tetap menjadi Radmila yang kotor dan masyuk dengan Rahwana-rahwana yang silih berganti datang. Atau menjadi Radmila yang pernah kotor, tetapi terus melangkah menghadang musuh. Mengejewantahkan hidup dari hasrat-hasrat kotor, berlalu tanpa harus melawan arus, berdiri tanpa harus menghadang musuh. Menciptakan euphoria dari pendar kisah terluka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H