Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki naluri besar untuk selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Hal ini lah yang menjadi dasar dan pondasi dari seluruh dunia perpolitikan dunia. Setiap ada Pemilu, para kandidat berlomba-lomba merayu dan menyebar janji demi meraih simpati masyarakat.
Berbagai macam program-program, mulai dari yang realistis namun pahit sampai yang dinilai "out of the box'' dan dapat menarik perhatian khalayak pun dibela habis-habisan, bahkan jika kenyataannya program tersebut mustahil untuk dilakukan. Tentu saja hal itu dilakukan, karena anggapan bahwa masyarakat tentunya akan memilih kandidat yang dirasa memiliki program yang paling mampu mengatasi masalah-masalah di masyarakat. Namun diluar itu semua, program bagus semata tak cukup. Untuk bisa menang dalam suatu pemilu, banyak faktor lain yang menjadi variabel penentu kemenangan. Salah satunya adalah, kekuatan menakjubkan dari “Underdog Effect”
Underdog effect sendiri merupakan suatu kondisi dimana informasi hasil survei tentang pemilih sebelum pemilu mendorong pemilih untuk bersimpati pada kandidat yang diopinikan akan kalah sehingga partai atau calon tersebut akhirnya malah mendapatkan dukungan lebih besar dan dapat menang dalam pemilu.
Salah satu contohnya terjadi pada pemilihan presiden Amerika Serikat tanggal 8 November tahun yang lalu. Dalam pemilihan tersebut, terdapat dua orang kandidat yang sudah jelas sangat bertolak belakang satu sama lainnya. Hillary Clinton yang merupakan kandidat kuat dari Partai Demokrat, melawan Donald J. Trump yang menjadi kandidat dari Partai Republik. Jika mau ditarik kembali secara nalar, tidak ada celah sedikitpun bagi Donald Trump untuk bisa menang dari pesaingnya.
Hillary Clinton yang notabene adalah politisi kawakan merupakan mantan ibu negara yang dicintai, kampanye-kampanyenya sangat berapi-api, program-programnya realistis dan pro terhadap kaum perempuan, bahkan Ia didukung oleh presiden petahana sendiri waktu itu yang tidak lain adalah Barack Obama. Berbeda dengan Hillary yang memiliki segudang kelebihan, Donald Trump merupakan figure yang berbeda 180 derajat dibanding Clinton.
Kendati Ia terkenal sebagai seorang pengusaha sukses, perjalanan karirnya diwarnai dengan jatuh bangun, ia terkenal karena skandal-skandal percintaannya yang tidak ada habisnya menjadi bulan-bulanan media massa serta pandangan-pandangannya yang kontroversial terhadap etnis serta agama minoritas di Amerika Serikat. Tidak ada satupun Lembaga survey yang menyatakan bahwa Trump akan bisa mengungguli Hillary Clinton, tidak ada pula sedikitpun prediksi bahwa pada akhirnya Donald J. Trump yang merupakan salah satu kandidat paling kontroversial dalam sejarah akan benar-benar menjadi “Presiden Amerika Serikat”.
Terpilihnya Donald Trump menjadi presiden sendiri sangat dipengaruhi oleh posisinya sebagai Underdogdalam rangkaian pemilihan ini. Hilarry Clinton yang kuat serta didukung oleh segala penjuru dapat diibaratkan sebagai Goliath yang dikalahkan oleh Daud. Dalam berkampanye, Trump tahu benar akan posisinya sebagai underdog ini dan ia memanfaatkannya secara brilian dengan mengatakan kalimat-kalimat seperti
“The polls are all saying we’re going to win Florida. Don’t believe it, don’t believe it … Pretend we’re slightly behind … OK, ready, we’re going to pretend we’re down. We’re down! Pretend, right?”
(“Polling-polling mengatakan bahwa kita akan menang di Florida. Jangan percaya, jangan percayai itu.. Berpura-puralah bahwa kita sedikit tertinggal.. Oke, kita akan berpura-pura kalau kita jatuh. Kita jatuh! Hanya pura-pura kan?”)
“We are behind. She has some advantages but we’re not giving up. We know we can win this (election).”
(“Kita tertinggal di belakang. Dia (Hillary) memiliki bebrapa keuntungan tetapi kita tidak akan menyerah. Kita tahu bahwa kita bisa memenangkan pemilihan ini.”)
Dengan terus mengulang-ulang pernyataan-pernyataan semacam ini, Trump menegaskan posisinya sebagai underdog yang butuh banyak dukungan. Lewat kalimat-kalimat inilah, Ia berulang-ulang menekankan dan menanamkan pada pemilih bahwa Ia adalah orang hebat yang yang dalam posisi lemah. Hal inilah yang menyebabkan persepsi masyarakat berubah.
Simpati terhadap program-program serta keunggulan Hillary seakan-akan tertutupi dan berpindah menjadi simpati terhadap perjuangan Trump. Hal ini terjadi secara natural karena secara instinctif, naluri manusia seakan lebih tertarik pada pihak yang kalah. Hal inilah juga yang menjelaskan mengapa mayoritas taruhan dalam pacuan kuda atau pertandingan ada pada pihak yang “kelihatannya” memiliki kemungkinan lebih besar untuk kalah.