Hampir dua tahun Indonesia dan bangsa-bangsa lain bergelut dalam persoalan pandemi virus corona atau Covid-19. Virus ini menjadi persoalan global karena mengakibatkan kematian dan nyaris  terjadi di seluruh negara-negara di dunia. Tidak ada negara yang steril dari virus ini, perbedaannya hanya pada jumlah kematian warga negara dari tiap-tiap negara punya angka yang berbeda-beda dan cara penanganan terhadap krisis yang ditimbulkan akibat wabah virus.
Jika hanya terinfeksi virus lalu sembuh dengan meningkatkan imun tubuh, barangkali tidak begitu masalah namun jika virus ini membawa kematian bagi orang yang sebelumnya kelihatan sehat, tentu membawa kekhawatiran dan kekhawatiran ini telah menimpa seluruh dunia.
Entah sudah berapa banyak manusia yang terbaring dan mati akibat serangan virus ini. Organisasi kesehatan dunia setidaknya merilis data sekitar empat juta lebih manusia mati akibat infeksi virus ini. Indonesia sendiri, pada Juli lalu menjadi penyumbang angka kematian tertinggi di dunia secara harian.
Hidup dalam Ancaman
Kita masih ingat awal kemunculan virus corona akhir 2019 yang disikapi dengan biasa-biasa saja. Tak ada kekhawatiran yang berlebihan sampai akhirnya satu persatu para sahabat bahkan keluarga harus berakhir hidupnya. Perlahan kita menjalankan protokol kesehatan dan mengikuti berbagai kebijakan pemerintah yang bukan saja membatasi tetapi melarang berbagai pertemuan dan kerumunan.
Kemudian larangan ini berdampak disana sini dan kehidupan masyarakat mulai benar-benar terancam. Paling tidak ancaman itu dapat kita rasakan dalam berbagai bentuk, misalnya akses perekonomian yang semakin sulit.Â
Konsekuensinya adalah hilangnya pekerjaan, tutupnya tempat usaha sampai hutang yang melilit dan terancam tak terbayar. Â Kehidupan ekonomi yang sudah sulit bahkan semakin melilit tatkala para pejabatnya korupsi dana bantuan sosial.
Ancaman berikutnya adalah hilangnya makna interaksi sosial yang telah terjalin. Saat ini kita menjadi masyarakat teknologi yang melakukan proses interaksi yang membentuk realitas virtual. Kita hidup dan berinteraksi dalam dunia jaringan teknologi yang tidak selalu mampu memberikan sentuhan nyata karena sifatnya yang cenderung artifisial.
Dalam dunia teknologi, kita hanya mampu berinteraksi melalui rangkaian kata-kata, padahal interaksi itu jauh lebih punya nilai jika disertai dengan sentuhan misalnya jabatan tangan, pelukan dan bahkan untuk budaya tertentu cipika-cipiki (cium pipi kanan/kiri) menunjukkan kedalaman sebuah interaksi atau hubungan.
Situasi yang ada semakin diperparah mengingat kemampuan pemerintah dalam menangani virus corona gelombang kedua. Pemerintah dianggap kurang mumpuni dan gagal mengatasi situasi yang ada. Kelangkaan atas ketersediaan tabung oksigen dituduh sebagai salah satu penyebab tingginya tingkat kematian pasien virus korona satu bulan terakhir.
Komunikasi pemerintah dianggap kurang efektif dalam diseminasi kebijakan-kebijakan yang diambil. Mulai Social Distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sampai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) serta banyaknya simpul komando dalam mencegah penyebaran virus.
Terakhir barangkali tentang harga tes PCR yang relatif mahal diluar kesanggupan masyarakat menjadi ancaman tersendiri. Pasalnya jika masyarakat menjalin kontak dengan mereka yang terkonfirmasi covid, justru karena alasan biaya enggan memeriksa diri sehingga jika benar-benar tertular dan masih berinteraksi dengan orang lain maka bisa dibayangkan bagaimana kemudian virus itu merajalela. Mahalnya harga tes PCR turut menyumbang meluasnya korban di tengah masyarakat. Akhirnya dari banyak sudut hidup kita saat ini dalam ancaman.