Mohon tunggu...
Novi Kaisah
Novi Kaisah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

dari imajinasi jadi kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rima

9 Januari 2012   02:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:09 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

harusnya cermin ini jadi salah satu tulisan di mirror, tapi berhubung komputer sempet hang dan ada beberapa kesibukan jadi ga sempet upload tepat waktu. maaf ya semuanya.. khususnya admin mirror :)

***

Plak! Sekali lagi tamparan itu mendarat di pipiku. Pedih. Tapi aku sudah mulai terbiasa. Bukanhanya pipi, hampir seluruh tubuhku sudah berwarna biru kehitaman. Bahkan sejak hari pertama pernikahanku disahkan, tangan kekarnya yang seharusnya lembut membelaiku justru keras jatuh di pipiku. Aku tidak tahu kenapa dia sering memukulku, tidak ada keberanian untuk bertanya. Dan hingga di bulan ke delapan pernikahan kami, aku masih masih belum punya tanda-tanda hamil. Dia jadi punya alasan untuk makin sering memukuliku.

Aku selalu berusaha diam dan bersabar, tapi entah darimana para tetangga tahu tentang kehidupan rumah tanggaku. Berkali-kali mereka menyarankan untuk menggugat cerai, tapi aku tak bisa. Keluargaku pun tak bisa berbuat apa-apa, karena keluargaku yang terlanjur punya banyak hutang kepada keluarga suamiku.

***

Hujan deras malam ini. Dalam perjalanan pulang dari sebuah RS kesekian puluh untuk memastikan apakah aku wanita ‘normal’. Tiba di rumah, di teras sudah ada bocah perempuan kecil duduk lemah dengan tubuh basah kuyup.

“Kasian dia, boleh aku bawa masuk ke rumah?” tanyaku pada suamiku. Dia diam sesaat lalu mengangguk lemah.

Bocah itu hanya diam ketika kami tanya siapa namanya. Lalu aku memberinya nama Rima. Dia selalu tampak murung dan misterius, tidakseperti anak lain, mukanya datar tanpa ekspresi. Dia jarang sekali bicara. Ketika kami tanya tentang asalnya dia hanya menggelengkan kepala.

***

Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Pagi ini aku terbangun karena teriakan suamiku. Dia meraung kesakitan. Awalnya kupikir dia hanya bermimpi buruk, tapi kulihat banyak luka dan lebam di tangan dan wajah bagian kanan. Entah kenapa dan dari mana datangnya luka itu. Sepertinya malam sebelum kami tidur semua baik-baik saja.

Tiba-tiba Rima sudah ada di dalam kamar kami. Seperti biasa dengan wajah datarnya dia memperhatikan luka di tangan suamiku. Suamiku memalingkan wajahnya dari Rima.

***

Sudah hampir tiga minggu ini suamiku masih tidak bisa tidur tenang. Dia selalu mimpi buruk dan kini terlihat lebih kurus. Kami sudah periksa ke dokter tapi tidak ditemukan penyakit apapun. Tetangga kami menyarankan untuk pergi ke paranormal, tapi suamiku menolak.

Aku perhatikan suamiku selalu menghindari Rima, seperti orang yang ketakutan. Pada awalnya aku tidak mencurigainya, tapi kadang Rima menatap tajam seperti benci kepada suamiku. Aku juga mengingat-ingat suamiku mengalami mimpi buruk sejak Rima datang, apakah ini ada hubungannya? Rima memang sedikit misterius. Sampai sekarang aku tidak pernah mendengar satu patah katapun keluar dari mulutnya. Aku pernah mengundang temanku seorang psikiater untuk memeriksa Rima. Menurutnya Rima seperti mengalami trauma.

***

Sayup-sayup terdengar suara seperti orang yang menangis. Kupaksa membuka mataku yang baru terpejam dua jam. Sempat kaget tak kulihat suamiku di tempat tidur. Ternyata suara tangis itu berasal dari seseorang di atas sebuah sajadah. Yah, suamiku di sana. Menahan tangisnya agar tak terdengar olehku. Aku pura-pura tidur sambil tetap mengawasinya. Alhamdulillah, semua kejadian yang menimpa kami ada hikmahnya.

Suamiku kini sudah jarang bermimpi buruk. Semua berangsur kembali normal, kecuali satu hal, dia kini lebih lembut memperlakukanku. Tak ada tamparan di pipiku. Tak ada lagi pukulan di tubuhku.

***

“Selamat ya Pak, Bu, Anda berdua akan jadi orang tua..”

Suamiku langsung sujud mengekspresikan rasa syukurnya. Alhamdulillah ya Allah, Engkau akhirnya member kepercayaan kepada kami.

Aku mencari Rima untuk memberitahukan kabar ini. Kuharap jika punya saudara Rima tidak akan kesepian dan mau membuka diri. Tapi tak kutemukan dia di semua sudut rumah. Kutanya pada pekerja rumah tanggakupun dia tidak tahu. Hingga satu minggu kami mencari, sudah kami laporkan kepada polisi dan sudah kami sebar selebaran tentang hilangnya Rima namun tidak ada hasil. Aku sangat khawatir.

***

Kulihat Rima memukuli suamiku dengan sebuah tongkat besi berduri.

“KAU JAHAT! INI BALASANNYA! KAU JAHAT! INI BALASANNYA! KAU JAHAT! INI BALASANNYA!” Berkali-kali Rima memukul suamiku sambil mengucapkan kata-kata itu. Entah kenapa hal ini terjadi, aku sangat bingung. Akupun tidak bisa menghentikan hal itu, aku hanya terduduk lemah. Rima membelai pipiku lembut, menenangkanku sejenak. Lalu dia menjauh, semakin jauh dan hilang dalam kabut.

Suamiku terkejut saat kuceritakan tentang mimpiku. Lalu dia diam. Berangsur kami lupa pada RIma, kini konsentrasi kami tertuju kepada putri kami yang baru lahir sebulan lalu. Aku sudah jarang bermimpi tentang Rima, sejak hari pertama bertemu sampai hari terakhir dengannya dia tetap misterius. Rima, semoga di manapun kau berada semoga kau baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun