[caption id="attachment_283554" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://kepulauannias.com/"][/caption] Ada yang berbeda di Kampus Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Sabtu (24/8/2013) sore. Pada hari itu warna-warna merah keemasan tampak mendominasi kompleks Kampus TIM. Warna yang mendominasi itu adalah pakaian adat khas Nias. Bentuk pakaian adat untuk perempuan berwarna dasar merah, benang emas dan hitam. Sementara laki-laki menggunakan pakaian berbentuk jaket tanpa lengan berwarna merah dan kuning. Namun ada juga pria yang menggunakan pakaian adat sewarna dengan pakaian adat yang digunakan kaum perempuan Nias. Di saat hari semakin tenggelam, jumlah pengguna pakaian tersebut terus bertambah. Kerumunan orang nias di TIM sore itu memang bukan tanpa alasan. Ada perhelatan besar bagi masyarakat yang berasal dari Kepulauan Nias, yang terletak di bagian barat dari negara kesatuan Indonesia. Perhelatan itu adalah Festival Musik Daerah Kepulauan Nias. Dalam festival itu ditampilkan perlombaan lagu-lagu solo Nias yang dinyanyikan dari tingkat anak-anak, dan orang dewasa. Selain lagu solo, ada juga vocal group dan lomba cipta lagu Nias. Foanoita Halawa, Anggota DPD DKI asal Nias menuturkan perhelatan itu dilakukan sebagaian ungkapan kerinduan Masyarakat Nias akan Pulau Nias yang terletak jauh dari Jakarta. Untuk itu, Adat Istiadat Nias, termasuk lagu-lagu Nias yang sebagian besar meceritakan pengalaman personal dan komunal masyarakat nias ditampilkan di tanah rantau. Diharapkan tampilnya adat istiadat nias tersebut bisa mengobati kerinduan orang nias yang tinggal di perantauan, khususnya daerah Jakarta dan sekitarnya. "Tujuan diadakannya festival lagu-lagu nias ini adalah untuk mengingatkan kita Masyarkat Nias yang ada di perantauan untuk tetap ingat kembali ke Pulau Nias dan budaya nias tetap kita lestarikan meskipun di tempat perantauan," tutur Foanoita yang ditemui di sela-sela Festival lagu-lagu nias. Selain itu, lanjtu Foanoita, kita orang nias bertemu, ada ikatan emosional antara satu sama lain. Pasalnya, orang nias di perantauan akan merasa lebih dekat dan sebagai saudara di tempat rantau. Selain karena jumlah orang nias tidak minoritas di perantauan, juga karena persamaan budaya, bahasa dan kerinduan sehingga menyatukan orang-orang nias di perantauan. Dalam perhelatan yang baru kedua kali diselenggarakan ini, pasca pertama kali diadakan tahun 1996 ini, terlihat kekompakan dan keceriaan masyarakat nais di tempat perantauan. Bahasa nias tampak terdengar di setiap sudut ruangan. Suasana di TIM terasa seperti berada di Pulau Nias. Lagu-lagu legendaris nias juga dinyanyikan sehingga semakin mempererat kekerabatan dan tali silaturahim satu sama lain. Melestarikan Kebudayaan Nias salah satunya lewat lagu-lagu Nias memang sesuatu yang mendesak dilakukan. Sebab, banyak Orang Nias yang sudah ada diperantauan mulai lupa akan budaya dan bahasa daerahnya. Bahkan sebagian Masyarakat Nias di perantauan merasa enggan lagi berbahasa nias karena alasan malu dan sebagainya. Jika tidak ada upaya serius melestarikan budaya nias dan bahasanya, termasuk rasa bangga menjadi Suku Nias, maka perlahan-lahan Orang Nias yang ada diperantauan akan kehilangan identitas dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H