Hujan semakin deras mengguyur atap rumahku. Suara air yang jatuh terus terdengar, menciptakan ketenangan. Aku terbaring malas di atas tempat tidur. Tubuhku terasa menggigil membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Di luar, hujan masih terus berdansa, seolah mengerti betul betapa nyaman rasanya berdiam diri.
Tiba-tiba, suara dari pintu membuatku tersadar. "Kamu gak mau bangun?" suara ibu terdengar dari luar kamar.
Aku menghela napas, setengah terjaga. "Malas, Bu. Hujan deras gini, enaknya tidur aja," jawabku dengan suara serak, sedikit terbungkus rasa malas.
Ibu terkekeh di luar. "Jangan kebanyakan tidur. Ada yang harus diselesaikan, bukan cuma mimpi."
Aku tidak langsung menjawab. Tubuhku tetap terbaring, dan pikiranku kembali melayang ke mimpi yang tadi kujalani. Mimpi indah yang terasa begitu nyata, seolah-olah dunia dalam mimpi itu jauh lebih menyenangkan daripada dunia ini. Aku bisa merasakan hangatnya matahari, tertawa bersama teman-teman lama, dan merasakan kedamaian yang sangat kurindukan.
Aku menarik selimutku lebih dalam, berusaha untuk kembali terlelap. "Ayo, tidur dulu aja. Menyelesaikan mimpi yang tertunda," bisikku pada diriku sendiri. Mimpi itu belum selesai, dan aku ingin sekali melanjutkannya.
Beberapa menit berlalu, dan suara hujan di luar semakin keras, tetapi ibu tak kunjung pergi. Aku mendengar langkah kaki mendekat, lalu pintu kamar dibuka pelan. "Kalau kamu gak bangun, nanti gimana? Semua itu gak akan datang sendiri," ibu berkata lagi, kali ini lebih lembut.
Aku terdiam sejenak. Ternyata aku sudah terlalu lama terlarut dalam kenyamanan tidur dan mimpi. Aku memikirkan kata-kata ibu. Mimpi memang indah, tapi kenyataan tetap harus dijalani. "Ya, Bu... aku tahu. Cuma rasanya nyaman di sini."
Ibu tersenyum dari luar pintu. "Mimpi itu bisa jadi kenyataan kalau kamu berusaha. Jangan cuma dibayangkan."
Aku menarik napas dalam-dalam dan perlahan menurunkan selimut. Meskipun berat, aku tahu ibu benar. Mimpi yang belum selesai itu hanya bisa terwujud jika aku bangun dan melakukan sesuatu. Dengan langkah pelan, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dan menatap hujan yang masih mengguyur. "Mungkin hujan ini juga bagian dari mimpi yang belum selesai," gumamku, sambil membuka pintu kamar, siap untuk menghadapi dunia nyata.
Di luar, hujan mulai reda. Tapi aku tahu, ada hal-hal yang harus ku tempuh. Mimpi itu bukan untuk ditunda selamanya, dan saatnya untuk mengejarnya dimulai dari langkah pertama, bukan dari berdiam diri dalam kenyamanan.