Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penghujung November

1 Desember 2014   04:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:24 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393310707354866437


“Mari kita berserah pada-Nya. Jodoh tak akan kemana”

Duh,akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirmu. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kita sudah kalah. Tak ada lagi harapan, dan hanya menunggu keajaiban.

November sudah berada di penghujungnya. Aku teringat pada November-november sebelumnya. Ketika kita hanya saling memandang kasmaran namun lebih memilih untuk memendam rasa. Mungkin semua terjadikarena keadaan yang mengharuskan seperti itu.

Kita saling memendam komentar, saat beradu senyum. Saling melihat tawa. Dan ketika binar mata saling beradu, kita lebih memilih untuk mengulum rindu dan menjadi salah tingkah.

Menurut banyak orang, cinta adalah sesuatu yang agung. Namun mengapa rasa agung tersebut kerap menjadi kondisi yang tidak memungkinkan cinta untuk saling memiliki. Hingga kadang-kadang, rasa agung sebuah cinta luntur menjadi sebuah kekalahan.

Suatu keadaan di mana pada diri seseorang atau keduanya harus di paksa melepaskan. Alih-alih demi terlihat pantas dan layak. Atau keadaan di mana seseorang merasa jatuh cinta namun seseorang yang lainnya merasa terlalu agung untuk dia, hingga yang tersisa adalah sebuah rasa pahit melebihi tuba.

Dan hadirlah pertanyaan.

Mengapa sebuah cinta seringkali berada di kondisi yang tidak memungkinkan ? Apakah sebuah cinta adalah spesies langka yang harus diperlakukan sehati-hati mungkin oleh para ahli arkeologi dan antropologi. Akan tetapi apakah sebuah sikap yang serba hati-hati saja sudah cukup untuk memperlakukan sebuah cinta ?

“Sebuah kebersamaan harus di dukung oleh kondisi yang baik dan benar.? Katamu, sambil menyeruput kopi hitammu.”Dan bukanlah agung, jika sebuah cinta hanya membuatmu nampak rendah.”

Aku hanya terheran-heran mendengar ucapanmu. Seheran, mengapa sepoi angin pagi begitu menyejukkan. Seheran, mengapa ombak lautan mampu memecah batu karang. Seheran, mengapa sisi keagungan sebuah cinta terkadang nampak menakutkan dan menyeramkan.

“Jadi, apakah maksudmu sekarang kita harus saling berdiam dan mendiamkan?” tanyaku kelu, dan sedu sedan di mataku mulai beriringan datang.

“Padahal, ada rasa tulus di sini.” Kataku sambil menunjukan letak jantungku berdetak “Aku selalu berusaha mencintaimu dengan mengerti. Dan kerap melakukan sebuah konversi, bagaimana mengubah kekuranganmu menjadi sebuah kelebihan. Setidaknya bagi diriku sendiri.”

“Ya, begitulah” jawabmu dengan nada yang tak bisa ku baca sama sekali.

“Baiklah” Jawabku sambil tertunduk mengamati ujung sepatuku. Yang esok hari akan melangkah sendirian. Menyusuri senja di trotoar simpang tiga yang kerap kita lalui.

Langkah kakiku mungkin akan sering terhenti. Demi merasai euphoria kenangan milik kita, sementara ada kenyataan yang tak bisa ku bantah bahwa apapun tentang kita sudah tak ada lagi. Dan setelah trotoar simpang tiga, biasanya kita akan menuju sebuah kedai sederhana. Sebuah tempat yang kerap kita jadikan bertukar mimpi sambil mengamati lalu lalang orang, sejurus kemudian kita saling berbisik dan meledaklah tawa kita melihat seorang ibu separuh baya yang kepayahan menggunakan sepatu wedgesnya.

“Kamu selalu bisa menyelesaikan apapun.” Katamu dengan nada yang terdengar tegas. Seolah-olah pintu perpisahan yang tengah terbuka adalah hal yang remeh bagiku.

“Tidak perlu bersikap apatis seperti itu. Kau tahu sedalam apa rasaku. Kau tahu agungnya rasa ini berbalutkan apa ?” jawabku dengan nada mulai tidak suka. Tepatnya rasa patah hati yang mulai merambat. Membentuk retakan-retakan di akhir kebersamaan kita, saat ini.

Rasanya aku ingin menghabiskan sisa-sisa kebersamaan ini dengan melucuti seluruh gundah dan risaumu. Kemudian membiarkan riang berada di antara candamu. Tetapi semakin ku kuatkan tekad mendukung keputusanmu. Yang nampak adalah seolah-olah aku tengah membangun singgasana kesedihanku sendiri. Kesedihan yang akan berlangsung untuk waktu yang entah.

Akhirnya penghujung waktu November pun habis. Punggung kita sudah berjalan saling memunggungi.

Aku membekap luka hati yang baru saja muncul. Mencoba menahan perihnya demi memudahkan dan meringkankan langkahmu. Keputusanmu

Semoga kelak, kamu menemukan cinta yang baik dan benar, menurutmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun