Pada zaman modernisasi ini, masyarakat dihinggapi segala hal perduniawian yang membuat mereka terlena di dalamnya. Modernisasi menjanjikan sesuatu kebahagiaan bagi siapa saja yang mengilhaminya, seperti kekayaan. Modernisasi menjadikan manusia semakin jauh dari nilai-nilai agama yang selama ratusan bahkan ribuan tahun sudah menjadi pedoman bagi manusia. Hal ini dikarenakan agama telah menghambat pemikiran manusia dalam berinovasi terhadap keduniawian. Agama dianggap sebagai jalan pemikiran kuno manusia yang menyebabkan banyak mitos-mitos atau kesalahan berpikir di masa lalu akibat ketidaktahuan manusia tentang ilmu pengetahuan. Misalnya, pada abad pertengahan di Barat yang pada masa itu kekuasaan tertinggi di duduki oleh Gereja Katolik Roma dan Paus sebagai pemimpin tertingginya. Tidak boleh ada satupun opini-opini yang bertentangan dengan apa yang gereja katakan. Pada masa itu, terdapat teori ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya (Teori Geosentris). Namun, Galileo Galilei yang merupakan astronom dan filsuf dari Italia mengungkapkan fakta yang berbeda, yaitu pusat tata surya adalah matahari (Teori Heliosentris) melalui serangkaian pengamatannya. Pernyataan Galileo Galliei ini ditentang oleh pihak Gereja karena tidak sesuai dengan apa yang gereja anut tentang pusat tata surya, sehingga ia di penjara hingga meninggal.
Oleh sebab itu, di zaman ini manusia semakin terbuka pikirannya untuk memisahkan agama dengan dunia. Pemisahan ini dapat dirasakan mulai dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun agama. Sekularisasi menurut Harun Nasution adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari control agama. Sekularisasi dengan demikian merupakan proses melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama. Salah satu contoh sekularisasi yang nyata pada saat ini adalah pelajaran agama di sekolah-sekolah mulai dihilangkan atau dikurangi jam pelajarannya. Ini menandakan pengetahuan agama di sekolah sudah tidak relevan lagi khususnya sekolah-sekolah umum non-keagamaan.
Paham sekularisasi yang berkembang akan menjadi sebuah ideologi yang melekat pada kehidupan manusia dan negara, yakni sekularisme. Sekularisme menurut Ishomudin dalam Buku Sosiologi Agama karya Tharaba dibedakan menjadi dua bentuk, yakni :
- Sekularisem moderat yang berkembang di Eropa Barat dan AmerikaSekularisme ini memandang kehidupan duniawi masih mengikutsertakan Tuhan dan Agama, namun pengaruhnya tidak cukup besar. Hal ini didasarkan pada orang-orang Eropa Barat dan Amerika yang masih memegang teguh agama. Hal ini dapat dirasakan masih banyak rumah ibadah berdiri dan memiliki jamaat yang banyak, seperti Gereja. Namun apabila sudah menyangkut urusan politik dan negara, maka nilai keagamaan harus disingkirkan. Oleh sebab itu, Gereja di sini hanya boleh mengurusi kerohanian saja.
- Sekuarisme ekstrem di Uni Soviet dan negara Komunis lainnya.Sekularisme ini sangat melepaskan pengaruh-pengaruh agama dari nilai duniawi, bahkan atheism banyak berkembang di negara-negara penganut komunisme. Hal ini dikarenakan paham komunisme sangat anti terhadap agama dan mengingkari keberadaan Tuhan. Bahkan, di Korea Utara apabila ada warganya ketahuan melakukan ibadah meskipun sudah sembunyi-sembunyi akan dihukum penjara atau dihukum mati.
Dengan demikian, zaman ini manusia berlomba-lomba membuat kesenangan dengan hidup semena-mena bahkan menimbulkan konfik antar sesame. Cara berpakaian yang mulai terbuka, gaya hidup mabuk-mabukan, gila seks, dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh manusia yang sudah hilang pikirannya tentang dosa. Semakin jauh manusia dengan nilai-nilai keagamanya, maka semakin kacau pula kehidupannya. Akan tetapi, dalam konteks ilmu pengetahuan, terkadang memisahkan nilai agama memberikan dampak positif, sehingga para akademisi atau ilmuwan bisa mencari ilmu pengetahuan yang murni dan tidak terikat dogma agama yang menghambat pikiran manusia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H