Pengelolaan Sampah di Desa dapat dilaksanakan melalui Unit Usaha BUMDes. Potensi dari bisnis ini sangat besar dan prinsip menjalankan pengelolaan sampah melalui Ekonomi Sirkular, yaitu dengan melihat sampah memiliki daya guna dan bernilai. Apabila ini massif dilaksanakan di desa-desa, bukan tidak mungkin ini dapat membantu Kabupaten dalam upaya pengurangan kemiskinan. Teknologi, pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan sampah dapat disediakan oleh Organisasi Masyarakat Sipil dan Swasta. Butuh payung hukum, baik dari kabupaten maupun pusat, untuk menata lebih teknis, insentif, serta akses permodalan. Bisnis sampah selain menghasilkan pendapatan untuk kebutuhan hidup warga, ini juga untuk menjaga lingkungan bersih dan nyaman.
Eksodus
Di Pulau Jawa, umumnya pemuda-pemudi desa banyak merantau ke kota-kota. Meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di perkotaan. Menukar jasanya untuk sebuah harapan, mendapatkan upah / uang. Harapan perubahan desa untuk menjadi lebih baik sirna. Harapan ini digantungkan kepada pemuda-pemudi. Desa kekurangan pekerja, akhirnya desa-desa tidak berkembang.
Banyak sebab mereka minggat dan mencari nasib peruntungan di kota-kota. Seperti kecilnya lahan pengelolaan pertanian - lahan padi (dan juga dalam arti luas seperti perkebunan, peternakan dan perikanan). Dalam bahasa ilmiahnya economic of scale, hasil dari usaha agriculture itu tidak mampu membiayai makan keluarga, apalagi hidup (sandang, pangan dan papan ditambah asuransi, hiburan, dllnya). Alasan eksodus lainnya seperti akses untuk pendidikan dan kesehatan yang belum memadai, tidak adanya program-program desa untuk kesejahteraan - kalaupun ada presentasenya kecil dan kerap salah sasaran. Faktor pendorong lainnya adalah ingin terlepas dari belenggu ketidakpunyaan … kemiskinan.
Paket “Penebus Dosa”
Untuk menahan laju urbanisasi yang tidak terkontrol itu, sementara di satu sisi, infrastruktur kota-kota di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menerima kaum pencari nafkah tersebut, akhirnya pelaksana mandat negara ini sadar untuk memulai pembangunan harus dari desa. Membangun negara dari pinggiran. Setidak-tidaknya di Indonesia, sangat tidak mungkin menguatnya perkotaan tanpa didukung modal yang kuat dari desa, seperti penyediaan sumber tenaga yang professional, sumber pangan yang berkelanjutan, keseimbangan alam yang terjaga oleh desa, rendahnya konflik sosial di desa, dllnya yang berhubungan dengan subsistem perkotaan. Akhirnya, desa membangun!
Melalui “penebus dosa” oleh pemerintah pusat dengan diterapkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, banyak pelaku-pelaku pemberdayaan desa, baik pemerintah maupun agen-agen non pemerintah seperti masyarakat sipil, swasta dan lembaga pendidikan, merangsek memberikan bantuan pendanaan dan kegiatan di desa. Menjadi terang-benderang bahwa banyak kegiatan ekonomi yang dapat diterapkan di desa oleh berbagai entitas lembaga ekonomi desa. Semisal, dari yang paling sederhana yaitu usaha sebagai broker / penampung buah kelapa dari petani, simpan pinjam, penyediaan kursi dan tenda hajatan/pelaminan, hingga sampai yang begitu hype-trendy, yaitu common working place yang neat, gaul dan penuh dengan panganan ber-ala western choices, atau rumah sakit modern di kecamatan yang dimiliki oleh beberapa BUMDes (lembaga ekonomi desa), dan dibentuk/tunjuk perusahaan terbatas, PT untuk mengelolanya.
Berbagai usaha itu dapat dilakukan, salah duanya oleh BUMDes, Badan Usaha Milik Desa. Unit usaha sah yang ada di desa, dan dapat bertransaksi dengan pihak kedua guna mendapatkan keuntungan untuk Lembaga (BUMDes). Yang menjadi benefit factor dari pendirian BUMDes ini adalah: 1) disetujui oleh semua masyarakat melalui MUSRENBANGDES/Musyawarah Rencana dan Pembangunan Desa, 2) Penyertaan Modal (bisa tiap tahun) dari dana APBDes yang lagi-lagi disetujui melalui MUSRENBANGDES.
Di Desa Juga Ada Sampah