Minggu lalu Ibu Menik memberikan hasil ujian bahasa Indonesia kepada kami, murid-murindya di kelas IX H SMP Melati. Kecewa, diantara 20 teman sekelas aku merupakan salah satu dari 15 anak yang gagal memenuhi standar ketuntasan minimal ujian. Sedangkan temanku yang lolos ujian pun merasakan getir, rata-rata mereka mendapatkan nilai ujian terpaut lima poin dari standar kelulusan. Setelah membagikan nilai ujian, Bu Menik berkata “Anak-anak, bagi kalian yang belum mencapai nilai standar harap mengumpulkan karangan singkat dengan tema bebas. Ditulis di folio bergaris dan wajib dikumpulkan besok”
Setelah seminggu berlalu, hari ini Bu Menik membagikan nilai remedial ujian minggu lalu. Aku tidak menyangka, nilaiku mendapatkan 90. Tertinggi diantara nilai ujian temanku lainnya. Sekilas saat mengambil hasil ujianku kedepan kelas, kulihat Bu Menik tersenyum kepadaku. Bersyukur, kenapa nilaiku tertinggi, kataku dalam hati. Ah tidak tahulah. Saat kembali ke kursi duduk aku menatap angka berwarna hitam membanggakan di pojok kanan atas kertas ujianku itu. Sambil tersenyum bahagia, aku membaca kembali karanganku.
“Bahasa Indonesia tentu bukan mata pelajaran favorit bagiku. Tiap kali ujian nilaiku tidak cukup membanggakan. Aku merasa kesulitan memahami soal dan memilih jawaban A, B, C, atau D. Bagiku keempat jawaban tersebut benar semua, entah dibuat begitu oleh penyusun soal atau otakku saja yang bermesin rendah. Yang aku pahami dari kelas bahasa Indonesia adalah menghafal kosa kata dan aturan-aturan penggunaan bahasa yang tidak mudah kucerna saking kakunya peraturan tersebut.
Tapi aku tidak keberatan jika mendapatkan nilai rendah di ujian bahasa Indonesia. Aku merasa keberatan jika kegemaranku menulis disamakan dengan nilai ujian tersebut. Benar-benar keduanya tidak ada sangkut-pautnya. Aku belajar menulis karena bangga bahwa aku bisa belajar bahasa Indonesia tidak hanya dari kelas saja. Aku menulis karena aku ingin belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan santai. Tidak merasa terbebani dengan aturan kaku yang kupelajari di kelas. Aku menulis untuk memenuhi rasa cinta bahasa Indonesia. Tolong jangan katakan kalau tidak mendapatkan nilai baik saat ujian bahasa Indonesia maka tidak cinta dengan bahasa Indonesia.
Sampai saat ini aku merasakan betapa sulitnya ujian bahasa Indonesia. Aku ingin memahami bahasaku ini dengan nyaman. Tidak terbelit dengan hasil ujian namun dengan cara bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Betapa mudahnya mencintai bahasa Indonesia dengan tidak memberikan pilihan A, B, C, atau D. Memang kelas bahasa Indonesia bukan favoritku. Tapi aku mengidolakan bahasaku ini dengan cara yang berbeda, dengan mengapresiasikannya kedalam keseharian.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H