Mohon tunggu...
Novan Bastian
Novan Bastian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa. Pembaca. Pecinta Makanan dan Permainan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meminang Indonesia dengan Cincin Api

31 Desember 2011   03:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Layaknya cincin sebagai simbol cinta, cincin api ini juga simbol cinta kita pada Indonesia. Cincin itu melingkar dan tak terputus, begitu juga kecintaan kita pada Indonesia yang dilingkari cincin api."

Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Harian Kompas dalam Pembukaan Film Dokumenter Ekspedisi Cincin Api di Jakarta

Masyarakat Indonesia seharusnya sudah terbiasa dengan bencana alam yang sering terjadi disekitarnya. Bencana alam yang pada hakikatnya disebabkan oleh faktor alam itu sendiri atau faktor perilaku manusia jangan lagi ditanggapi dengan keterkejutan dan kecaman nihil tindakan. Satu bencana alam yang menuntut perhatian adalah letusan gunung berapi. Sebagai negeri yang dikelilingi pegunungan dengan daftar nama gunung yang masih aktif, masyarakat Indonesia harus mau bersahabat dengan kondisi tersebut. Bersahabat dengan mengenali alam dan cepat bertindak terhadap bencana yang terjadi.

Berkaca kepada penanggulangan erupsi Gunung Merapi November 2010 silam, terlihat bahwa pemerintah belum mampu sepenuhnya mengatasi produk negatif akibat bencana alam tersebut. Akibatnya 756 korban bencana erupsi Merapi mengalami gangguan jiwa dan 52 orang lainnya mengalami gangguan jiwa berat (Kompas.com). Seperti yang diketahui bahwa erupsi Gunung Merapi merupakan peristiwa periodikal yang terjadi empat tahun sekali. Erupsi gunung ini pernah terjadi pada tahun 2011 dan 2006 lalu. Pertanyaanya adalah apakah pemerintah sebagai pemangku keselamatan rakyatnya tidak belajar dari pengalaman sebelumnya?.

Ada dua hal pokok yang dapat dijadikan catatan bagi pemerintah kita terkait lemahnya penganggulangan erupsi Gunung Merapi tahun 2010 lalu. Hal pertama adalah kurang berhasilnya layanan edukasi kepada masyarakat Merapi tentang penanggulangan bencana. Kedua yang patut menjadi sorotan adalah tim relawan yang kurang persiapan penanggulangan bencana alam. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran tanggap bencana alam di masa depan.

Masyarakat lereng Merapi memang dikenal masih memiliki tradisi mistis yang turun temurun disetiap sendi kehidupannya, sekalipun terhadap aktifitas vulkanik Gunung Merapi yang sangat membahayakan keselamatan mereka. Mereka lebih mempercayai tradisi leluhur tanpa memperhatikan informasi ilmiah dari BNPB selaku wakil pemerintah. Namun hal ini tidak seketika bahwa tidak ada jalan solutif guna menyadarkan masyarakat lereng Merapi. Satu bahasan pokok yaitu melibatkan pemuda lokal guna melaksanakan program edukasi tanggap bencana.

Pemuda lokal mempunyai peran penting untuk mengedukasi keluarga dan masyarakat lereng Merapi mengenai aktifitas vulkanik Gunung Merapi, manfaat dan kerugian bencana apabila gunung tersebut meletus. Hal ini disebabkan masyarakat Tengger lebih mempercayai penduduk lokal daripada para pendatang yang baru berbaur dengan mereka. Mereka menilai bahwa pendatang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada gunung tersebut, dan merasa keyakinan merekalah yang paling benar. Untuk itu BNPB seharusnya melibatkan pemuda lokal dalam melaksanakan program edukasi tanggap bencana tersebut. BNPB juga perlu mengkaji budaya masyarakat yang tertimpa bencana dalam melaksanakan program-programnya, jangan sampai program yang dilaksanakan tidak dapat diselaraskan dengan karakter masyarakat tersebut.

Hal kedua adalah buruknya program kerelawanan di daerah bencana erupsi Merapi.  Sekali lagi program penanggulangan kebencanaan yang dikeluarkan oleh lapisan masyarakat kita lebih menyukai nama pascabencana. Hal ini yang paling terkenal daripada program prabencana namun masih menghasilkan manfaat kurang optimal. Program pascabencana memang diperlukan keberadaannya saat terjadi bencana akan tetapi lebih baik jika seluruh beban akibat bencana dapat dikurangi bila adanya kesiagaan masyarakat dengan adanya kerelawanan prabencana.

Kesiagaan relawan ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya komunitas relawan bencana alam. Relawan yang umumnya dijaring ketika bencana terjadi dapat dirubah ritmenya dengan merekrut relawan yang kompeten di bidangnya jauh sebelum bencana terjadi untuk diterjunkan kelapangan segera saat bencana alam melanda. Memang hal ini diakui mempunyai biaya yang lebih besar daripada perekrutan relawan pascabencana. Dibutuhkan ketegasan masyarakat kita memilih biaya yang lebih besar atau mengorbankan lebih banyak saudara mereka untuk dimakan kondisi alam yang sedang murka.

Pada akhirnya masyarakat Indonesia harus mengakui bahwa kita berada dilingkaran api yakni Cincin Api Pasifik dengan dikelilingi gunung yang masih aktif. Sudah selayaknyalah kita dapat menjadikannya pasangan hidup abadi. Berusaha untuk mengerti dan menjaga alam yang sudah ditakdirkan oleh Pencipta untuk kesejahteraan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun