Mohon tunggu...
Noveri Maulana
Noveri Maulana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bukan siapa-siapa!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Film Itu Bukan Sekadar Hiburan…..!”

30 November 2009   00:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Sebel gue ngeliat film kaya gini!”, ungkap Yuli, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Yuli menumpahkan kekesalannya pada seorang sahabat. Ia tak habis pikir, kenapa masih ada filmmaker  Indonesia yang  menyadur cerita film luar negeri untuk film yang ia produksi. Sebagai seorang anak muda yang peduli terhadap perkembangan film Indonesia, Yuli merasa sangat terhina ketika di sebuah situs video streaming, ia menemukan banyak orang luar negeri yang mencaci maki Indonesia atas tindakan plagiasi ini. Yuli menyayangkan, atas tindakan satu pihak, nama Indonesia menjadi jelek di mata Internasional.
Yuli yang juga finalis LA Light indie movie festival 2008 ini menambahkan, plagiasi ide ini merupakan salah satu contoh perilaku buruk para pembuat film Indonesia. Demi menghemat biaya, tidak jarang filmmaker menyadur ide dari film-film luar negeri. Bahkan, ada pula sebagian sineas yang memproduksi film tanpa sebuah karakter cerita yang kuat. Kemiskinan ide dan konsep cerita menjadi ancaman yang dapat meruntuhkan kejayaan film di negeri ini.
Krisnadi Yuliawan, pengamat dan kritikus film menyatakan, ide dan konsep cerita merupakan nyawa dari sebuah film. Tidak sedikit film yang dimainkan oleh aktor hebat, didukung dengan peralatan canggih dan dimodali dengan dana yang banyak, tetapi lemah dari segi ide dan konsep cerita. Ia berpendapat, film Indonesia saat ini memang meningkat, tetapi baru sebatas jumlah atau kuantitasnya saja.
“Film Indonesia sekarang masih banyak yang belum memiliki konsep cerita yang jelas, bahkan, sebagian besar film yang beredar terkesan asal jadi, yah….hanya menawarkan bodi seksi atau hantu-hantuan! ”, Ungkap Krisnadi.
Meningkatnya kuantitas film Indonesia tampaknya belum diikuti oleh peningkatan mutu dan kualitas cerita. Krisnadi menyayangkan, sebagian besar sineas Indonesia masih mengedepankan sisi komersialisme dalam memproduksi film. Tuntutan pasar masih menjadi pertimbangan utama bagi mereka. Padahal, menurut Krisnadi, selera pasar itu sebenarnya bisa diarahkan oleh para pembuat film.
“Sebenarnya pasar itu akan terbentuk dengan sendirinya. Kalau tiap sineas itu memiliki karakter yang kuat, pasti filmnya akan bermutu dan berkualitas. Tetapi ini kan tidak, sebagian besar sineas kita hanya memproduksi film yang temanya  pasaran!”, ujar Krisnadi.
Menurut pemimpin redaksi rumahfilm.org ini, secara teknis, produksi film Indonesia sudah tergolong maju dan modern. Walaupun dalam beberapa kegiatan pasca produksi masih banyak menggunakan studio luar negeri, tapi setidaknya untuk proses produksi, teknologi dalam negeri sudah mendukung penuh. Namun menurutnya, lagi-lagi, hal sepele yang sering dilupakan oleh sebagian besar sineas Indonesia ialah tentang kekuatan ide dan konsep cerita.
“Kita dari rumahfilm.org sudah sering menyorot masalah ini. Para sineas pun sudah sering kita kasih masukan dan bahkan juga kritikan. Ya, soal berubah atau tidak ya urusan mereka. Sekarang kita ingin fokus untuk mendidik masyarakat agar kritis dan selektif terhadap film yang akan mereka tonton. Nantinya, film yang tidak berkualitas itu akan ditinggalkan penonton dengan sendirinya”, ujar Krisnadi.
Aktor senior, Deddy Mizwar menambahkan, perkembangan ide dan konsep cerita film Indonesia saat ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan film-film 30 tahun silam. Pada era 70-an dan juga 80-an, film-film Indonesia didominasi oleh drama percintaan, komedi slaptic, horror dan juga seksualitas.
“Film Indonesia saat ini memang jauh lebih maju, tapi dari sisi teknisnya saja. Kalau soal ide cerita, masih belum jauh berbeda dari 30 tahun silam, bumbu-bumbu seks masih ada, begitu juga soal hantu-hantuan”, ujar Bang Haji, sapaan akrab Deddy Mizwar.
Menurut Bang Haji, saat ini memang ada sineas berbakat yang berhasil menyajikan film-film berkualitas dan juga meledak di pasaran. Namun, jumlah mereka tidak terlalu banyak. Bahkan, yang banyak itu adalah sineas yang hanya ikut-ikutan meramaikan dunia perfilman. Alhasil, film yang mereka produksi tidak memiliki kualitas yang bisa dibanggakan.
“Film yang berkualitas itu dihasilkan oleh orang-orang yang berkualitas pula. Film itu bukan sekadar hiburan, tapi ada pesan moral yang hendak disampaikan kepada penonton”, Ujarnya.
Bang Haji yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Penimbangan Perfilman Nasional (BP2N) itu mengatakan, kehidupan demokrasi di Indonesia memberikan hak kepada semua orang untuk memproduksi film.
“Siapa saja, dengan latar belakang apa pun, berhak untuk memproduksi film. Makanya, tak heran pula banyak film yang tidak berkualitas yang diproduksi. Orang yang membikinnya pun tidak berkualitas!”, Ujar Bang Haji sambil tertawa.
Namun, pemeran Jenderal Nagabonar ini mengkhawatirkan kondisi perfilman Indonesia beberapa tahun mendatang. Bang Haji khawatir, jika kondisi perfilman Indonesia masih tetap saja seperti saat ini, maka penonton akan mulai jenuh dan meninggalkan bioskop.
“Jika film yang ditayangkan hanya bercerita soal itu-itu aja, tentu suatu saat penonton akan jenuh dan mulai meninggalkan bioskop”, Ujarnya.
Memproduksi film yang diluar arus pasar (mainstream)memang berisiko tinggi. Kerugian biaya produksi menjadi ancaman bagi para produser. Hal ini juga dirasakan oleh Ario Sagantoro, produser film Merantau. Sebagai produser film yang mengangkat tema di luar trend pasar, Toro, begitu ia biasa disapa, sempat khawatir untuk menginvestasikan sejumlah uangnya untuk mendanai produksi fim ini.
“Dari awal saya sudah sadar, Merantau  adalah film yang bergenre action yang jarang diproduksi saat ini. Tetapi saya tetap yakin, penonton Indonesia akan bisa menentukan yang mana sebenarnya fim yang berkualitas itu”, Ujar Toro.
Kehadiran film Merantau di pasar perfilman tanah air cukup menarik perhatian. Film yang mengangkat tema seputar silat tradisional Indonesia ini berani tampil di tengah situasi perfilman yang masih cenderung mengikuti selera pasar. Apalagi, film ini juga disutradarai oleh sutradara asal Inggris, Gareth Evans.
“Kami hanya ingin menawarkan genre baru bagi penonton tanah air. Kalau tidak dimulai sekarang, ya kapan lagi? Kami ingin menjadi bagian yang tidak pasaran itu!”, Ujar Toro bersemangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun