Aku punya seorang sahabat, sebut saja namanya Abdullah. Waktu SMA dulu Abdullah berpacaran dengan Aisyah (tentu ini juga bukan nama aslinya). Selepas SMA, Abdullah melanjutkan kuliah ke kota Medan sementara aku ke Banda Aceh lalu pindah ke Malang. Sejak saat itu kami tak pernah lagi bertemu.
Setelah 24 tahun, Aku kembali dari perantauan dan rumah sahabat yang pertama ku kunjungi adalah rumah Abdullah. Setelah bercerita kesana kemari tanpa arah dan saling melepas rindu, sang istri hadir menyuguhkan dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng. Aku sedikit kaget, sebab wanita itu ternyata bukan Aisyah.
"Aku harus menanyakan ini", pikirku. Aku ingin tau kenapa bukan Aisyah yang menjadi ibu dari anak anaknya. Bukankah dulu mereka sangat dekat..?
“ Aku bersyukur tidak menikah dengan Aisyah. Dia sekarang gemuk, keliatan sekali sudah emak emak. Kamu tau kan dari dulu aku nggak tertarik liat perempuan gemuk. Seandainya aku menikah dengan dia, lebih kurang seperti sekarang ini jugalah keadaan dia kan, aku gak bisa bayangkan itu. Kalau nanti kamu ketemu Aisyah dan bertanya hal yang sama dia juga pasti bersyukur tidak bersuamikan aku, kenapa, karna suaminya orang baik, secara finansial suaminya lebih beruntung dibanding aku, cukup mapanlah, punya kedudukan di pemerintahan dan sangat mencintai Aisyah” Ungkap Abdullah.
" Jadi kalian sama sama beruntunglah ya" kataku. Abdullah Mengangguk.
Usai shalat zuhur berjamaah, Abdullah pamit untuk membeli rokok tidak jauh dari rumahnya. Aku ditemani Ny. Abdullah dan anak bungsunya.
“Kami bahagia dalam kesederhanaan". Ucap Ny.Abdullah membuka pembicaraan.
"Bang Abdullah mencintai keluarga, dekat dengan anak anak dan sangat mengerti aku. Pernah suatu hari aku memintanya untuk menuliskan 6 hal yang tidak disukainya dariku, ia tercengang dengan permintaanku lalu bilang: Baiklah, aku pikirkan dulu dan besok siang aku berikan jawabannya.
Esok paginya Bang Abdullah berangkat ke kantor lebih awal, ia singgah ke toko bunga dan meminta mereka mengirimkan 6 kuntum mawar merah kerumah ini beserta sebuah amplop putih yang didalamnya berisi catatan
“ Sayang, aku tak bisa memikirkan enam hal yang tidak aku sukai dalam dirimu.
Aku mencintaimu sebagaimana adanya dirimu”
Sore itu aku menyambutnya di depan pintu. Mataku berkaca-kaca, aku hampir menangis. Aku bahagia. Aku yakin, sebenarnya dia bisa menuliskan kritikan lebih banyak dari yang kuminta tapi dia tidak melakukannya. Aku bersyukur, Allah telah memilihkan dia untukku ” kata Ny. Abdullah mengakhiri ceritanya
Ya, bila mampu memaknai segala sisi kehidupan ini, memang tak ada alasan untuk tidak bersyukur.
Wallahu a'lam.
(Takengon, Maret 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H