Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Dua Ritme

14 November 2014   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393310707354866437

Hening. Semuanya hening, seperti tengah di mabuk kantuk tanpa ampun. ritme hujan jatuh teratur di atap-atap rumah yang pasrah menerima kehadiran mereka.

Gigil yang makin angkuh, menandakan malam sudah mencapai klimaksnya. Tetapi sepasang mata belum mau beranjak dari beranda.

Tatapan matanya lurus kosong. Wajahnya tak sedikitpun bergeming dari gumpalan-gumpalan awan nan riuh di cakrawala.

Selalu saja begitu. Setiap malam, tepat jam 11 malam, sepasang mata kosong itu duduk nyaman pada sebuah kursi rotan. Dengan beberapa alas di atasnya. Bantal sofa berenda hijau.

Ada kesetiaan terhirup dari setiap helaan nafasnya, yang beraroma khas lelaki. Adalah aroma kretek yang sangat kental.

“Ehm, mendung,” lirihnya. Sambil merapatkan jaket hoodie berwarna hijau lumut. Menaikan resletingnya hingga menutupi seluruh dadanya yang kurus ringkih.

Berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kali ini, sepasang mata kosong itu lebih memilih untuk berdiri, tepat disamping pot berlumut yang berisi tunas bunga melati yang tunasnya masih beberapa helai daun. Ada sekitar duapuluhlima pot berjejer rapi.

Hey, tibat-tiba matanya bekerjab-kerjab jenaka. Senyumnya mengembang seumpama sauh nelayan. Lebar dan segar.

“Awannya mirip alismu, berantakan.” Katanya sambil membalikkan badannya kemudian  duduk di sofa rotan seperti biasa.

Masih hening. Ritme hujan kini tak teratur. Rintiknya yang besar-besar begitu berisik ketika jatuh pada permukaan atap seng kandang kelinci yang berada tidak jauh dari beranda tempatnya duduk. 10 meter kira-kira jaraknya.

Matanya kembali mengerjap-ngerjap. Dingin.

Kini tatapannya sama seperti malam-malam sebelumnya, kosong, dingin dan datar.

Pukulan petugas malam pada sebatang besi di pos ronda sebanyak 1 kali. Makin membuktikan bahwa sebenarnya malam sudah sangat klimaks. Bahwa sebenarnya malam sudah lelah, bahwa sebenarnya malam semakin hening.

Rintik hujan mulai menurun ritme nadanya. Tik…tik…tik.

Wajah pemilik sepasang mata kosong itu mulai resah. Gelisahnya meronta-ronta hebat. Hingga tanpa disadari, sepasang kakinya bergoyang-goyang. Seperti orang yang tengah gugup hendak bertemu dengan orang yang sudah lama tidak dijumpai.

“Katanya jam 1, malam ini. Kok belum ada.” Gumamnya. “Ah, mungkin isi suratnya sebulan yang lalu hanya kisah dongeng saja.”

Berdiri.

Matanya kembali menatap awan yang mulai pudar pekatnya. Mega-mega berwarna putih ceria menebar senyum genitnya. Sepertinya, mereka tengah merperolok empunya sepasang mata kosong itu.

Lelaki itu membalikkan badannya dan berjalan menuju pintu masuk, beriringan dengan tiga kali dentingan dari pos ronda.

“Belum cukupkah seribu malam, aku menunggumu?”

***

Sebuah bus terseok-seok menyusuri jalanan yang malam ini terasa lebih lenggang dari biasanya.

Wajah-wajah lelah, terpaksa saling beradu bahu ketika kendaraan itu berhenti secara tiba-tiba.

Seorang perempuan, dengan gelagapan membuka matanya dan membetulkan jilbabnya yangmulai berantakan.”Eh, sudah di mana sekarang?” Tanyanya pada penumpang sebelahnya. Seorang anak muda yang menanggapinya dengan kebingungan, karena sama kagetnya.

Tak mendapat jawaban yang memuaskan. Perempuan itu memilih untuk diam. Sesekali matanya menatap ke jalanan, mengira-ngira sudah di daerah mana tepatnya dirinya berada.

Nafasnya beraroma rasa rindu.

“Seharusnya, sudah sampai, jam 1 tadi.” Diliriknya arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya sebelah kiri.

Hening.

Hujan mulai turun. Gelanyar airnya seperti bocah yang asik bermain air, luruh lembut di permukaan kaca luar bus. Gelanyarnya yang lebat membuat apa yang nampak menjadi buram, berembun.

Tak terdengar ritme apapun dari rintik yang berloncatan. Satu-satunya yang terdengar menonjol adalah detak ritme dari jantungnya yang bertalu-talu.

Deg…deg…deg.

Digigitnya kuku jarinya. Lututnya bergoyang-goyang. Dirinya resah, menantikan waktu bergerak cepat.

“Setelah ribuan malam aku lewatkan. Seharusnya malam besok aku bersamanya.” Batinnya, tangannya memainkan ujung jilbabnya yang berwarna hijau pupus. Sungguh pas dengan padu padan baju muslim bergaya melayu berwarna orange.

“Maaf penumpang, karena kendaraan ini mesinnya panas. Jadi perjalanan dilanjutkan sekitar tiga sampai empat jam lagi. Mohon maaf untuk karena para penumpang jadi terlambat sampai ditujuan.” Dengan bahasa yang tumpah tindih, kondektur bus mengatakan hal yang sebenarnya.

“Huuuu…” Sebagian penumpang bersorak. Namun ada juga yang berteriak “Kendaraan ga layak masih dipake, ya begini, merugikan orang banyak.”

Sekilas mata kondektur bus nampak mendelik, namun diacuhkan saja ucapan-ucapan nyinyir dari beberapa penumpang.

“Pasti marah, dan akan menganggapku sebagai pembohong. Karena hingga dini hari aku belum juga sampai di rumahnya.” Perempuan itu mengadu pada batinnya yang mulai direjam risau.

Nafas yang beraroma rasa rindu mulai sesak di dadanya. Mereka seolah-olah sudah tidak tahan bercokol terlalu lama dalam ruang sempit penantian.

Perempuan itu memiliki sepasang mata yang indah. Yang setiap kali berkedip, aura bintang akan muncul dan berlompatan dari retinanya. Sepasang alis tebal yang alami namun berantakan, bak payung emas yang memancarkan gemerlap ketika orang memandangnya.

Udara panas mulai berdatangan memenuhi ruangan dalam bus. Rengekan beberapa penumpang perlahan-lahan mulai teratur terdengar.

“Ibu, lapar, mau minum.”

“Kak, geser dikit dong, Ade sempit bobonya.”

“Sayang, panas ya.”

“Aduh, kalau sampainya siang, keburu ga yak ikut upacara pemakamannya?”

“Yah, tahu nyampenya besok mah, mending Ujang naek kereta api besok pagi.”

“…..”

“…..”

“…..”

Dan perempuan itu, mengulum senyumnya. “Sayang, gemuruh ini mulai membuatku koma. Mereka merampas seluruh oksigen kebutuhan hidupku. Bahkan aroma teh hijauku, mulai tak peduli pada khasiatnya. Untuk membuatku awet muda.”

Lamat-lamat, telepon seluler salahsatu penumpang mengkumandangkan adzan subuh. Para penumpang yang sangat kelelahan tak menyadari bahwa kondektur dan supirnya mulai menyalakan mesin bus, dan jalanan pagi yang hening menyambut setiap putaran rodanya.

Sepasang mata perempuan berkerudung hijau itu, terkatup tenang.

Nafasnya pagi ini beraroma cemas. “Semoga dia tak marah atas keterlambatanku.”

***

Seorang lelaki, sudah duduk di sebuah sofa rotan beralaskan bantal berwarna hijau. Resleting jaketnya masih terkatup rapi antara dua sisinya.

Pagi ini, tidak hening, tidak hujan.

Aroma nafas lelaki itu beraroma kerinduan berbalut kecemasan. Mimpinya semalam sangat mengusik hatinya pagi ini.

Dalam mimpinya, Nampak keduapuluhlima pot bibit melatinya hancur berantakan karena hujan deras disertai angin kencang.

Tanpa mencuci wajahnyanya dan menggosok gigi, cepat-cepat ditenggoknya bibit dalam pot-potnya. “Syukurlah, kalian baik-baik saja.” Katanya dengan nafas lega.

Langkah kakinya yang hendak berjalan menuju pintu masuk, diurungkannya sejenak. Telinganya mendengar sebuah sepeda motor berhenti.

Matanya yang sayu karena kurang tidur, kini menjadi berpendar. Sejuta cahaya merasuki kedua bola matanya.

“Dinda.” Langkah kakinya lebar-lebar. “Dindaaa” Suara paraunya memanggil lantang sebuah nama.

Perempuan yang dipanggil Dinda menoleh. Tanpa memperdulikan uang kembalian dari ojeg pengantarnya.

Sepasang kakimilik mereka, kini saling beradu kekuatan. Seolah-olah siapa yang akan segera mencapai garis finish dan memberi pelukan pertamakali.

“Dinda. Sayang, akhirnya kamu datang. Semalam aku hampir mati menahan risau, nafasku sudah tersenggal-senggal karena kukira kau tak jadi datang.” Lelaki itu memeluk perempuan berkerudung hijau dengan erat. Kedua matanya tertutup indah. Tak adalagi tatapn kosong seperti seribu malam sebelumnya.

“Pandu. Panduku. Aku selalu menepati janjiku, bukan ? Walau kerap kali kau membantahnya.” Dengan manja perempuan berkerudung hijau itu meletakkan kepalanya di dada lelaki yang dipanggilnya Pandu.”Semalam, bus yang aku tumpangi bermasalah, jadi kami harus menginap di jalan sambil menunggu mesinnya kembali normal. Maafkan aku, karena sudah membuat nafasmu tersenggal menanti kedatanganku.”

“Ya, ku kira kau sungguh tak datang.”

“Tidak, Pandu. Seribu malam berjauhan darimu sudah lebih dari cukup, sakitnya.”

“Perempuan hijauku.”

“Lelaki kretekku.”

***

Kesetiaan ibarat sebuah ladang. Hanya cinta yang datang seperti hujan dan nama-nama hari saja yang mampu menaburi ladang itu dengan bibit harapan kemudian menuainya dalam bentuk kebahagiaan.

Berbicara sebuah cinta sama halnya berbicara berbagai macam aroma, pun harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun