Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kronologi Waktu

18 Februari 2014   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_323358" align="aligncenter" width="800" caption="Foto tumblr"][/caption]

Lima ratus enam puluh lima hari yang lalu

Kita pernah duduk bersisian, pada tepi air mancur kota

Pada bangku yang bukan terbuat dari kayu

Tapi dari kokohnya beton dengan warna mulai pudar

Beriak air yang meluncur pada tepian kolam

Terasa begitu usil menggoda kita yang malu-malu

Perjumpaan yang di rundung kikuk meleleh tanpa terasa

Mungkin, jika mantra Tuhan tidak berteriak syahdu

Kita akan memilih tetap lelap dalam perbincangan hati

Dan enggan saling beranjak

---

Kemudian,

Tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu

Kita putuskan untuk bertemu pada sebuah dermaga tua nan kumuh

Yang hanya mempunyai satu lampu redup berkarat nyaris sekarat

Namun terdapat banyak sampan di sana

Diam menjadi bahasa pengantar ucapan selamat tinggal dan selamat berpisah

Di batas waktu…ketika itu

Aku berjalan menjauh darimu, menuju sampan yang bukan milikmu

Kamu pun berjalan menjauh dariku, menuju sampan yang bukan milikku

Satu-satunya yang tersisa dari batas dermaga..ketika itu

Adalah..Kau dan aku masih merasa sebagai kita

Padahal sebuah pengingkaran sudah di tetapkan

---

Kini,

Enam puluh hari yang lalu

Kita memutuskan kembali bertemu, di dermaga yang sama

Tanpa memperdulikan berapa jumlah lampu yang sekarat dan berkarat

Atau jumlah sampan yang makin semarak

“Ada kebodohan yang harus segera di selesaikan”...Kita bergumam

Rasa kita lebih dahsyat dari setiap pengingkaran yang kita pilih

Sejauh apapun aku mengayuh sampan milikku, hatiku kerap berontak meloncat mencari sampanmu

Begitu pun dirimu

Sejauh apapun kau kayuh sampan megahmu, hatimu sering menjadi luluh lantak saat tak menemukan jejak sampanku

Kita pernah saling ingin menjauh, pernah ingin saling melupakan mungkin pernah ingin saling membenci

Namun rasa ini terlalu murni, untuk mengingkari aku dan kamu adalah kita

Badai pasti akan selalu datang, menyaru dalam banyak bentuk

Tapi percayalah, seperti katamu “Kita akan lebih kuat daripada badai”

Ya, aku percaya padamu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun