“ Tetapi tanpa perjuangan dan susah payah di manakah akan kita peroleh sesuatu yang bernilai? Kami sudah dapat memastikan harus berjuang dengan gigih dan tegar hati. Sebab pendapat lama yang turun-temurun, pikiran yang telah berkarat, tidak akan tersisihkan dengan satu helaan nafas. Harus banyak air mata meleleh, harus banyak darah luka hati mengalir, untuk menghanyutkan warisan pikiran yang telah berkarat.” (sebagaimana dituturkan RA Kartini dalam surat kepada sahabatnya dan dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”)
RA Kartini berharap suatu saat perempuan Indonesia tidak lagi terbelakang dan dapat mengenyam pendidikan tinggi. Sederhananya, ia ingin perempuan janganlah bodoh. Untuk sampai bangsanya pada cita-cita itu, Kartini tahu itu tidaklah mudah. Menggempur pendapat lama dan membangun mindset baru itu seperti melawan arus suangai yang deras. Perempuan Indonesia pasti harus berjuang dengan tegar hati dan gigih agar menjadi pintar. Dari generasi ke generasi. Dengan tantangan yang berbeda-beda di tiap zamannya.
Kenapa perempuan tidak boleh bodoh?...... Dalam kebodohan, perempuan tidak memiliki daya. Padahal perempuan kodratnya akan menjadi ibu, melahirkan anak-anak yang menjadi penerus keberlangsungan Indonesia. Apa yang akan dilakukan ibu yang bodoh kepada anak-anaknya?..... Apa yang dapat dilakukan perempuan yang tidak berdaya? Ya menerima apapun yang terjadi pada dirinya dengan tidak kuasa melakukan apapun, walaupun sebagai manusia perempuan memiliki hak azasi yang sama dengan laki-laki. Di sini, butuh perjuangan. Perjuangan untuk keluar dari kerangkeng kebodohan dan mindset tentang pendidikan minimalis bagi perempuan.
Saya menangkap semangat besar Kartini, yang mungkin agak terlupakan. Semangat perjuangan gigih dan tegar hati untuk meraih sesuatu yang bernilai. Yaitu penerimaan dunia bahwa perempuan memang seharusnya belajar supaya pintar dan akses pembelajaran bagi perempuan seharusnya terbuka lebar. Perempuan harus pintar isi kepala dan isi hati. Karena setiap perempuan akan jadi pendidik anak-anaknya. Semangat ini sering tertiban dengan suara lantang untuk maju yang seolah-olah mau menyaingi laki-laki. Sayang sekali kalau semangat menyaingi laki-laki itu yang justru mengemuka. Tujuan Kartini saya yakin bukan menginginkan agar perempuan bisa lebih pintar dari laki-laki. Tetapi berdiri setara dan berjalan berdampingan sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan kodratnya masing-masing. Kalaupun nampaknya laki-laki sebagai pemimpin berada di barisan depan sementara perempuan di belakangnya, bukan berarti perempuan itu tidak maju. Bukan sama sekali. Perempuan dan laki-laki diciptakan saling melengkapi, bukan berdiri sendiri atau salah satu menjadi hebat sendiri.
Saya yakin, Kartini saat ini akan menangis jika melihat perempuan pintar yang berprestasi di ranah sosial berbagai bidang tetapi gagal dalam mendidik anak-anaknya. Ia juga pasti bersedih, melihat perempuan-perempuan pandai yang sibuk dengan pencapaiannya sendiri dan tidak tergerak melihat perempuan lain di sekelilingnya yang butuh disupport karena minim akses pembelajaran atau masih cenderung terpenjara dengan citra diri yang negatif. Kalau itu terjadi, sepertinya semangat Kartini mungkin sudah mati. Ironis karena sementara, kita mengucapkan Selamat Hari Kartini setiap 21 April datang menjelang.
Apa itu “semangat perjuangan gigih dan tegar hati untuk meraih sesuatu yang bernilai” ? Saya memaknainya sebagai perjuangan untuk tetap konsisten menjadikan pembelajaran bagi perempuan terus berkelanjutan. Ini bukan cuma soal bercucuran air mata, tapi bisa benar-benar hati kita pun menangis. Zaman kini, kelihatan banyak perempuan pintar berpendidikan tinggi. Ada yang berprofesi di berbagai bidang, ada yang murni diam di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Bukan masalah. Itu hanya soal pilihan. Dan setiap pilihan adalah satu paket dengan semua konsekuensinya. Tapi masalahnya ada pada konsep citra diri perempuan. Jangan salah. Hari begini, masih ada ibu rumah tangga yang bilang begini,” Ah saya kan cuma ibu rumah tangga, gaptek, jadi ngga usah lah belajar ini itu.” Nah….. ini sama bahayanya dengan ibu bekerja yang sudah berpendidikan tinggi tapi masih bilang begini,” Ngurusin anak itu biarlah diserahkan saja semua sama si mba. Saya sudah habis waktu untuk pekerjaan kantor.”
Kenapa bahaya?.... Bahaya besar, karena konsep citra diri yang “salah” pada diri perempuan. Ibu rumah tangga yang berpendapat dirinya “hanya” ibu rumah tangga, sangat merendahkan dirinya sendiri. Citra diri positif belum terbangun. Seorang ibu rumah tangga, memegang peranan yang sangat besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter. Ibu rumah tangga yang tidak membuka diri untuk belajar hal-hal baru sesuai perkembangan zaman, nampaknya perlu diencourage untuk memandang dirinya lebih berharga. Perlu disadarkan bahwa posisinya vital, sebagai penentu apakah anak-anak yang di”didik”nya sejak dalam kandungan akan berkarakter emas atau perunggu. Ibu rumah tangga perlu membentuk konsep diri bahwa semangat belajar dan daya juang dalam mengasah keahlian dan keterampilan mutlak diperlukan. Keahlian dan keterampilan berkomunikasi, manajemen waktu, pengasuhan anak, teknologi informasi, dan bagaimana menjadi partner yang handal bagi pasangan sedikit banyak akan mengalami revolusi. Ibu rumah tangga era kini perlu punya semangat juang lebih tinggi bahwa ibu bisa melampaui apa yang patut diraih jika mau belajar. Semangat dan daya juang ibu juga harus ditularkan kepada anak-anaknya.
Sebaliknya, ibu bekerja yang mengorbankan waktu pertemuan fisik dengan anak-anak lebih dari 12 jam setiap harinya, juga perlu diencourage untuk membangun citra diri positif. Bahwa bekerja atas izin suami, dan niat baik untuk membantu perekonomian rumah tangga jangan sampai mengorbankan pengasuhan anak. Seorang ibu yang berperan ganda, tidak perlu merasa lebih superior daripada ibu rumah tangga karena secara ekonomi memiliki kemandirian. Tidak juga perlu merasa berkecil hati karena tidak bisa seratus persen mengamati tumbuh kembang anak seperti yang mampu dilakukan ibu rumah tangga. Ini soal manajemen supporting system keluarga dan pendelegasian tugas rumah tangga yang tepat.
Apapun keberadaan seorang perempuan, yang patut disyukuri adalah kemampuan untuk sampai berada di eksistensi itu. Jangan melihat kesenangan-kesenangan perempuan lain dan mengasihani diri sendiri karena tidak bisa meraih kesenangan itu sebagai milik kita. Setiap perempuan dianugerahi potensi diri masing-masing, yang dapat digali dan dimunculkan dalam bentuk perwujudan citra diri yang positif. Menampilkan diri kita sebagai perempuan secara positif, satu paket dengan tugas dan tanggung jawab.
Citra diri positif hanya dapat dibangun oleh perempuan yang sejatinya mensyukuri keberadaan dirinya, berusaha melakukan yang terbaik sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya, dan tetap menghidupkan semangat di dalam dirinya untuk menjadikan dirinya tetap berharga. Karena, yang diperjuangkan perempuan adalah sesuatu yang bernilai. Apa sih yang kita perjuangkan sebagai perempuan?.....apakah kadar “bernilai” nya sama dengan yang diperjuangkan RA Kartini, sementara sekarang pengakuan dunia atas akses belajar bagi perempuan sudah terpenuhi seperti cita-cita Kartini?..... Kita memang punya “sesuatu yang bernilai” yang patut selalu diperjuangkan dengan semangat gigih. Sesuatu itu adalah anak-anak yang berkarakter jauh lebih baik dari generasi sebelumnya. Yang berempati. Yang akan memimpin dan menjalankan roda kehidupan negeri ini. Yang bukan cuma akan berebut kekuasaan untuk hidup berlimpah fasilitas. Siapa yang mampu menanamkan nilai-nilai itu jika bukan ibunya?.....
Biarlah “banyak air mata meleleh, banyak darah luka hati mengalir” ketika seorang ibu berjuang untuk terus belajar, belajar memahami anak-anaknya untuk tumbuh lebih baik, asalkan anak-anak itu kelak terus menggenggam semangat yang ditularkan dan diwariskan ibunya. Seperti semangat Kartini yang kita genggam untuk maju dan maju. Dan perempuan-perempuan yang mampu menularkan semangat serta daya juang positif adalah perempuan dengan citra diri positif. Perempuan yang mampu memandang bahwa dirinya berharga dan tidak berhenti belajar untuk menjawab tantangan zaman. Terus berjuang, perempuan tidak sendirian…..ada para lelaki yang memimpin kita dan menyayangi kita sebagai bagian dari rusuk dadanya. Sebab itu laki-laki dan perempuan berjalan bersisian, sebagai partner yang setara, sesuai dengan kodratinya.
Selamat Hari Kartini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI