Ikutan nimbrung ah soal nge-dewan tapi masih tetepngartis juga.
Oalah Pak-Buk, piye to. Apakah bisa melakukan dua jenis pekerjaan sekaligus tanpa mengesampingkan pekerjaan yang satunya.
Jika ada dua pekerjaan yang dijalani sekaligus. Biasanya akan muncul pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.
Nah pertanyaannya sekarang jika ada seorang artis memutuskan menjadi anggota dewan tapi masih menjalani rutinitas keartisannya, lantas yang menjadi pekerjaan utamanya sekarang apa ? Artis atau dewan.
Menurut saya yang sok tau ini, entah menjadi artis atau dewan, keduanya sama-sama berurusan dengan hak orang banyak.
Ketika seorang artis tampil apaadanya, anggaplah kurang fokus, tentu yang akan dirugikan adalah penonton, karena tidak mendapatkan tontonan yang berkualitas. Dan yang namanya di sebut penonton tentu jumlahnya lebih dari 10 orang. (Banyak kan)
Sama halnya dengan menjadi seorang anggota dewan, ketika kurang fokus atau kurang serius menjalankan pekerjaannya, tentu kebijakan yang diambil akan bisa berakibat fatal pada saya dan kaum saya. Yaitu kaum rakyat jelata.
Buat saya, tidak ada istilah pekerjaan sampingan. Karena semudah-mudahnya pekerjaan, pastilah membutuhkan sebuah kesungguhan dan konsentrasi untuk bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan positif juga maksimal.
Analoginya begini, ketika saya tengah duduk di depan televisi yang menayangkan film kesukaan saya, terus tiba-tiba pengen ngupil. Maka saya akan mengupil sambil melihat film kesukaan saya tapi saat jari telunjuk ngorek-ngorek hidung, saya tidak akan terlalu peduli dengan upil yang saya dapatkan. Karena isi kepala saya lebih fokus pada tayangan televisi. Bisa di bilang keinginan mengupil hanya akan menjadi keinginan sesaat saja, demi menyalurkan hasrat mengupil J (maaf ya untuk analogi yang menjijikan ini).
Nah apa bedanya dengan para anggota dewan yang masih pengen nga-tris. Apakah keinginan menjadi dewan hanyalah sekedar sebuah hasrat saja, hasrat supaya keberadaannya makin di kenal banyak kalangan atau hanya ingin membuat sejarah baru dalam silsilah keluarga. Bahwa dari garis keturunan ini, ada namanya terdaftar di ruang admistrasi Senayan.
Apa iya, pekerjaan yang menyangkut jutaan hak kaum saya, hanya dianggap pekerjaan sampingan? Apa iya, pekerjaan yang menyangkut keberlangsungan sejarah bangsa saya, terkesampingkan hanya karena saat sidang senayan, para artis yang nge-dewan itu lebih memilih sibuk melihat agenda manggung daripada memantau agenda desa terbelakang.
Ayo dong, Pak-Buk. Buatlah garis ketegasan antara menjadi artis atau nge-dewan. Tanpa menjadi artis pun saya tetap mengenal sosok Pak-Buk, kok. Dan mungkin akan makin mengenal sosok Pak-Buk, ketika Pak-Buk, saat duduk di kursi dewan menghadirkan sebuah gebrakan perubahan kearah lebih baik bagi kaum saya. Rakyat jelata.
Saya tidak tengah menghakimi sebuah pekerjaan atau profesi artis, karena keberadaan para artis kerap membuat hidup saya menjadi cheer-up.
Saya maksudkan tulisan ini dengan harapan jangan sampai Pak-Buk sebagai anggota dewan menjadi korban analogi sebuah upil. Lubang hidung sudah lecet-lecet kena kuku jari telunjuk, namun karena fokus ngupilnya terbagi dengan acara tayangan televisi, aktivitas menjaga kebersihan hidung jadi tidak maksimal.
Sudah capek-capek kampanye sana-sini, rugi ini itu, tapi pada akhirnya jadi korban cemoohan banyak orang karena kinerjanya yang tidak pantas atau alakadarnya atau tidak maksimal.
Lagi pula, dengan mempertegas pilihan, nge-dewan atau ngatris. Secara tidak langsung Pak-Buk, sudah memberi kesempatan pada saya. Siapa tahu saya kelak bisa berkecimpung di salah satu pekerjaan tersebut. Kalau ga jadi atris ya jadi dewan. Kalau ga jadi dewan ya jadi artis. Aamiin.
Jadi mau milih mana, nge-dewan atau tetep ngatris ?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H