“Lapar, miskin, dan bodoh mungkin sering mengabadikan kesengsaraan hidup di dunia, dan menggagalkan harapan kebahagiaan hidup di akhirat. Tetapi tidak untuk seorang Tupon, ibu buta huruf dari Gunung Kidul- daerah tandus dan kering di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alhamdulillah, walau kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, dan kehilangan sosok laki-laki dalam hidupnya, Tupon mampu menerbangkan Sekar Palupi buah hatinya menerobos tirai kemiskinan dan kebodohan. Padanya, nilai profesionalisme seorang ibu jelas terbentang.”
Nobar Film MARS (Mimpi Ananda Meraih Semesta) Institut Ibu Profesional Senin 2 Mei 2016 @Plaza Senayan Jakarta
Gambaran itulah yang disajikan dalam film Mimpi Ananda Raih Semesta (MARS) yang disutradarai Sahrul Gibran. Saya bersama 24 rekan Pengurus dan Koordinator Kelas dari Institut Ibu Profesional (IIP) Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi berkesempatan memenuhi undangan Mendiknas menyaksikan Gala Premierenya. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional kemarin, 2 Mei 2016, sejumlah organisasi nirlaba lainnya juga diundang menyaksikan bersama kami di Plaza Senayan Jakarta.
Tupon (diperankan oleh Kinaryosih) dan Sekar Palupi (Acha Septriasa) adalah tokoh sentral dalam film berdurasi sekitar 2 jam ini. Keduanya berhasil menguras air mata saya, ibu dua anak yang mungkin mengalami tantangan yang berbeda dalam mendidik dan membesarkan anak. Namun, hal terpenting bukanlah perbedaan tantangannya, melainkan nilai profesionalitas seorang ibu yang berhasil diterjemahkan Tupon dalam mengantar Sekar memetik “Lintang Lantik” di langit yang tinggi. Cita cita agar anak mampu mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk membunuh kebodohan yang dibuntuti kemiskinan, berusaha dicapai Tupon dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Tapi nilai nilai keimanan kepada Sang Pemilik Hidup, kegigihan, tekad bulat, pantang menyerah, ulet, komunikatif, tidak mudah terganggu oleh kata-kata orang lain, dan juga sejumput “nekad” tetap berbaur dalam balutan cinta kasih seorang ibu kepada anaknya.
Tupon, tidak pernah menyalahkan sistem pendidikan di negaranya, yang sangat tidak bersahabat dengan orang miskin seperti dia. Mungkin karena saking bodohnya Tupon. Tapi kesederhanaan Tupon mengantarkan pada satu fokus tujuan untuk dicapai. Ia tidak terdistraksi oleh apapun, bahkan oleh kebodohannya sendiri. Inilah yang harus kita camkan, bahkan bagi semua ibu yang mengaku pintar dan berpendidikan tinggi. Inilah nilai profesionalitas. Tupon sebagai ibu, total memahami tugasnya sebagai ibu. Ia profesional. Ia menjalankan mandat Tuhan Sang Pemilik Kehidupan untuk mendidik anaknya agar meningkatkan kemuliaan hidup di dunia demi mencapai kemuliaan hidup di akhirat.
Adalah sepasang suami istri (Tupon dan Surip) yang tinggal dalam kemiskinan dan kebodohan di Kabupaten Gunung Kidul bersama seorang putrinya –Sekar Palupi. Surip meninggal dalam kecelakaan kerja saat menggali kapur di penambangan kapur. Dalam film yang mengambil setting Kabupaten Gunung Kidul yang tandus, Yogya kota pelajar, dan London UK ini, perjalanan Tupon membesarkan Sekar sepeninggal suami, mengalami liku yang panjang dan perih. Seorang diri, dengan berjualan gaplek dan tempe, Tupon membesarkan dan berjuang menyekolahkan Sekar hingga tamat SMA. Sekar pun mampu melanjutkan kuliah di Yogya dengan beasiswa sampai lanjut pasacasarjana ke Oxford University United Kingdom dan lulus sebagai lulusan terbaik. Kisah berakhir pilu karena ketika Sekar pulang ke Gunung Kidul, ibunya telah meninggal dunia. Tupon meninggal dalam kesakitan dan kemiskinan, dalam perjuangannya mengantar Sekar meraih mimpi.
Satu hal yang patut mendapat perhatian dari film ini, Tupon memberikan kita contoh seni mengasuh anak yang khas. Parenting ala Tupon yang bodoh tapi penuh kasih, mengajarkan penonton bahwa anak adalah manusia yang harus diajak bicara dari hati ke hati. Ketika Sekar membolos, Tupon terluka dan kecewa tetapi ia tetap berbicara dengan tegas kepada Sekar. Ia tidak membentak, tidak memarahi. Ia menyampaikan keinginannya agar Sekar mampu merubah nasibnya. Itu dia lakukan secara konsisten. Terus menerus. Momen kehilangan ayah Sekar dijadikannya titik tolak untuk menanamkan azzam bagi anaknya, bahwa mereka harus survive. Ketika lulus SMA dan Sekar dilamar seorang yang mapan pun, Tupon menanyakan dengan hati-hati pendapat anaknya. Tupon memiliki fokus cita cita yang jelas, tetapi karena melibatkan anak sebagai manusia yang juga punya keinginan, Tupon tidak pernah memaksa. Namun, ia berhasil menyamakan persepsi dan menyatukan mimpinya ke dalam langkah-langkah Sekar. Ia menuangkannya dengan cinta kasih.
Saya tidak hendak menggambarkan adegan-adegan dalam film ini, yang sedikit banyak menggenangkan air di sudut mata. Lagu “Doa Untuk Ibu’ yang disenandungkan UNGU sebagai sountrack film ini mengalun seperti sebuah doa yang tidak pernah habis dari seorang anak karena tersentuh kasih sayang ibunya. Silakan Anda menikmati sendiri scene demi scene yang menguras emosi dengan menonton film ini mulai 4 Mei di bioskop bioskop tempat tinggal Anda. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa nilai-nilai profesionalisme yang dihadirkan Tupon pada film ini, nyatanya memang harus ada dalam diri kita para ibu. Menjadi ibu bukan sekedar melahirkan anak dan memberinya makan. Ibu harus profesional. Tupon mengajarkan saya untuk menjadi ibu yang profesional.
Dan akhirnya, apresiasi yang tinggi selayaknya kita berikan kepada Aishworo Ang penulis novel MARS, yang asli Gunung Kidul. Melalui karya tulisannya, inspirasi pembuatan film ini didapat. Novel berjudul sama dengan film nya , telah mencatat realita kehidupan Kabupaten Gunung Kidul dan menjadi pelajaran yang berharga buat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H