sebelumnya di http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/06/18/ecr-rangkat-antara-bocing-dan-kades/
Aya menyandarkan kepalanya pada tiang pos ronda, di tangannya masih tergenggam hp, dengan layar terbuka, sms dari Bocing.
Entah mengapa, matanya lekat sekali menatap jalanan menuju rumah Bocing, Seolah-olah dia sedang memperhatikan si empunya rumah. Dan dari beberapa sms, mengapa sms yang terahkir membuat dirinya risau, hingga membuat matanya berkaca-kaca, mendatangkan galau serta risau.
“ Eehhmm..kok jadi mikirin laki-laki nyebelin itu sich, jangan-jangan, sms yang dia kirim sudah di kasih jampi-jampi biar Aya nempel ama dia..hhiiihhhh.” sambil bergidik, cepat-cepat dia beringsut dari duduknya.
Segera Aya merapikan kembali bajunya, serta kerudung hijau nya, dan senyumnya kembali merekah, ketika matanya menatap, tas hitam berisi sweater untuk sang kades.
“ Sayang, semoga kau menyukai nya “.
Baru beberapa kayuh, tiba-tiba di lihatnya kang Inin yang sedang berdiri, di teras rumahnya, dengan pose santai seperti di pantai, memakai sarung kotak-kotak dan kaos hitam dengan gambar nyamuk, tidak lupa di mejanya terdapat secangkir kopi.
“ Aya, kamu mau kamana, meuni geulis pisan dengan kerudung hejo nyah “ Tanya kang Inin dengan senyum-senyum yang genit.
“ Hehehe, akang bisa saja, Aya mau ke tempat sang kades, mau ngasih sesuatu, pan sang kades mau dinas ke luar kota. “
“ Eleuh-eleuh, si pak Kades meuni, geunah pisan yah, di kasih sesuatu ama neng Aya anu geulis. Ari untuk sayah mana atuh.”
“ Eh tapih, neng Aya ga salah yah, ngasih sesuatu ke pak Kades, ga takut ama bu kades?.”
“ Aya tau kang, dan Aya-pun menyadari. “ suaranya tertahan “ namun Aya siap dengan resiko mencintai suami orang.” Nampak mata Aya mulai berkaca-kaca.
Sementara kang Inin hanya terdiam, dan mulai salah tingkah, hanya nampak beberapakali tangannya membetulkan letak sarungnya.
“ Naha jadi murung wajahnya neng Aya, punten atuh yah, saya mah tidak punya maksud apapun, hanya sekedar nanya aja. Kalau ada yang bujang, kenapa pilih yang bukan bujang.”
“ Saya kan masih bujang neng. “ nampak kang Inin menunduk malu-malu. Sikap kang Inin di sambut dengan mata mendelik dari Aya.
“ Eh udah dulu atuh ya, Aya pamit dulu, takut kemalamam.” Buru-buru Aya mengkayuh sepedanya, meninggalkan kang Inin.
“ Waalaikumsalam neng Aya.” Teriak kang Inin “ huuhh, pergi ga pake salam, dasar, geulis-geulis tapi teu puguh.”
***
Senja mulai turun, ketika Aya sampai di rumah Kades. Sepi. Aya celingak celinguk, matanya menyapu sekeliling rumah itu.
“ Kok sepi, kemana ya ?. “
“ Mungkin dia di dapur, Aya lewat dapur saja dech.”
kemudian Aya berjalan menuju belakang rumah Kades, namun langkahnya mendadak berhenti. Dari balik bilik terdengar Suara sangat di kenalnya, “ Kok ada suara Bunda.”
Dalam hati Aya bertanya-tanya. Langkahnya pun terhenti, berganti dengan sepasang telinga yang harus bekerja keras, mendengarkan percakapan mereka. Bunda dan Laki-laki yang sangat di cintainya.
“ Pak Kades, tolong jangan tanggapi setiap perhatian Aya selama ini, dia masih muda, dan mungkin sikapnya selama ini hanya sekedar perasaan suka semata.” Dengan suara yang lembut namun penuh penegasan Bunda Enggar berbicara pada Kades.
“ Lagipula, mana mungkin Aya menjadi istri pak Kades, sementara pak Kades sudah beristri. Tidak-kah ini akan membuat Aya terlihat buruk di depan warga Rangkat. Tolong pak Kades, tolong saya, tolong jauhi Aya.” Kali ini suara bunda terdengar bergetar.
“ Bunda, saya paham dan mengerti perasaan Bunda, namun, sesungguhnya sayapun menaruh hati pada Aya. Perasaan yang muncul setelah aksi demo membela ismaharani beberapa waktu lalu.” Kades mulai berbicara.
“ Saya melihat Aya adalah wanita yang tangguh dan kuat, Aya pun sangat lembut, walaupun terkadang sangat kekanak-kanakan.”
“ Saya menyayangi Aya, sungguh.”
“ Perihal bu Kades, serahkan pada saya, semoga dia mau menerima permohonan saya untuk berpoligami. Walau saya tau, bu Kades pasti akan sangat marah saat saya mengatakan hal tersebut.”
Sementara percakapan antara bunda dan kades berlangsung, di luar bilik, Aya gemetaran. Kakinya tak mampu menahan beban tubuhnya. Lunglai. Terngiang-ngiang pernyataan Kades.
“ Kades mencintaiku, dia menyayangi, dia ternyata menyayangiku.”
Tak plastik hitam makin erat di peluknya. Ingin dia berlari, masuk ke dalam rumah, memeluk laki-laki pujaannya itu dengan segenap hati.
Tiba-tiba bu Kades datang, pulang dari acara PKK, Nampak pula Ranti bersamanya. Melihat Aya yang terduduk, mereka pun sontak mendatangi.
“ Aya, kenapa?.” Ranti bertanya sembari membantu Aya berdiri.
Sementara bu Kades yang mengetahui perasaan Aya terhadap suaminya, hanya diam, dengan tatapan sedikit sinis. Matanya penuh selidik melihat kehadiran Aya petang ini di rumahnya.
Mendengar ribut-ribut di luar, keluarlah Bunda dan Kades.
“ Loch Aya, kok ada di sini?. Bukannya tadi pamit ama bunda mau ke tempat pak RT. Ngurus perpanjangan KTP.” Tanya bunda keheranan.
“ Ehmm, maafkan Aya, Bunda.” Aya tertunduk merasa bersalah telah berbohong pada bundanya.
“ Aya sengaja berbohong, karena jika bunda tau tujuan Aya, pasti bunda akan melarangnya.”
“ Aya hanya ingin menyerahkan ini pada Kades, sebelum dia berangkat dinas.” Sambil menunjukan plastik hitam berisi sweater.
“ Kades, ini untuk Kades. Aya membuatnya sendiri, semoga cukup.” Aya serahkan plastik hitam itu dengan menatap lekat pada pria di hadapannya. Di sudut ruangan, bu Kadesmenatapnya, hanya ekspresi kemarahan mulai nampak di wajahnya.
“ Aya, pergi dari sini. Cepat pergi sebelum kesabaranku hilang. Dasar perempuan tidak tau diri,” ahkirnya amarah itu meledak. Bu Kades mengusir Aya tanpa melihatnya, matanya tertuju pada Bunda Enggar. Dan Ranti ikut menatap sinis pada Aya dan bundanya. Menatap mereka secara bergantian.
Tiba-tiba, bu Kades beranjak dan dengan secepat kilat, tangan-nya merebut sweater di tangan Kades. Melemparnya keluar. “ Awas di ambil.” Ancamnya pada pak Kades.
Di perlakukan seperti itu, Aya langsung berlari meninggalkan rumah pak Kades. Pria yang sungguh di cintainya, walau kenyataannya, dia adalah suami orang. Senja mulai surut dan berganti petang. Berlari tanpa henti, tak menghiraukan tatapan aneh beberapa warga. Bahkan kerudungnya yang mulai berantakan, tak di indahkan lagi. Saat itu Aya hanya ingin berlari, menuju tempat yang tak seorangpun bisa menemukannya.
“Aaaarrghhhhhhhhhhhhhhh.”
“ Bukan mauku jatuh cinta pada dia, bukan inginku jatuh cinta pada dia.”
Teriakan itu terdengar seperti lolongan serigala di malam hari. Melengking dan sendu.
Petang itu, Aya hanya meratap dan mengadu pada aliran sungai Rangkat. Duduk, merebahkan diri di sebuah batu besar. Kali ini, kerudungnya sudah terkoyak dengan sempurna, kait penjepitnya terlepas. Rambut sepinggangnya terurai bebas, berloncatan keluar.
Gemericik air sungai, menjadi pagar ayu luruhnya bulir di sudut matanya.
***
Bersambung ( Lagi )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H