Fathimah Fildzah Izzati dalam indoprogress.com-bahwa kota adalah salah satu entitas atau kesatuan yang berkaitan sangat erat dengan pengalaman modern kemanusiaan. Alienasi manusia dalam pengalaman berkota menunjukkan bahwa hidup di kota tidak bermakna memiliki kehidupan di kota itu sendiri. Penyakit akut perkotaan seperti kemacetan, banjir, minimnya penghijauan, masalah perumahan layak, kriminalitas, dsb membuat mudah untuk menyimpulkan bahwa kota yang dihidupi warganya adalah kota yang tidak manusiawi. Yatno Wibowo, 2006-kota merupakan arena pergulatan antar berbagai kepentingan, konflik dan ketidakpastian akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Satu misal, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya. Sementara itu, tanpa harus menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menghilang tanpa disadari. Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desain lah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Max Weber, 1921-merumuskan identitas masyarakat urban dunia dalam dikotomi "Occidential vs Oriental". Baginya, identitas "occidential" alias "Barat" tadi eksis sebagai kebalikan dari yang menjadi ciri "Oriental". Dan ketimbang memahami "Timur" sebagai segugus sistem hidup yang saling melengkapi, "Barat" malah mengukuhkan identitasnya dengan melabeli "Timur" dengan segala keburukannya. Lapis demi lapis karakter identitas yang hadir di kota haruslah dibaca sebagai keaneka-ragaman guna memperkaya budaya dan memperunik wajah kota,
Pada prinsipnya, perencanaan pengembangan kota itu selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakatnya secara komprehensif. Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun tingkat kepadatan dikota dengan segala mitologi yang menaungi tentang kesempatan, keragaman, kumpulan energi dalam masyarakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam setiap persepsi masyarakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup. Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya sebagai media-alat komunikasi untuk menyampaikan buah pikir dan perasaan, belum mampu menghasilkan pembentukan olah pikir yang visioner dan menghantarkan sebagai konsep world view. Jika kita melihat sejenak ke beberapa kota-kota di Amerika Utara, Eropa Barat bahkan Jepang dimana sebagai paradigma dan kiblat pembangunan kota-kota dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali pembicaraan wacana hal-ihwal kota-kota megalopolis yang segalanya serba dengan teknologi canggih. Disini mereka mempersoalkan ekplorasi desain dengan menghasut bentuk-bentuk dalam skala besar-cara-cara seperti ini bahkan sejauh ini, hampir tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.
KOTA sebagai rupture dan Re-definisi identitas arsitektur di Indonesia
Sepertinya ada segudang problematik yang sangat mendasar dalam tata cara kita memaknai kota secara komperhensif dalam ‘politik identitas’ sebagai penanda pada era-nya. Tampilnya arsitek-arsitek Jepang dipanggung dunia dengan mengusung wacana Regionalisme, semangat pencarian atas hadirnya ‘arsitektur Indonesia’ pun menjadi semakin menguat. Meskipun dalam pendekatan pencarian ini sangat mementingkan bentuk arsitekturnya. Eksplorasi desain dengan semangat ‘eklektis’ banyak dilakukan bahkan begitu sangat popular. HIngga pada akhirnya semangat ini ‘mereda’ karena arus informasi yang a-simetris, publikasi pemikiran-pemikiran arsitektur ‘barat’ sangat dominan sementara pencarian dan penggalian wacana-wacana yang meng-indonesia masih belum begitu dominan. Di fase lain, muncul semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta diranah perencana dan perancang arsitektur kota kita dari waktu ke waktu saja. Meski, pernyataan ini tentu saja bisa terbantahkan oleh mahakarya yang cukup besar di masa lampau seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah-wlayah lain di bumi nusantara yang ternyata tidak hanya sekedar menunjukkan dominannya pemikiran indrawi. Ada keluhuran, keagungan mahakarya-cipta dimasa lampau dengan berbagai modular dan sistem struktur yang begitu canggih, begitu rumit ada dan dapat kita telisik dibeberapa bangunan dalam kompleks per-candi-an dan pada bangunan kasultanan keraton yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara, Ada pula sikap kesederhanaan, keadiluhungan, yang sangat agung diperkampungan tradisional kampung Naga, Suku badui, suku korowai atau bahkan dalam perkampungan tradisonal suku Nias dll.
Pengetahuan tentang arsitektur tradisional yang begitu sangat beragam itu haruslah diakui meskipun masih sangat terbatas. Di beberapa daerah mungkin masih berlanjut sementara ditempat lain sudah ‘terputus’. Sehingga kontinuitas tradisi pemikiran dalam arti yang ‘sadar’dan menghasilkan karya yang begitu canggih dan rumit terputus pada saat ini. Bisa jadi dalam hal ini dipengaruhi oleh keputusan ‘politik kebudayaan’ yang sangat ambiguitas, antara keinginan "setengah hati" menonjolkan spirit nasionalisme dan ketakberdayaan atas berbagai gempuran dalam ranah urban desain dengan cirinya efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung oleh semangat kapitalisme global. Impact tersebut seolah tidak pernah kita sadari, Nampaknya kita terlalu sering ber-euforia dalam sikap-sikap pragmatisme tersebut, Sehingga muncul semacam mata rantai yang terpotong dalam berkesinambungannya dengan arsitektur masa lampau kita disini. Karena desain-desain dengan spirit lokalitas “yang mungkin itu sudah tidak menarik untuk digali sebagai sumber inspirasi dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah”.
Terpotongnya tradisi mata rantai itu telah mengakibatkan khazanah keluhuran arsitektur masa lampau yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi bahan landasan eksplorasi dasar penciptaan karya-karya arsitektur dimasa sekarang. Karena kita belum membumikan dasar tradisi untuk penciptaan jati diri dalam wajah kota itu kini, Atau dengan kata lain apakah kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana. Kualitas karya wajah kota kita memang sangat “terdegradasi”, jika dibandingan dengan tradisi yang terjadi di masa lampau. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga kearah pencarian "identitas diri" Dimana identitas diri itu adalah cara kita menjaga "karakter" dan "sifat beda". Mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras atau etnis, panji-panji kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas. Agar bisa memahaminya, kita biasanya perlu cermin sebagai alat pembanding. Kehadiran "mereka" sebagai pembanding yang berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya "kita" atau "self". Kelompok yang merasa dirinya lebih baik, cenderung menjadikan dirinya sebagai bahan referensi dan secara sepihak menegasi identitas diluar dirinya. Eko Budihardjo, 1997-kota sebagai "Cultural Landscape" dengan keraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan bahkan lingkungan simbolnya yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk pembangunan kota. Dalam setiap kota yang merupakan "melting pot" selalu terdapat pluralitas budaya, Timbul berbagai macam benturan pada skala kota dapat menciptakan kompleksitas dan kontradiksi didalamnya. Sebab, Antara homogenitas yang kaku seragam dengan ragam heterogenitas yang begitu kenyal, merupakan bentuk yang mudah pemeriahannya akan tetapi sulit perwujudannya.
Membentuk skema perencanaan yang open ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota supaya memberikan peluang bagi bagian-bagian lain turut bergerak berkesinambungan dan masife. Perencanaan secara open ended yang luwes ini memungkinkan penjabaran nilai-nilai, kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda dalam suatu lingkungan yang selalu dinamis. Kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan akan dengan begitu mudah menyesuaikan diri dalam membentuk ruang-ruang kreatif, waktu, makna dan komunikasinya. Berbeda bukan berarti ancaman. Berbeda adalah pluralitas keunikan. Kita bisa hidup lebih baik dengan mengencangkan toleransi identitas dan menggunakan kota itu sendiri sebagai laboratorium hidupnya, serta jangan sampai terjebak dalam pengotak-kotakan identitas yang berlebihan, apalagi dibarengi ancaman seperti yang sempat diteriakkan Goerge Bush secara kekanakan dan cukup menggelikan, "You are either with us or against us!"
Yatno Wibowo, 2006-Ada baiknya bagi para perencana yang menganut paham bahwa segala sesuatu “project” harus direncana, dikontrol, dan dipantau secara tegar pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan ekspansi individual atau kelompok, jika dibiarkan akan menciptakan kekacauan, tidak teratur, berantakan. Padahal dalam kehidupan nyata ini, perencana dan pelaksana yang "down to the last detail" tidak hanya mungkin, tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak dikembangkan, malah harus diberikan wadah seluas-luasnya, Sebagai upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi harus terus diperluas dengan berbagai kompetisi atau sayembara desain yang lebih menekankan pada seluruh aspek kearifan lokal arsitektur lampau kemudian mensosialisasikan gagasan-gagasannya dengan melibatkan semua pihak secara berkelanjutan kepada para client, Terutama pada sektor-sektor pemerintahan, yang dalam program-programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi tuorism. Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen-argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan POMAH kita. Sebab, "suara lian" memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas nan kreatif. Akan tetapi, sekarang juga kita perlu bertanya kembali apakah genius loci dalam berbagai bentuk termutakhirkan itu tidak malah menjemukan, karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan jurang kemiskinan dalam menanggapi laju pergulatan gerak zaman ?
Kedekatan dengan alam, pemikiran yang lebih utuh, ketrampilan menggunakan atau mengolah bahan alam, serta semangat kebersamaan masih dapat kita baca dalam arsitektur tradisi kita. Dalam kesederhanaan ungkapan desainnya sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang nilai kehidupan yang lebih memberi harapan. Krisis lingkungan yang banyak terjadi dalam kehidupan modern ini berawal dari sikap individualistik juga keserakahan dalam mengeksploitasi alam. Wawasan tentang nilai-nilai yang lebih menyeluruh dan bertumpu pada kebersamaan masih bisa kita temui dalam arsitektur tradisional. Arsitektur bisa menjadi media untuk berbagi nilai yang lebih positif tentang kehidupan yang lebih baik. Sehingga jangan sampai karya-karya arsitektur itu hanya menjadi prestasi sejarah karena mampu menjawab persoalan waktu saja sebagai tantangan bentuk pada wadag arsitekturalnya, sedangkan persoalan place hanya selesai ditingkat tantangan programatik semata. Arsitektur yang demikian itu tentu saja hanya menciptakan, bukan mengikuti tempat. Dengan narasi lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah, baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang mengakar dengan lingkungan setempat ketika diciptakan. Bahkan pun beberapa karya arsitektur ada yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia pun mengesankan semangat arsitektur nan futuristik. Kekinian memang mempunyai kekuatan untuk belajar mengadopsi prinsip yang universal di masa depan yang lebih panjang. Menjadikan arsitektur sebagai media untuk melakukan transformasi kehidupan yang lebih baik. Mungkin lebih berbicara tentang impact dari karya dalam konteks yang lebih luas adalah kebutuhan pokok.
Karena kota bukan sebuah entitas lepas yang berawal dan berakhir dalam dirinya sendiri, namun lebih sebagai ‘platform’ bersama untuk menganyam lagi aspek sosial, budaya dan lingkungan. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan berbeda yang dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan. kontradiksi semacam teruslah dihembuskan agar menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai resep mujarab bagi korporasi-korporasi para pengembang yang terus membabi buta, menyokong penguasa untuk mengeruk keuntungan sendiri dan golongannya demi mendapatkan sumber daya material yang real.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H