Mohon tunggu...
Noverius Laoli
Noverius Laoli Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemuda yang lahir dan besar di Desa Lubuk Ampolu, Sitonggi tonggi, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sibolga. Sejak kecil bercita-cita ingin melihat keindahan kota-kota terkenal di dunia. Menjalani masa Sekolah Dasar hingga SMP di Sekolah Negeri Kebun Pisang, dan Gunung Kelambu. Namun masa SMA di Sekolah Katolik, Aektolang Pandan, Sibolga. Menjalani kuliah di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kini menjadi jurnalis di salah satu media ekonomi di Jakarta. Saat ini ingin menulis sebanyak-banyaknya.\r\n\r\nSuka membaca novel-novel sejarah dan menuliskan kisah-kisah perjalanan. Suka berimaginasi dan kelak berharap dan berusaha agar imaginasi itu bisa bisa menjadi kenyataan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ayah, Sedikit tentang Riwayatmu

14 April 2015   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:06 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_409996" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Ibu, aku dan Ayah 2012. (@Noverius Laoli)"][/caption]

Ayah,  aku masih ingat ketika aku masih kecil. Waktu itu adik-adiknya masih belum pada lahir. Ketika suatu ketika, kita pulang dari kebun karet menuju rumah, saat itu hujan lebat, kau megendongku di atas pundakmu. Aku memang kepalamu dan kau pun menceritakan dongeng-dongeng padaku. Ketika suatu waktu, tiap kali menjelang malam, itulah saat yang kutunggu-tunggu, karena kau biasanya menceritakan dongeng-dongengmu yang membuat imaginasiku liar dan berkembang luas.

Ayah, aku juga masih ingat, ketika waktu kecil kau begitu gagah perkasa. Berbeda dengan pria seusiamu. Kau pergi bekerja sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Kadang, waktu itu, aku khawatir, ada apa-apa denganmu di hutan sana. Tapi ketika bayanganmu muncul di keheningan petang, aku pun gembira. Kau pulang dengan topi di kepala, dalam posisi terbalik.

Aku masih ingat pertama sekali kau antar aku sekolah di SD Negeri 157015 Kebun Pisang. Tidak jauh dari desa kita Sitonggi tonggi. Kau naik sepeda besar dan mendaftarkanmu ke sekolah. Waktu itu aku malu memakai baju sekolah dan ketika bertemu dengan banyak anak-anak seusiaku. Aku seorang pemalu. Tapi waktu akau melihat padamu, kau tersenyum memberikan semangat.

Ayah, aku masih ingat cerita-ceritamu. Izinkan aku mencoba menuliskannya, maafkan bila ada yang terlupakan. Ayah, kau sendiri tidak tahu tanggal lahirmu. Cuman kau ingat kau lahir tahun 1960. Namamu Faojatulo Laoli. Kemduian ketika dibabatis namamu ditambah menjadi Nestor Faojatulo Laoli.  Kau tidak tahu persis bulan berapa kau lahir, karena kakek tidak biasa mencatat tanggal lahir anak-anaknya pada zaman itu. Akhirnya kau tentukan sendiri kau lahir 17 Agustus 1960.  Itu tepat pada hari kemerdekaan.

Waktu kecil, berumur kira-kira 5 tahun, nenek telah meninggalkanmu bersama adik dan kakak-kakakmu. Kemudian pada usia 12 tahun, kau memberanikan diri merantau dari Pulau Nias ke Sibolga. Jadilah kau seorang pengelana. Kau hanya bermodalkan tekad akan sukses. Kau berani, meskipun saat itu, kau tidak tahu membaca. Sekolahmu harus terhenti ketika baru dua minggu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kela II.

Kemiskinan telah membuat engkau harus pergi meninggalkan Pulau Nias dan rumah kakek dan nenek. Kau akhirnya menjadi pekerja kuli di Sibolga, Pulau Sumatera. Kau mengerjakan apapun yang bisa kau perbuat, dengan modal tekad dan rajin, kau dengan mudah bisa bertahan hidup. Kemudian kau masuk hutan bekerja kepada orang yang waktu tahun 1980-an menebang kayu. Waktu itu hutan di sekitar Sibolga masih rimbun dan lebat. Dari sana, kau belajar membaca dari rekan-rekan satu profesi sebagai penebang dan penarik kayu sampai ke kota. Pikiranmu pun mulai terbuka, dan dari situ kau mendapatkan banyak cerita dongeng yang kelak kau selalu tuturkan kepadaku dan adik-adikku menjelang tidur.

Engkau bekerja dan banyak orang mencintaimu. Kau tetap tekun dan setiap kali ada waktu, kau datang ke Pulau Nias untuk bertemu dengan Kakek dan saudara-saudara. Kau masih mencintai mereka. Kau bawa adikmu yakni bapak Kecil ke Sibolga, bersamamu. Akhirnya kalianpun merantau berdua. Kau bertemu Ibu di Sibolga, dan kalian menikah, meskipun dengan kekurangan dan sedikit menimbulkan gejolak. Kau akhirnya sukses membangun rumah tangga.

Sifatmu yang pekerja keras membuatmu semakin berhasil. Selama tiga tahun bersama ibu, aku belum juga lahir. Lalu pada tahun ketiga, aku pun lahir sebagai anak pertama. Aku bisa membayangkan begitu gembira dirimu mendapatkanku. Hingga besar pun kau selalu mencium dan memelukku. Kau sangat mencintai aku dan adik-adikku. Lelah dan capek terus kau lalui. Kau tak peduli, asalkan anak-anakmu bisa sekolah. Hutan yang dijual dengan harga murah sejauh sekitar 5 kilometer dari rumah kau beli. Kau buka hutan itu menjadikannya kebun karet. Kini kebun itu begitu luas dan menghidupi kami.

Ketika melihat paman kecil, adik kandung ibu memakai seragam SMA, matamu pun berbinar-binar. Kenapa? Karena kau mulai menaruh harapan, anakmu yang pertama, dan semua anakmu akan kau perjuangkan setidaknya bisa duduk di bangku sekolah SMA, meskipun hanya beberapa hari. Kau menyadari sebagai orang kecil, tak berpendidikan, miskin dan kerap tidak dianggap oleh orang-orang sekitar, tidak akan menjadi siapa-siapa bila anakmu tidak bisa sekolah.  Kau tidak mau anak-anakmu seperti dirimu yang tidak sekolah.

Perjuanganmu tidak sia-sia ayah. Kau punya tekad kami sekolah dan itu pun jadi kenyataan. Anakmu tidak hanay duduk di kursi SMA, tapi juga sampai lulus kuliah. Sesuatu yang kau pun tak pernah sempat memikirkannya. Tuhan maha baik padamu Ayah. Ia memberimu yang kau cita-citakan.

Ajaranmu kepada kami memang sejak dari kecil tanpa kompromi. Kau membuat kami harus sekolah meskipun kadang kami malas. “Nak nanti kalau kamu tidak sekolah, aku bisa ditangkap polisi,” ujarmu suatu ketika saat kau ketahuan bolos sekolah. Seketika, aku pun takut waktu itu. Aku takut kalau kau ditahan polisi hanya karena aku tidak sekolah. Tapi ayah, kini aku sudah sekolah, terima kasih caramu mendidikku.

Semua tetangga tahu, kau seorang ayah yang gagah dan keras. Tidak segan-segan tangan mencubit paha dan perut kami bila kami bandel dan malas. kau memukul dan memarahi kami sambil memberikan nasihat. Sunggu saat-saat seperti itu dulu sangat menakutkan kami. Tapi saat ini, kami berterima kasih, karena tanpa ketegasan itu, kami mungkin tak pernah jadi siapa-siapa.

Ketika aku lahir, kau tanam pohon karet seluas sekitar 2 hektare (ha) untukku. Kemudian ketika adikku Andrianus sudah mulai ada dalam kandungan, kau pun menanamkan pohon karet padanya, dan demikian ketika adikku Megawati ada dalam kandungan, kau pun menanam pohon karet untuknya. Selanjutkan ketika adikku Nolizaro ada dalam kandungan ibu, kau melakukan hal serupa, sampai Yustinus dan Martin Star. “Aku menanam pohon karet ini supaya kalian tidak menjadi budak orang lain ketika bekerja di kebun mereka dan kalian dimarahi kapan saja. Kalau kalian menjadi pemilik kebun, kalian menjadi tuan atas diri sendiri,” begitu katamu kepadaku ketika aku berumur 15 tahun.

Ketika aku masuk SMA, aku tahu kau begitu bahagia. Aku sekolah dan kemudian aku mengatakan aku harus keluar Pulau Sumatera yaitu Bandung. Kau waktu itu takut, tapi karena aku punya tekad akhirnya kau merstui juga. Kau mendoakanmu agar aku selamat. Kini sepuluh tahun lebih merantau di Pulau Jawa, kau terus mendukungku.

Begitu juga dengan adik-adikku. Yang nomor dua sudah lulus sarjana. Putrimu satu-satunya juga sudah lulus sarja, dan putramu no.4 sudah semester enam di Jakarta, dan putramu no.5 sudah semester dua di Sibolga. Demikian juga dengan putra bungsumu sudah kelas 1 SMP di Sibolga. Ketika aku mengungkit semua itu kepadamu, kau hanya menangis. Aku yakin itu tagih bahagiamu.

Ayah, aku tahu akhir-akhir ini kau kerap menangis bila aku menelpon, demikian juga bila adik-adikku menelpon. Kau memang sudah ingin sekali kami berada di sampingmu di masa-masa sulit ketika kau mulai sakit sejak tahun 2011 lalu.

Maafkan kami ayah, kami tak bisa mewujudkan keinginanmu itu.  Dulu pun kau selalu bilang kami harus ada di sampingmu ketika ajal menjemputmu. Namu lagi-lagi kami gagal, kau pergi hanya disaksikan adik Yustinus, Martin dan Ibu. Maafkan kami ayah, kami gagal mewujudkan niatmu.

Meskipun kau telah pergi Ayah, dan aku beserta Nolizaro, masih di Jakarta, esok kami akan bertemu denganmu, meskipun sudah tak saling menyapa lagi. Adikku Andrianus, cucumu dan menantumu yang baru dua hari lalu mengunjungimu di Sibolga, tengah dalam perjalanan menuju Sibolga dari Medan. Mereka bersama Putri tunggalmu Megawati. Doakan kami.

Kau selalu hidup dalam jiwa dan raga kami Ayah. Love u so much.

Semoga engkau bangga bercerita dengan para leluhur kami yang telah mendahului engkau di alam baka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun