Mohon tunggu...
Novera Angellina
Novera Angellina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UAJY

A step forward, is a step closer.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

The Nike Jamming: Just Do It

27 Maret 2021   12:15 Diperbarui: 27 Maret 2021   12:26 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambaran seperti apa yang muncul dalam benak kamu ketika mendengar istilah ‘postmodernisme’? Mungkin, kamu bisa memperhatikannya dari kehidupan yang sekarang sedang kamu jalani. 

Dunia yang dipenuhi oleh budaya visual, estetika, konsumerisme, dan ruang yang semakin kabur, menjadi tanpa batas. Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaiamana budaya postmodernisme telah memperkenalkan kita kepada dunia periklanan yang semakin berkembang dan maju. Ini terbukti dari kalimat sebelumnya yang menjelaskan postmodernisme sebagai dunia budaya visual dan konsumersime.

Berbicara mengenai iklan, Jib Fowles dalam karyanya “Advertising and Popular Culture” menjelaskan bagaimana periklanan adalah salah satu manifestasi dari popular culture yang banyak kita temukan di mana-mana. Kemudian, tokoh Fowles mengutip kritik yang muncul dalam Horkheimer and Adorno (1944/1972); menyatakan konklusi pemikiran bahwa semua kultur massa (mass culture) adalah identik—dan dengan demikian menciptakan suatu keseragaman dalam benak masyarakat, di mana industri kultur ini dianggap merampok individualitas dari pemikiran seseorang (Fowles, 1996:57). Penjelasan ini mengarah pada ide di mana iklan dianggap telah menciptakan stereotype yang sempit dan seragam bagi masyarakat, dengan ajakn untuk melakukan konsumi produk-produk yang diiklankan, tetapi dengan pembawaan gagasan ‘menjadi lebih modern, keren’, dan sebagainya.

Nah, kemudian, kira-kira apa kaitan penjelasan di atas dengan topik kita hari ini?

Keberadaan iklan yang pada dasarnya mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi ‘sesuatu’ secara berlebihan hanya atas dasar keinginan atau mengkonsumsi sesuatu yang dibuat melalui dan menghasilkan sesuatu yang negatif, seperti produk dengan proses produksi tidak ramah lingkungan dan penglibatan ekploitasi buruh, mendapat kritik dari kelompok masyarakat anti-konsumtivisme. 

Berangkat dari kondisi tersebut, mulai muncul banyak aksi perlawanan terhadap ide periklanan yang mainstream, dengan tujuan agar gerakan sosial tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengkomunikasikan anti-konsumtivisme atau anti-korporat. Melalui aksi perlawanan, kelompok anti-konsumtivisme ini menantang bentuk iklan yang bersifat ‘membelokkan’ atau ‘menghancurkan’ pesan dari iklan itu sendiri, dan ini dilakukan melalui pembuatan ‘iklan parodi’ yang aslinya mengejek atau menyindir iklan tertentu yang dicap menghadirkan isu sosial atau lingkungan (Putri, 2011).

Pada akhirnya, muncullah istilah ‘Culture Jamming’ yang digunakan untuk menggambarkan gerakan-gerakan tersebut. Jadi, secara sederhana, culture jamming dapar kita pahami sebagai gerakan anti-konsumtivisme yang mengubah pesan hasil bentukkan media massa (khususnya iklan) menggunakan sindiran artistik (Barker & Jane, 2016, h. 241). Biasanya, tujuan mereka fokus untuk meningkatkan awareness masyarakat pada konsumerisme, kerusakan lingkungan, serta praktik sosial yang tidak adil.

Source: wordpress.com/2013/11/14/quiz-4-timothy-knight-nike-jamming/
Source: wordpress.com/2013/11/14/quiz-4-timothy-knight-nike-jamming/

Gambar di atas merupakan salah satu contoh dari culture jamming, atau sudah populer disebut Nike jamming. Iklan jamming ini dibuat untuk menyuarakan dan mengingatkan masyarakat, khususnya pengguna sepatu Nike, bahwa Nike memiliki banyak sweatshops di berbagi negara dunia ketiga, yang nyatanya mempekerjakan anak-anak kecil dan memaksa mereka untuk bekerja berjam-jam (durasi kerja yang tidak masuk akal) dalam kondisi dan lingkungan kerja yang buruk. 

Iklan jamming ini ingin menyampaikan bagaimana Nike tidak memiliki rasa kepedulian pada praktik mereka yang tidak etis, karena semata-mata hanya peduli tentang memaksimalkan keuntungan mereka. Dalam iklan tersebut, tagline “Just Do It!” tetap dicantumkan dengan maksud untuk menciptakan makna yang berbeda, di mana anak yang diperkajan dipaksa untuk “just do it” atau “lakuin sajalah!”, yang jelas memiliki arti negatif dan terbalik dari apa yang dimaksud oleh tagline Nike.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun