Apa hubungannya mengatur waktu yang kita punya dengan mengatasi masalah-masalah akibat emosi yang buntu tak tersalurkan? Ada. Bahkan sangat erat serta mendasar. Berbagai kondisi berbatas ruang, jarak dan waktu dalam kepadatan aktivitas sehari-hari sering menyebabkan adanya saluran komunikasi yang salah arah, buntu, atau tertahan. Itu bisa terjadi antara ibu dengan ayah, ibu dengan anak, ayah dengan anak, atau anak yang satu dengan anak yang lain dalam satu keluarga. Akibatnya akan ada emosi yang tertahan, tak tersampaikan, tersimpan sebagai beban. Jika emosi yang tertahan itu dibiarkan, tidak menemui saluran komunikasi dan release yang tepat, maka akan menjadi pangkal dari banyak masalah dalam sebuah keluarga.
Saya mengamati, masing-masing dari kita sebagai individu mempunyai kebutuhan untuk menyampaikan emosi melalui berbagai saluran. Tampaknya ini sebuah kebutuhan yang mungkin berbeda-beda kadarnya untuk setiap orang dengan karakter yang berbeda. Namun, pada dasarnya, kebutuhan itu ada. Kecenderungannya, seorang ibu mungkin lebih banyak membutuhkan saluran verbal untuk menyampaikan emosinya, baik emosi positif maupun negatif. Perasaan senang, haru, sedih, ataupun kecewa hampir selalu harus dikeluarkan dengan kata-kata meski tidak selalu demikian. Namun, saya melihat ada kecenderungan. Bicara dan didengar, menjadi hal penting bagi ibu. Lihatlah begitu bahagianya ibu jika mereka berkumpul dengan ibu lainnya dalam sebuah arisan.
Di sisi lain, bukan berarti ayah tidak butuh bicara dan didengar. Hanya saja, kelihatannya ayah cenderung lebih irit dengan urusan verbal. Seorang ayah mungkin tidak banyak bicara setiap waktu seperti ibu. Tetapi sekali ayah bicara, kata-katanya begitu dalam dan bermakna. Kata-kata ayah yang singkat dan jarang itu justru yang sering melekat di benak anak-anak hingga mereka dewasa. Ayah sebagai kepala keluarga sering menempatkan diri sebagai pemimpin yang tidak ingin tampak lemah. Ayah cenderung lebih pandai menyembunyikan rasa khawatir, takut, dan sedih. Ayah mungkin tidak mudah marah atau ngambek seperti ibu apabila ada hal-hal yang tak berkenan. Namun, ayah tetap seorang manusia yang butuh menyalurkan emosinya.
Bagaimana dengan anak-anak? Mereka cukup unik. Anak-anak usia balita secara umum belum mampu mengungkapkan perasaannya seperti kita orang dewasa. Mereka kadang bisa langsung kesal dan marah lalu menangis atau menendang-nendang apabila keinginannya tidak dipenuhi. Suasana hati anak sangat dipengaruhi oleh cukup atau kurangnya perhatian orang tua.
Anak-anak yang jarang dipeluk orang tuanya, jarang melakukan kegiatan yang sifatnya kebersamaan fisik serta emosi dengan ayah-ibunya, juga akan lebih mudah kesal dan marah. Tidak percaya? Saya sudah membuktikannya. Tiga kali berturut-turut pulang kerja terlambat, akan membuat anak laki-laki saya yang sulung (usia tujuh tahun) ngambek. Adiknya, yang perempuan usia 4,5 tahun juga ngambek. Ngambeknya berbeda. Kakaknya sudah bisa berbicara di telepon bahwa dia kesal kalau ibu pulang terlambat, karena sudah ingin bertemu ibu dan berkegiatan bersama. Sementara adiknya, melempar-lempar buku atau menendang-nendang apa saja yang ada di dekatnya.
Jelas, baik ibu, ayah, dan anak-anak punya kebutuhan untuk menyalurkan perasaan dengan enak dan nyaman. Ada kebutuhan “emotion release”. Nah, kadangkala emosi itu tidak dapat tersalurkan dengan baik karena waktu pun tak bertemu, dan ruang kadung terpisah. Karena itu, penting untuk secara rutin kita mengatur waktu supaya emosi-emosi yang tertahan dan belum menemui salurannya bisa release dengan baik. Juga supaya tidak memicu munculnya masalah-masalah baru. Jika emosi sudah di jalan buntu, biasanya akan memengaruhi aktivitas lainnya. Bekerja jadi terganggu, belajar jadi kurang konsentrasi dan motivasi, bermain pun jadi kurang asyik. Efeknya bisa seperti bola salju.
Solusi pengaturan waktu untuk emosi buntu adalah dengan menyeimbangkan waktu untuk empat kebutuhan. Sebaiknya dibagi secara proporsional waktu untuk semua (family time), waktu khusus berdua antara satu orang tua dengan satu anak (time alone), waktu bersama pasangan (couple time), dan waktu sendiri (me time). Pembagian waktu ini saya pelajari setelah menyimak pemaparan seorang Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Beliau menjadi narasumber dalam Talkshow di kantor tempat saya bekerja bertajuk “Be The Best You As Working Mom”, tahun lalu (2015). Kebetulan, Saya bertugas sebagai pembawa acaranya. Kenapa saya baru menuliskannya sekarang? Karena saya butuh waktu setahun untuk membuktikan bahwa apa yang disarankan Ibu Vera memang betul membantu untuk release emosi.
Bagaimana pembagian keempat waktu ini bisa membantu menangani masalah akibat emosi buntu? Yuk kita simak satu per satu.
Family Time (Waktu untuk Semua)
Waktu untuk semua anggota keluarga bersama-sama berkumpul, melakukan aktivitas menyenangkan bersama, kita sebut family time. Pada waktu ini, seluruh anggota keluarga dapat mencurahkan kasih sayang dan perasaan dengan sukacita. Pada waktu ini, emosi-emosi kecil yang tertahan bisa release dengan mudah. Kebahagiaan berkumpul bersama, merajut kedekatan fisik dan emosi dalam sebuah keluarga, dapat mengeliminasi sekadar kesal di tempat kerja, di jalan, atau di sekolah. Family time mampu mengobati kerinduan untuk eksis sebagai satu keluarga yang utuh.
Family time yang berkualitas, tidak terdistraksi oleh gadget dan layar digital, diyakini mampu betul-betul memperbaiki hubungan yang merenggang antara anggota keluarga akibat kepadatan aktivitas. Family time yang berkualitas tidak harus pergi berlibur ke tempat yang bagus dan jauh. Di mana pun dan kapan pun, asalkan pada waktu itu seluruh anggota keluarga dapat berkumpul, melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama-sama- entah sekedar berenang atau memasak bersama- , itulah saat yang pas untuk membangun jembatan emosi.