Dari masa ke masa teori belajar dan pembelajaran berubah dan berkembang menjadi lebih baik. Teori-teori tersebut berkembeng sesuai dengan perkembangan zaman selain itu karena munculnya teori-teori baru ynag lebih kompleks dan lebih baik untuk digunakan.
Sebelum kita menggunakan atau menitik beratkan pada sebuah teori, kita sebagai calon pendidik terlebih dahulu mengetahui pengertian dan penerapan teori-teori tersebut. Selain itu juga perlu mengetahui teori mana yang cocok digunakan dalam pembelajaran.
vPersoalan yang membedakan teori-teori pembelajaran
Setiap teori-teori pembelajaran pasti memiliki persoalan yang membedakan dengan teori yang lainnya, selain itu juga memiliki perubahan dari masa ke masa.
Persoalan yang mendasar antara lain persoalan mengenai hakikat pembelajaran dan prose pembentukan teori (Hilner 1978).
Delapan persoalan yang kontrofersial antara lain: variabel perantara yang digunakan, hal-hal tertentu yang berperan sebagai variable perantara dalam teori bersifat kognitif atau koneksionisme, penguatan yang digunakan dalam teori merupakan hakikat dasar dan inti dalam pembelajaran, suatu pembelajaran yang harus dianalisis pada level molar atau pada level molecular, persoalan selanjutnya yaitu apakah teori tersebut disajikan secara formal atau informal, luas cakupan teori tersebut, penekanan diberikan pada pengaruh aspek bawaan terhadap perilaku dan pada pengaruh batasan-batasan biologis (biological constraints) terhadap pembelajaran, dan persoalan yang terakhir yaitu mengenai kepraktisan teori tersebut.
Persoalan-persoalan teori tersebut diperdebatkan oleh para teoritis yaitu seperti Tolman, Hull, Skinner, Thorndike, Watson, Guthrie, Estes dan Miller. Mereka memperdebatkan masalah-masalah tersebut sesuai dengan teori-teori yang mereka kemukakan.
vKriteria teori yang ideal
Jenis teori ideal yang diperjuangkan oleh para teoritis yang paling ambisius adalah yang mirip dengan cita-cita yang digagas oleh Hull namun gagal diwujudkan yaitu: format, akurat, konsisten secara internal, namun sekaligus juga cuckup luas cangkupannya sehingga meliputi seluruh topic mengenai pembelajaran dan motivasi. Teori tersebut memiliki berbagai postulat dan teorema dan terkonstruksi sedemikian rupa sehingga bisa diubah untuk menangani bukti baru ketika teorema tertentu gagal dikukuhkan oleh eksperimen. Selain kombinasi keluasan dan akurasi teori tersebut juga harus berguna dalam menyelesaikan persoalan-persoalan praktis.
Teori ideal ini mengandung variable-variabel perantara dan sebagai teori formal variable-variabelnya dinyatakan secara eksplisit. Variabel-variabelnya jauh lebih kognitif dibandingkan pada teori-teori terdahuku yang ada di posisi tengah, variable tersebut terkait dengan perolehan, penyimpanan, dan penggunaan informasi, keyakinan dan bukti-bukti yang mendasarinya, pikiran yang logis dan tidak logis.
Selain itu teori tersebut juga bersifat koneksionisme dalam pengertian lainnya. Teori itu bukan hanya menjelaskan pengetahuan dan pemahaman kita melainkan juga respon-respon yang kita buat secara otomatis tanpa berfikir dan kemahiran yang bisa kita lakukan tanpa kita mampu menjelaskan caranya. Tolman (1949) mengakui adanya pembelajaran non-kognitif atas apa yang disebutnya sebagai pola-pola motorik. Jadi meskipun detail-detail teori tersebut sangat kompleks para teoritis tidak menghadapi masalah yang berarti dalam menunjukkan bahwa sebagian dari detail itu jelas-jelas bersifat koneksionis dan yang lainnya kognitif.
Ada dua aspek pembelajaran yang perlu disinggung, yang pertama adalah hakikat memori. Sepanjang berfokus pada pengetahuan dan pembelajaran melalui pengamatan, nampaknya akan lebih konsisten bila kita membahas memori sebagai pemanggilan kembali informasi simpanan dari pada sebagai persaingan diantara respon-respon. Di sisi lain untuk keahlian-keahlian yang amat praktis, termasuk keahlian verbal, teori interferensi. Selain itu teori yang kompleks tidak dapat mengabaikan cara asimilasi pengalaman baru kedalam skemata
Aspek yeng kedua yaitu persepsi. Kebanyakan teoritis pembelajaran memandanag persepsi sebagai hal yang tidak perlu dipersoalkan. Sementara itu kalangan Gestalt yang berfokus pada persepsi tergolong kelompok teoritis pembelajaran yang sekunder. Pembelajaran tidak bisa berlangsung melebihi input perceptual yang mendasarinya, sehingga persepsi tidak bisa diabaikan oleh semua teori yang dianggap komplit. Istilah register sensori yang dikemukakan Atkinson dan Shiffri adalah salah satu contoh konsep persepsi dalamteori pembelajaran (teori memori)
vArti penting teori pembelajaran masa kini
Pada psikologi pembelajaran terapan memiliki arti penting bukan hanya sebagai cara menempatkan teori-teori dalam penggunaannya yang praktis melainkan juga sebagai cara untuk memperbaiki teori-teori. Disamping konstribusi lainnya, studi-studi terapan membantu kita memastikan kondisi-kondisibatasyang ada pada teori. Jika sebuah teori yang bertolak dari data leboratorium digunakan untuk memprediksi sebuah situasi terapan dan perdiksinya tidak terbukti, kejadian ini menunjukkan bahwa teori tersebut tidak sesuai untuk situasi tersebut. Sekalipun demikian teori tersebut mungkin tetap berhasil sempurna untuk memprediksi teori-teori lainnya. Selain itu studi-studi terapan memunculkan hukum-hukum baru yang nantinya bisa digunakan untuk memodifikasi teori lama atau membangun teori baru.
Bagi kita pada umumnya teori-teori pembelajaran memiliki dua arti penting yang pokok. Pertama, teori pembelajaran menyediakan kosa kata dan kerangka konseptual yang bisa kita gunakan untuk menginterpretasi contoh-contoh pembelajaran yang kita amati. Hal ini penting artinya bagi siapa saja yang hendak mengamati dunia secara seksama. Kedua, masih terkait dengan yang pertama, teori pembelajaran menuntun kita kemana harus mencari solusi atas persoalan-persoalan praktis. Teori memang tidak memberikan kita solusi, namun teori mengarahkan perhatian kita kepada variable-variabel yang bermanfaat untuk menemukan solusi.
Guthrie mengarahkan kita pada perlunya mempraktikan respon yang hendak dipelajari dalam kondisi tertentu dimana respon tersebut akan digunakan, dan juga perlunya mempraktikan respon tertentu dalam kondisi yang berbeda-beda agar rsepon itu tertanam kuat dalam diri kita. Skinner m,emberi saran agar kita mencari tahu hal apa yang menguatkan tindakan tertentu, sehingga kita bisa menghadirkan penguat itu jika kita ingin tindakan itu terjadi atu menghilamgkannyajika kita ingin menghapus tindakan tersebut. Piaget dan Gagne menekankan begaimana pembelajaran pada saat ini berkembang dari pembelajaran pada waktu sebelumnya. Tolman, Hull, Estes dan Anderson menawarkan banyak usulan serupa dengan bentuk-bentuk yang lebih teknis. Semua usulan ini membutuhkan kreativitas tertentu bila hendak diterapkan dalam penggunaan praktis. Masin-masing juga menekankan aspek tertentu dalam proses pembelajaran yang perlu kita pertimbangkan. Dengan demikian semuanya berfungsi memperkaya pemahaman kita terhadap situasi-situasi pembelajaran yang kita amati dan membantu kita menemukan solusi atas problema pembelajaran praktis yang kita hadapi. Meski banyak teoritis yang ingin memberikan konstribusi yang lebih besar dari semua ini, dan sampai kadar tertentu mereka berhasil melakukannya, kontribusi seperti ini saja sudah cukup menjadikan teori-teori mereka sebagai hal yang tidak ternilai harganya bagi studi mengenai pembelajaran.
vAnalisis teori pembelajaran
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dengan kata lain proses pembelajaran menurut teori Behaviorisme adalah bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1.Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2.Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3.Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2.Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2.Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1.Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2.Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Konstruksivisme
Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat.
Teori konstruksivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atu kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus bias diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam buku Pembelajaran Moral menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran social yang ada dalam diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tat hubungan, tata tingkah laku dan sikap diantara sesame manusia. Konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara cepat.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapan dan tindakannya selalu benar, sedang murid adalah sosok manusia yang bodoh, segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atu salah. Proses pembelajaran seperti ini cenderung menempatkan siswa sebagai osok manusia yang pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atun teori konstruksivisme adalah siswa harus aktif, kreatif, dan kritis. Konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa, jangan sampai siswa dalam belajar berawal dari pemahaman yang kosong.
Sarana pembelajaran. Segala sarana pembelajaran perangkat keras (hard ware) maupun perangkat lunak (soft ware) baik yang ada di sekolah maupun diluar sekolah harus didesain atau dikelola guru guna memperlancar proses pembelajaran. Karena pembelajaran dalam konteks teori kontruktivisme harus lebih menekankan penggunaan media sebagai satu-satunya sarana untuk mempercepat pemahaman terhadap materi.
Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Bentuk-bentyuk evaluasi pembelajaran dapat diwujudkan melalui pemberian tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang dapat menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi sperti tingkat “penemuan” dalam istilah taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” menurut taksonomi Robert Gagne serta “sintesis” menurut taksonominya BS Bloom.
D. Teori Humanistik
Teori humanistik menjelaskan bahwa proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia (proses humanisasi). Oleh sebab itu teori belajar humanistic sifatnya lebih menekankan bagaimana memahami persoalan manusia dari berbagai dimensi yang dimiliki, baik dimensi kognitif, affektif dan psikomotorik. Teori belajar ini lebih menekankan pada konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dalam pelaksanannya teori humanistik tampak juga dalm pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausabel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning”. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam sruktur kognitif yang telah dimilikinya
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun sarana prasarana apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai kesempurnaan hidup bagi manusia dengan indikasi (a) kemampuan kualitas diri, (b) kualitas pemahaman diri, (c) kemempuan merealisasikan diri dalam kehidupan yang nyata.
Konsekuensi yang mutlak dimiliki seorang pendidik adalah guru harus mampu memiliki sifat, karakter dan tanpilan yang berbeda sesuai denagn situasi dan kondisi yang dihadapi. Selain itu pendidik harus mampu memberikan kebebasan untuk beraktualisasi, kebebasan untuk berpikir alternative, dan kebebasan untuk menemukan konsep dan prinsip.
E. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
F. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6.Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
vPergeseran teori pembelajaran
Pergeseran Dari Koneksionisme ke Kognitifisme
Peralihan para teoritis dalam tradisi koneksioniske ke arah yang lebih kognitif yaitu mencakup pembahasan mengenai hal-hal yang dipelajari orang dari orang lain. Pada masa awal teori koneksifionis, orang mengesampingkan pembelajaran semacam itu dan lebih berfokus pada pembelajaran dengan tindakan. Banyak stimuli yang mempengaruhi perilaku kita yang berasal dari orang lain dan salah astu cara kita bisa merespon stimuli ini adalah dengan memodelkan perilaku kita menurut perilaku orang lain. Menurut Miller dan Dollard, jika kita mendapatkan penguatan karena mngimitasi orang lain, kita akan terus mengimitasi mereka, dan jika kita mendapat penguatan karena mengimitsi sebagian orang namun mendapat penguatan karena melakukan hal yang sebaliknya dari yang dilakukan orang lain itu, kita akan mempelajari diskriminasi dan mengikuti pola itu.
Pergeseran koneksionis ke kognitif juga mendapat persoalan dari para teoritis mengenai stimuli, bagaimana para teoritis koneksionisme hendak menjelaskan gejala-gejala yang oleh para teoritis kognitif disebut juga sebagai keyakinan, rencana dan sikap. Dalam semua kasus kita membuat respon (melihat, membayangkan, memikirkan, atau mengantisipasi) yang menghasilkan stimuli, eksternal atau internal. Respon-respon yang terutama berlaku sebagai penghasil stimuli ini dikenal dengan sebagai respon perantara (mediating responses). Cara merespon situasi dengan jalan keliru yang sistematis disebut dengan istilah faktor keliru (error factors). Karena ada berbagai kemungkinan terjadinya error factors ini, subjek yang tidak berpengalaman cenderung untuk tidak mampu menjelaskan tugas-tugas tersebut dengan baik.
Pola dasar pembelajaran mencontohkan belajar bagaimana caranya belajar. Terlihat bagaimana kita memposisikan diri untuk mendeteksi masalah dengan jalan tertentu. Karena mendekati masalah menuntut perhatian terhadap petunjuk tertentu alih-alih petunjuk lainnya, kekhususan petunjuk melalui peroleha menjadi salah satu aspek pembentukan pola dasar pembelajaran. Secara umum pendidikan bisa dipandang sebagai pembentukan pola dasar pembelajaran. Dalam mengajar murid-murid kita tidak hanya memberikankoneksi stimulus-respon secara spesifik, melainkan juga memberikan pijakan yang diperlukan agar mereka bisa belajar secara berkelanjutan setelah meninggalkan sekolah. Fungsi petunjuk (cue) pada respon-respon perantara amat penting nilainya untuk mempertemukan perbedaan antara teori koneksionis dan kognitif. Jika respon-respon kita sendiri bisa menghasilkan petunjuk dan jika dalam hal ini juga termasuk petunjuk verbal yang kompleks berarti kita tengah melangkah ke arah teori kognitif-koneksionis.
Gagasan mengenai pengetahuan, keahlian, dan pemahaman, tersusun dalam hierarki yang secara bertahap berkembang sepanjang hidup. Analisis perkembangan ini terdengar mirip seperti pemikiran Piaget. PenelitianPiaget mengenai kognisi anak-anak, Gagne mengenai pendidikan dan pelatihan, dan penerapan ide-ide melalui komputer, besrta pendekatan-pendekatan terkini lainnya, semua bertemu dengan dalam gagasan kognitif, karena kalangan koneksionis berasumsi bahwa kebiasaan-kebiasaan sederhana akan tertata menjadi keahlian yang kompleks. Namun demikian gagasan tersebut lebih dikaitkan dengan pemikiran kognitif. Entah bersifat koneksionis, kognitif, atu perpaduan dari keduanya, gagasan mengenai susunan hierarkhis penting artinya bagi studi mengenai pembelajaran, pikiran dan perkembangan manusia.
Kesimpulan:
Teori pembelajaran merupakan suatu acuan yang digunakan dalam pembelajaran. Suatu teori dapat berubah atau berkembang dari masa ke masa apbial terdapat teori yng lebih kompleks atu lebih baik lagi untuk digunakan. Teori yang ideal yaitu apabila teori tersebut memiliki berbagai postulat dan teorema dan terkonstruksi sedemikian rupa sehingga bisa diubah untuk menangani bukti baru ketika teorema tertentu gagal dikukuhkan oleh eksperimen. Selain kombinasi keluasan dan akurasi teori tersebut juga harus berguna dalam menyelesaikan persoalan-persoalan praktis.. Teori yang layak digunakan memilik arti penting dalam pembelajaran. Dua arti penting teori pembelajaran, yaitu: Pertama, teori pembelajaran menyediakan kosa kata dan kerangka konseptual yang bisa kita gunakan untuk menginterpretasi contoh-contoh pembelajaran yang kita amati. Hal ini penting artinya bagi siapa saja yang hendak mengamati dunia secara seksama. Kedua, masih terkait dengan yang pertama, teori pembelajaran menuntun kita kemana harus mencari solusi atas persoalan-persoalan praktis. Teori memang tidak memberikan kita solusi, namun teori mengarahkan perhatian kita kepada variable-variabel yang bermanfaat untuk menemukan solusi. Macam-macam teori pembelajaran yang digunakan, antara lain: teori behaviorisme, teori kognitif Piaget, teori kontruktifisme, teori humanistik, teori pemrosesan informasi dari Robert Gagne, dan teori belajar Gestal.
Sumber:
Hill, F. Wilfred. Theories of Learning. Terj. Teori-Teori Pembelajaran. Bandung: Nusa Media, 2009.
M. Saekhan Muchith. Pembelajaran Konstektual. Semarang: RASAL Media Group, 2008.
http://www.psb-psma.org/content/blog/teori-teori-belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H