Artikel ini lanjutan dari artkel sebelumnya, sila baca disini
Sekolah dasar adalah waktu yang paling indah. Masa masa dimulainya petualangan yang menurutku keren. Sejak kelas satu hingga kelas tiga prestasiku biasa biasa saja. Karena  hampir seluruh waktuku tersedot untuk bermain. Semua permainan  aku coba . Akibatnya baju seragamku  hampir dipastikan  kotor karena bermacam macam noda.
Setiap istirahat aku akan bermain dilapangan sekolah atau dikantin belakang. Permainan seperti galasin, benteng, kelereng, mengadu biji karet, mengadu ikan cupang, mengadu jangkrik dan permainan lainnya. Tiga tahun pertama di sekolah dasar aku sering kali kena hukuman karena tak mengerjakan PR.
Entah karena tak cocok dengan guru walikelas atau aku yang masih senang bermain main baik disekolah atau di rumah. Tapi begitu naik kelas empat hingga kelas enam aku dianggap anak pintar karena selalu masuk tiga besar.
Minat belajarku meningkat, terutama kebiasaan membaca buku dan mulai menyukai tulis menulis. Aku juga memiliki inisiatif untuk belajar Bahasa Inggris secara mandiri dengan meminjam buku kesalah satu temanku
Aku juga mulai mengenal perpustakaan besar milik Balai Pustaka dibelakang kantor kementrian keuangan di lapangan banteng. Hampir setiap minggu pagi aku berjalan kaki dari rumah untuk membaca dan meminjam buku .
Kebiasaan membaca sejak kecil ini muncul karena pertemanan , ada seorang teman bernama Fajar, teman baik sekaligus  teman yang pintar. Selalu juara satu di kelas .
Fajar lahir dari keluarga miskin, bapaknya seorang penjual aki bekas di Pasar Poncol dikawasan Senen. Dulu Pasar Poncol merupakan pasar loak. Pasar yang menjual barang barang bekas. Mulai dari onderdil mesin , spare part kendaraan roda dua/empat, perkakas, alat elektronik, sepeda hingga barang barang rumah tangga lainnya.
Fajar tinggal di rumah sewaan sempit disebuah gang tak jauh dari Pasar Poncol. Kemiskinan tak menutup kecerdasannya. Kemampuan matematika dan IPA nya sangat menonjol. Walau aku dan Fajar bersaing dalam hal nilai pelajaran tapi kami berteman sangat erat.
Aku tak pernah lagi bertemu dengan  Fajar setelah keluarganya memutuskan pindah ke Pulau Sumatera untuk mengadu Nasib sebagai transmigrasi. Komunikasi putus  hingga tulisan ini dibuat. Tak ada kabar keberadaan teman kecilku ini.
Fajar inilah yang memberikan kebiasaan positif dengan membaca buku. Termasuk petualangan naik KRL di sekitar 1985-1986 dari stasiun pasar senen menuju stasiun Bogor. Naik kereta listrik percobaan gratis.