Mohon tunggu...
Noveri Maulana
Noveri Maulana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bukan siapa-siapa!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merantau, Untuk Kehidupan yang Lebih Baik?

27 November 2009   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:10 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Salah satu dampak negatif dari urbanisasi itu ialah kemiskinan, dan kemiskinan menjadi pintu gerbang bagi sederet masalah sosial lainnya.” Ujar Budi Rajab, Sosiolog dari Universitas Padjadjaran.
Laki-laki itu terus menarik gerobak yang dipenuhi oleh tumpukan kardus dan botol minuman bekas. Ia terus mengumpulkan tenaga tanpa memedulikan keringat  yang  hampir  membasahi seluruh  tubuhnya. Ia adalah Rohman (35), seorang pemulung di Kota Bandung. Sudah dua hari Ia mengelana menyusuri Kota Bandung untuk mencari kardus dan botol minuman bekas. Dari Dayeuhkolot hingga Asia Afrika telah ia telusuri. Hasilnya tidak mengecewakan, bertumpuk kardus dan puluhan botol minuman bekas telah terkumpul di dalam gerobaknya.
Tak lama berjalan, Rohman menepi dan duduk di sisi trotoar. Dua orang rekannya sesama pemulung ikut bergabung sembari mengobrol dan melepas lelah. Tak lama kemudian, istrinya datang menghampiri. Rohman memandang bayi delapan bulan yang digendong istrinya. Anak bungsunya itu terlelap di dalam dekapan sang ibu. Sementara, seorang anaknya lagi tengah sibuk mengutak atik mainan bekas yang ia dapat.
Gemerlapnya kehidupan kota membuat Rohman hijrah dari Garut ke Kota Bandung. Walaupun hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Rohman tetap optimis akan mampu mengubah nasib di Kota Bandung. Di awal tahun 1991 ia hijrah ke Kota Bandung dan menjadi buruh di sebuah pabrik makanan. Sepuluh tahun ia menjalani pekerjaan itu.
Namun, karena iming-iming gaji besar, Rohman meninggalkan pekerjaannya dan menerima tawaran kerja ke Batam dari salah seorang temannya. Tapi malang, setelah ia menyerahkan sejumlah uang untuk biaya keberangkatan, temannya pun tak kunjung datang. Akhirnya, Rohman sadar telah kena tipu. Ia menjadi pengangguran dan bekerja serabutan. Kerasnya kehidupan kota dan minimnya keahlian yang ia punya, memaksa Rohman menjadi seorang pemulung.
“Semua ini saya lakukan untuk menghidupi anak istri!”, ujarnya lirih.
Demi mencari nafkah, kadang-kadang Rohman terpaksa tidur di pinggir jalan. Bahkan, anak dan istrinya pun ikut bepergian bersamanya. Rohman mengakui, kadang keikutsertaan anak dan istri bisa menambah penghasilannya. Sembari Rohman berkeliling mencari barang bekas, anak dan istrinya mengemis di pinggir jalan. Kadang, anaknya yang masih sekolah dasar juga ikut menjadi pengamen jalanan.
Dalam sehari, biasanya Rohman bisa mengantongi uang berkisar antara Rp. 10.000 hingga Rp. 20.000. Namun, uang sebanyak itu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Demi menghemat pengeluaran, Rohman makan dua kali dalam sehari. Sisa uang digunakan untuk keperluan lain serta membeli susu anaknya yang masih balita.
Lain halnya dengan Sidik (30). Lelaki asal Purbalingga ini berprofesi sebagai tukang becak di daerah Pasir Kaliki, Bandung. Demi mengharapkan penghasilan yang cukup besar, awal tahun 1990-an, Ia merantau ke Bandung dan bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan yang ia peroleh tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Akhir tahun 1993 ia beralih profesi menjadi tukang becak.
Menggunakan becak sewaan, Sidik mulai mengayuh rezeki dari hari ke hari. Dalam sehari, ia bisa mengantongi uang berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 30.000. Baginya, uang sebanyak itu tidak cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang bermukim di Purbalingga. Tapi apa daya, tanpa memiliki keahlian lain, Sidik tetap menjalani profesi ini.
“Lebih mudah cari uang di Bandung”, ujar Sidik ketika ditanya kenapa ia tidak kerja di kampung halamannya. Setidaknya, sampai saat ini ia masih merasakan kemudahan mencari nafkah di Kota Bandung.
“Yah…., walaupun serba pas-pasan, tapi apa boleh buat!”  ujarnya menambahkan.
Dua cerita ini menjadi gambaran bagaimana kehidupan kaum marjinal di kota besar. Demi motif ekonomi untuk mencari kehidupan yang lebih baik, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan bermukin di negeri orang. Urbanisasi menjadi salah satu solusi bagi mereka untuk menghadapi tantangan ekonomi.
Komisi Ekonomi dan Sosial PBB wilayah Asia Pasifik (UNESCAP) dalam situsnya menyebutkan, tingginya urbanisasi di satu sisi mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi. Namun di lain sisi mengakibatkan maraknya kemiskinan dan berbagai persoalan.
Hal senada juga diungkapkan oleh sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Budi Rajab. Ia mengatakan, salah satu dampak negatif dari urbanisasi ialah kemiskinan, dan kemiskinan menjadi pintu gerbang bagi sederet masalah sosial lainnya.
“Kejahatan, tindak kriminal, prostitusi, merupakan sebagian contoh dampak dari kemiskinan tersebut,” ujar Budi menambahkan.
Budi juga menjelaskan, kemiskinan yang dialami oleh kaum marjinal di perkotaan merupakan sebuah akibat dari urbanisasi yang tak terkendali. Dari dulu, urbanisasi sudah terjadi di Indonesia. Bahkan, sampai saat ini, urbanisasi tersebut terus berlanjut.
“Urbanisasi itu tidak bisa dihentikan, namun bisa dikendalikan. Saat ini, yang terjadi itu adalah sebuah fenomena dari apa yang namanya over urbanisasim, sehingga banyak timbul gejala sosial seperti kemiskinan itu.” Ujar Budi menjelaskan.
Budi menilai, pokok persoalan dari gejala sosial ini ialah tentang motif ekonomi. Kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan desa juga menjadi pemicu urbanisasi. Apalagi, kehidupan kota yang glamour dan daya tarik penghasilan yang tinggi menjadi alasan rasional kaum pinggiran untuk melakukan urbanisasi.
“Jika pemerintah arif menyikapi hal ini, tentu semua permasalahan itu akan bisa diatasi. Yah…, setidaknya dampak negatif tersebut bisa diminimalisasi.” Ujar Budi.
Budi juga menilai, kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah masih belum tepat sasaran. Banyak kalangan yang masih belum merasakan dampak pembangunan, sehingga mereka berinisiatif untuk mengejar pembangunan tersebut ke kota-kota besar.
“Intinya pemerataan. Baik itu pemerataan pembangunan, ekonomi, pendidikan, dan segala hal. Sehingga, masyarakat di pedesaan tidak merasa terpinggirkan dan laju urbanisasi bisa ditekan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada gejala sosial yang ditimbulkannya, seperti kemiskinan. Dengan begitu, setidaknya angka kemiskinan akibat urbanisasi bisa ditekan.” Ujar Budi.
Memang, daya tarik perkotaan tidak akan pernah pudar jika masyarakat desa masih hidup dalam keterbatasan. Urbanisasi menjadi solusi jitu bagi mereka yang ingin mengubah nasib ke arah yang lebih baik, setidaknya dalam pikiran mereka. Walau kenyataannya, apa yang mereka impikan ketika berangkat dari kampung halaman seringkali tidak sesuai dengan kenyataan ketika mereka sampai di kota tujuan. Alhasil, kemiskinan menjadi ancaman bagi masa depan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun