Mohon tunggu...
Novaisah Makmun
Novaisah Makmun Mohon Tunggu... -

Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memperbaiki Pola Asuh Anak Bangsa

25 Oktober 2011   09:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:31 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam pembicaraan siang hari di lobi kampus, seorang sahabat saya mengungkapkan kepesimisannya mengenai sulitnya memberantas korupsi di negeri ini. Dia mengatakan bahwa sukar sekali untuk memisahkan korupsi dari Indonesia. Budaya ini sudah eksis sejak lama di Indonesia. bahkan sebelum negeri ini mengumandangkan kemerdekaannya. Teman saya ini memang pandai soal sejarah,dengan panjang lebar dia bercerita kalau pada zaman kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, para abdi dalem sering melakukan tindakan korupsi dengan mengambil upeti dari rakyat sebelum kemudian diserahkan kepada Demang. Abdi dalem Katemanggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengambil upeti yang akan diserahkan kepada raja. Kemudian pada zaman Orde Lama, sempat digalakkan pemberantasan korupsi dengan pembentukan Badan Pemberantasan Korupsi, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Paran dan Operasi Budhi. Namun lembaga ini berhenti begitu saja. sampai pada Orde Baru, teman saya semakin bersemangat bercerita,dia mengatakan kalau pada masa ini korupsi semakin menjadi, hampir semua lembaga pemerintahan terjangkit virus korupsi. Presiden Suharto sempat membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan juga Opstib untuk membasmi virus ini, namun upaya tersebut tidak diikuti dengan keseriusan pemerintahnya sendiri. Sehingga lembaga tersebut kemudian redup. Pada pemerintahan berikutnya pun sama, lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh presiden pada akhirnya kolaps juga. Saat ini pun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tahun 2003, malah bermasalah dalam tubuhnya sendiri. Beberapa anggota KPKterlibat tindak pidana dan terpaksa lepas dari jabatannya.

Kita sudah sering disuguhi dengan berita-berita korupsi oleh media massa, dari masalah Bulog, makelar pajak, hingga masalah pemilihan deputi Gubernur BI. sampai-sampai kita merasa lelah dan bosan untuk mendengarnya. Kasus-kasus korupsi seperti tidak pernah berkesudahan, selalu muncul nama-nama tersangka baru. Dan saya mulai sedih ketika teman saya ini bercerita tentang betapa kayanya negara kita. Indonesia memiliki pertambangan emas yang sangat besar di Papua, pertambangan ini menghasilkan berjuta-juta ton tembaga dan juga emas, namun sayangnya bukan kita yang mengelola pertambangan ini, melainkan PT. Freeportyang merupakan milik dari perusahaan multinasional Amerika. Perusahaan ini mulai mengeksplorasi pertambangan sejak tahun 1967 sampai saat ini. Dan negara kita hanya menikmati 1 % dari profit yang dihasilkannya. Selain tambang emas, Indonesia juga kaya akan cadangan gas alam. Cadangan gas ini berada di daerah Natuna dan Cepu. Namun sekali lagi bukan kita yang menguasai kekayaan ini, tetapi Exxon Mobil, sebuah perusahan gas dan minyak dari Amerika. Negara kita juga memiliki hutan tropis, lanjut teman saya. Hutan ini sangat luas dan berada di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun saat ini hutan tersebut mulai gundul karena adanya kepentingan dari oknum-oknum dalam lembaga pemerintah yang seharusnya melindungi hutan tropis ini. Intinya, teman saya ini ingin mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya masih terjajah sampai saat ini. Itulah mengapa masih banyak masyarakat miskin di negara kita. Pada akhir pembicaraan kami, teman saya ini berkomentar. Sungguh sebuah komentar yang membuat saya semakin sedih. Dia berujar “Tapi kalau seumpama nanti aku diterima kerja di Freeport atau Exxon, aku ambil saja. gajinya gede sih, persetan dengan nasionalisme!”, katanya. Mendengar ini saya merasa prihatin, sedemikian putusasanya teman saya ini terhadap korupsi di Indonesia. Dia begitu pasrah pada keadaan, seolah-olah sudah tidak ada cara lagi untuk membendung kejahatan korupsi. Beginilah kira-kira jika seseorang telah kehilangan kepercayaan baik terhadap pemerintah yang terlanjur bercitra buruk, ataupun terhadap dirinya sendiri untuk mampu melakukan perubahan. Tentu saja bangsa ini tidak memerlukan orang dengan mental seperti teman saya ini. Kita memerlukan generasi dengan mental pejuang, yang tetap setia pada ideologinya.Dalam salah satu tulisannya, Soenjono Dardjowidjojo (2003) mengungkapkan bahwa jika kita menginginkan negara ini maju, kita memerlukan kepercayaan, bukan hanya dari pihak luar, tetapi, dan bahkan terutama, dari rakyat kita sendiri. Oleh sebab itu, mari kita bangun kepercayaan bangsa, bahwa kita bisa membuat perbaikan di negeri ini.

Pendirian Mother School

Kejahatan korupsi memang telah menghambat pembangunan nasional dan menyengsarakan rakyat . Erika Revida (2003) merinci dampak korupsi sebagai berikut: 1) Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. 2) Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial. 3) Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. 4) Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan

kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Sementara dalam Suara Karya Online edisi 18 September 2010 Bayu juga menyebutkan jika pertumbuhan ekonomi RI masih terhambat tindak kejahatan korupsi, bahwa pertumbuhan ekonomi seharusnya bisa lebih baik lagi jika praktik korupsi dapat diberantas. Pendekatan dalam upaya membasmi korupsi seperti perombakan sistem yang ada dalam pemerintahan, kemudian peningkatan standar tata pemerintahan belum cukup mengatasi. Karena hal ini cenderung menumbangkan bagian atas saja, namun belum tentu mencabut akar masalahnya. Mengenai ini Soenjono (2003) juga mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia jauh lebih dalam dari pada sekedar masalah sosial dan ekonomi, yaitu masalah moralitas bangsa. Dan jika akar masalah bangsa ini adalah masalah moral, maka jalan penyelesaiannya harus ditujukan kearah pembenahan moral. Dan upaya pembenahan moral ini sejatinya sungguh tidak mudah. Butuh perjuangan dan waktu yang lama. Kampanye-kampanye atau sepanduk-sepanduk yang menyerukan tentang moralitas seperti yang sudah sering kita temui di jalan-jalan atau sekolah-sekolah tidak akan banyak memberi pengaruh. ia akan didengar sesaat, kemudian dilupakan. Kita bisa bergerak dari hal yang paling basic, yaitu memperbaiki pola asuh terhadap anak. Yang perlu kita lakukan adalah mendidik anak-anak kita, para generasi penerus, untuk memiliki akhlak yang mulia. Oleh karena itu kita membutuhkan peran pendidik sejati yang mampu melahirkan orang-orang hebat yang bermartabat. Ibu sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya sangat mampu memegang peran ini. Karena seorang ibu berpengaruh besar terhadap pola pikir anak-anak mereka, apa yang ibu tanamkan ketika kecil akan terbawa ketika dewasa nanti. Namun permasalahannya, perlu pengetahuan yang luas bagi seorang ibu untuk mampu membentuk budaya yang baik bagi anaknya. Dan tidak semua ibu mendapat pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, pendirian sekolah khusus untuk para ibu dan calon ibu bisa menjadi solusi bagi akar permasalahan bangsa kita saat ini. Sekolah ibu dapat menempa para ibu untuk menjadi “super mom” dimana seorang ibu diajarkan bagaimana mengajarkan kepada anak-anaknya tentang nilai-nilai agama termasuk nilai kejujuran, nasionalisme, budaya, dan lain sebagainya, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak; Ibu dapat mengajarkan kepada anak-anak tentang betapa beragam dan uniknya seni budaya kita, sampai-sampai salah beberapa produk kebudayaan kita diakui oleh negara lain. Ibu dapat ceritakan tentang jiwa patriotisme para pahlawan agar darah patriotik juga mengalir di hati mereka, juga tentang kejujuran nabi Muhammad baik dalam berdagang maupun memimpin umat agar anak-anak bisa meneladaninya. Kita suapi mereka dengan hal-hal yang positif sehingga mereka juga tumbuh menjadi pribadi yang positif. Selain itu di sekolah ini para ibu ini juga diajarkan bagaimana memenuhi kecukupan gizi anak sesuai umur sehingga anak dapat tumbuh dengan cerdas dan kritis, juga bagaimana mengatur jarak kelahiran. Segala sesuatu yang berkaitan dengan anak dapat diajarkan disini.

Seorang ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai aspek-aspek perkembangan anak, seperti perkembangan motorik, kognitif, emosi, dan psikososial dari seorang anak. Pada perkembangan kognitif misalnya, terdapat beberapa tahapan yang dilalui seorang anak. Dalam sebuah artikel online Muhammad Baitul Alim (2009) mengatakan bahwa menurut teori Piaget, anak melampai perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda.Yang pertama pada usia 0-2 tahun, yang disebut Sensori Motor. Pada tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak. Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Jadi ketika mengajarkan sesuatu kepada anak, sebaiknya menggunakan alat peraga seperti gambar dan sesuatu yang bergerak. Yang kedua adalah pada usia 2-7 tahun, yang disebut Pra-operasional. Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. mulai muncul pikiran egosentris, animisme, dan intuitif. Mereka belum mengerti cara berpikir sistematis. Oleh karna itu dalam mengajarkan sesuatu masih dibutuhkan alat peraga. Ketiga adalah pada usia 7-11 tahun, yang disebut Operasional Konkrit. Pada tahap ini anak mulai meninggalkan egosentris-nya dan dapat bermain dalam kelompok. Anak sudah dapat dimotivasi dan dapat melakukan penalaran logis. Sehingga ibu dapat mengajarkan langsung dengan ujaran dan pengertian. Kemudian yang terakhir adalah pada usia 11-15 tahun keatas, yang disebut Operasional Formal. Pada tahap ini anak sudah mengerti konsep dan dapat berpikir. Sehingga pengajaran kepada anak menjadi lebih mudah.

Pengetahuan seperti ini tidak pernah ada dalam mata kuliah wajib di setiap jurusan di universitas, mungkin hanya ada di jurusan tertentu seperti psikologi, dengan konsentrasi di psikologi anak, atau kedokteran dengan konsentrasi pada kesehatan anak. padahal mahasiswa putri adalah seorang calon ibu. Jadi tidak heran ketika seorang sarjana ekonomi hanya tahu cara berbisnis dan menghitung profit, sementara dalam mengurus anak dia tidak becus. Lalu mengapa sekolah khusus para ibu dan calon ibu ini perlu, karena dari realita yang ada sekarang. Pendidikan formal seperti SMP,SMA, ataupun Universitas belum mampu mencetak manusia-manusia bermoral baik. Oleh karena itu kita perlu mengkader para ibu untuk melakukan perubahan dari akar. Dari sekolah ini mungkin dapat dibentuk standarisasi pola asuh anak. Tentu tidak perlu adanya sertifikasi untuk para ibu yang telah lulus dari sekolah ini, karna yang terpenting adalah output dari proses pembelajaran tersebut. Maka harapan penulis semoga sekolah khusus bagi para ibu dan calon ibu ini dapat terealisasikan dan mendapat dukungan yang besar dari pemerintah, dan semoga sekolah ini mampu menjadi jawaban bagi persoalan moral bangsa kita.

written in September 2010

Referensi:


Baitul, Muhammad A. (2 Oktober 2009). Teori Kognitif Psikologi Perkembangan Jean Piaget. Diakses 19 September 2010 dari http://www.psikologizone.com/teori-kognitif-psikologi-perkembangan-jean-piaget/06511234

Bayu. (18 September 2010). IMF: Pertumbuhan Ekonomi RI Terganjal Korupsi. Diakses 19 September 2010 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=262060.

Dardjowidjojo, Seonjono. 2003. Rampai Bahasa, Pendidikan, dan Budaya. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Revida, Erika. 2003. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya. diakses 19 September 2010 dari http://library.usu.ac.id/download/fisip/fisip-erika1.pdf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun